JAKARTA, ODIYAIWUU.com — Staf Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Emanuel Gobay, SH, MH mengingatkan para kepala daerah, baik gubernur maupun bupati dan walikota putra asli Papua tidak melepaskan tanah marga kepada perusahaan tanpa ijin atau persetujuan masyarakat adat bumi Cenderawasih.
“Tanah adat adalah milik kolektif atau milik bersama masyarakat adat, bukan milik pribadi pejabat,” ujar Emanuel Gobay di Jakarta, Minggu (28/12).
Emanuel menegaskan, setiap bentuk pelepasan tanah tanpa mekanisme adat yang sah merupakan pelanggaran terhadap hak ulayat dan hak asasi manusia orang asli Papua.
“Pernyataan ini menjadi pengingat bahwa pemimpin daerah orang asli Papua memiliki tanggung jawab moral dan hukum untuk melindungi tanah, hutan, dan masa depan rakyatnya,” kata Emanuel, mantan Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua.
Kasus terkait tanah masyarakat adat tanah Papua sempat mencuat. Pejuang lingkungan sekaligus pimpinan marga Kwipalo, Vincent Kwipalo, Selasa (4/11 2025) mengadukan PT Murni Nusantara Mandiri atas tindak pidana perkebunan di Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (Mabes Polri), Jalan Trunojoyo, Jakarta Selatan.
Langkah menolak perusahaan perkebunan tebu itu diambil Vincent karena sejak tanah, dusun dan hutan adat marga Kwipalo merupakan sumber kehidupan masyarakat adat, sumber pangan, mata pencaharian dan obat-obatan, Selama ini tanah itu telah menjamin kelangsungan hidup mereka turun temurun dari orangtua dan leluhur.
“Saya mewakili marga Kwipalo menyatakan sampai kapanpun sejengkal tanah tidak kami berikan kepada PT Murni Nusantara Mandiri. Kami tahu, kalua hutan dalam wilayah adat habis, maka kami dan anak cucu mau kemana,” ujar Vincent melalui keterangan tertulis di Mabes Polri, Kawasan Trunojoyo, Jakarta Selatan, Rabu (5/11).
Vincent, warga asal Kampung Blandin Kakayo, Distrik Jagebob, Kabupaten Merauke, Papua Selatan, mengatakan, pihak perusahaan terus menjalankan hasrat bisnisnya mengembangkan dan memperluas areal perkebunan dengan mengukur, mematok, menggusur dan menghancurkan hutan adat, dusun dan rawa.
“Operator perusahaan dan anggota militer berkali-kali mendatangi saya sehingga saya merasa tidak nyaman dan tertekan. Anggota marga Kwipalo memasang sasi permater, adat larangan dan peringatan memasuki wilayah adat. Jika dilanggar akan berlaku sanksi adat. Kami marga Kwipalo juga memberikan tanda cat merah di batas wilayah adat,” kata Vincent.
Namun, katanya, Perusahaan tetap menggusur dan menghancurkan hutan adat di wilayah adat marga Kwipalo, termasuk hutan keramat Cacibi, Abakin, Agodai dan Congyap. Perusahaan itu beroperasi tanpa alas hak guna usaha.
“Peruhasaan hanya bermodal perizinan berusaha berbasis risiko dan persetujuan kesesuaian pemanfaatan ruang untuk kegiatan berusaha, yang dikeluarkan pejabat pemerintah Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu,” ujar Vincent lebih lanjut.
Pihak anggota marga diakuinya juga menemukan pembangunan sarana prasarana militer di Dusun Muckai sejak Juni 2025 hingga saat ini. Pembongkaran dan penggusuran dusun, hutan dan rawa, tanpa ada musyawarah dan persetujuan, kesepakatan pemilik tanah adat marga Kwipalo.
“Kami sudah menyampaikan dan melaporkan penyerobotan dan perampasan hak kami masyarakat adat atas tanah dan hutan adat kepada pemerintah daerah, pemerintah nasional dan Komnas HAM di Jakarta, aparat kepolisian dan militer di daerah, namun tidak ada tanggapan,” kata Vincen kesal.
Atas dasar itu, ia didampingi advokat Solidaritas Merauke Emanuel Gobay, Asep Komaruddin, SH, dan rekan-rekannya mengadukan dugaan tindak pidana penggelapan tanah adat dan tindak pidana perkebunan yang dilakukan pihak PT Murni Nusantara Mandiri.
“Kami melaporkan Direktur dan Komisaris PT Murni Nusantara Mandiri dan pejabat negara Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu. Laporan kami diterima Yudi Bintoro, SH, MH atas nama Kasub Penerimaan Laporan Markas Besar Kepolisian RI yang telah terdaftar dalam Laporan Polisi Nomor: LP / B / 544 / XI / 2025 / SPKT / Bareskrim Polri tanggal 04 November 2025,” kata Vincent.
“Hari (Selasa, 4/11) ini kami telah bertemu dan melaporkan dugaan tindak pidana penggelapan tanah adat dan pidana perkebunan yang dilakukan perusahaan perkebunan tebu PT Murni Nusantara Mandiri,” ujar Emanuel, kuasa hukum Vincent di Mabes Polri, Jakarta, Selasa (4/11).
Emanuel menegaskan, perusahaan yang diadukan tersebut diduga melanggar Pasal 385 ayat (1) KUHP dan dugaan tindak pidana perkebunan pada Pasal 55, Pasal 107 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 Perkebunan.
Marga Kwipalo merupakan masyarakat adat yang diakui keberadaan dan hak-haknya berdasarkan konstitusi UUD 1945, Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; Undang Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus Bagi Papua; dan Peraturan Daerah Provinsi Papua Nomor 5 Tahun 2022 Tentang Pengakuan san Perlindungan Masyarakat Hukum Adat di Provinsi Papua.
“Ketentuan itu telah memberikan jaminan hukum kepada Marga Kwipalo sebagai salah satu kelompok marga dalam masyarakat adat Malind Anim memiliki hak-hak meliputi hak atas wilayah, tanah dan sumber daya, hak untuk menerapkan praktik-praktik pengelolaan sumber daya,” kata Emanuel.
Selain itu, masyarakat adat tersebut juga memiliki hak melakukan perjanjian dengan pihak ketiga mengenai pemanfaatan sumber daya alam (SDA) dan hak memperoleh keuntungan dari pemanfaatan sumber daya alam serta hak atas informasi dan partisipasi pengelolaan SDA.
Marga Kwipalo merupakan salah satu kelompok marga dari suku Yei yang telah mendapatkan pengakuan wilayah adat dari Bupati Merauke melalui Surat Keputusan Bupati Merauke Nomor 100.3.3.2/1413/Tahun 2024 tentang Pengakuan, Perlindungan, Penghormatan Hukum Adat dan Wilayah Adat Suku Yei di Kabupaten Merauke.
Faktanya, kata kuasa hukum lain Asep Komarudin, PT Murni Nusantara Mandiri tidak menghormati dan mengabaikan hak marga Kwipalo tanpa ada perundingan dan musyawarah dengan kliennya, Vincen Kwipalo serta tanpa ada persetujuan klien selaku pemilik wilayah dan tanah adat marga Kwipalo.
“PT Murni Nusantara Mandiri langsung memasuki wilayah dan tanah adat Kwipalo, menghancurkan hutan adat marga, merusak tanaman tradisional dan tanaman jangka panjang, menghilangkan lahan pangan dan tempat berburu dan bahkan wilayah sakral milik marga Kwipalo,” ujar Asep.
Sedangkan Emanuel menegaskan, kehadiran dan aktivitas perusahaan yang melanggar hak masyarakat adat telah menimbulkan ketegangan dan konflik horizontal antar-marga dan ancaman terhadap tokoh adat.
“Kami Solidaritas Merauke selaku kuasa hukum Vincent memohon kepada Kapolri untuk menerima dan menindaklanjuti laporan dugaan tindak pidana yang dilaporkan terkait penggelapan tanah adat yang dilakukan pihak PT Murni Nusantara Mandiri,” kata Emanuel.
Selain itu, Asep meminta Kapolri menghentikan sementara seluruh kegiatan merusak hutan yang dilakukan perusahaan itu di wilayah adat Marga Kwipalo. Ia meminta Mabes Polri memberikan perlindungan hukum dan keamanan bagi masyarakat adat Kwipalo.
“Perlindungan hukum dan keamanan bagi masyarakat adat Kwipalo sebagaimana diatur dalam Pasal 66 UU Nomor 32 Tahun 2009 yang menyatakan setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup tidak dapat dituntut secara pidana maupun perdata,” kata Asep yang juga juru kampanye hutan senior Greenpeace Indonesia. (*)










