Mabuk Agama Bernama “Hari Mualaf Sedunia”

Mabuk Agama Bernama “Hari Mualaf Sedunia”. Gambar ilustrasi: Odiyaiwuu.com

MENJELANG 25 Desember 2024 hingga 2025, ruang publik Indonesia diguncang narasi menyesatkan: “25 Desember sebagai Hari Mualaf Sedunia.” Ini bukan dakwah, bukan pula ekspresi iman yang dewasa. Ini adalah mabuk agama, ketika akal sehat ditenggelamkan oleh euforia simbolik. Narasi ini diproduksi dan disebarkan oleh oknum melalui TikTok, Instagram, Facebook, dan YouTube, tanpa dasar teologis, tanpa legitimasi institusional, dan tanpa kepekaan sosial.

Tanggal 25 Desember adalah Hari Natal, hari raya umat Kristiani. Menempelkan label konversi agama di tanggal suci agama lain adalah tindakan tidak beradab. Ia bukan kesalahan kecil, melainkan provokasi sadar. Tidak ada ajaran iman yang membenarkan penumpangan simbol pada hari suci pihak lain. Ini bukan keberanian iman, melainkan kegenitan identitas yang miskin empati dan menihilkan etika hidup bersama.

Sejumlah figur media sosial ikut terseret dalam pusaran ini. Nama Zulkifli M. Abbas, dikenal sebagai Bang Zuma, kerap disebut dalam unggahan yang mengamplifikasi wacana tersebut. Nama Refly Harun juga beredar dalam potongan video dan komentar yang memicu polemik. Terlepas dari niat personal, efek publiknya nyata: kegaduhan, ketersinggungan, dan luka simbolik.

Cobalah uji empati paling sederhana. Andaikan umat Kristen menetapkan Hari Idul Fitri sebagai “Hari Murtad Sedunia.” Apa yang terjadi? Umat Islam pasti kejang-kejang, kemarahan meledak, kecaman membabi-buta bermunculan. Tuduhan penistaan agama akan berhamburan. Standar ganda inilah wajah telanjang mabuk agama: keras saat disasar, permisif saat menyasar. Logika yang sama, reaksi yang pasti berlawanan.

Fenomena ini tidak lahir dari ruang ibadah atau ruang ilmu. Ia tumbuh subur di ruang digital, digerakkan oleh algoritma, klik, dan sensasi. Waktunya jelas—menjelang Natal—ketika sensitivitas antariman seharusnya dijaga. Tempatnya jelas—media sosial Indonesia—ketika provokasi cepat viral dan tanggung jawab kerap menguap. Inilah wajah keimanan yang dikerdilkan menjadi konten.

Konversi iman adalah urusan personal, batiniah, dan sakral. Ia bukan piala untuk dipamerkan, apalagi dipentaskan di tanggal suci agama lain. Memamerkan konversi pada hari raya pihak lain bukan dakwah, melainkan pelecehan simbolik. Agama apa pun tidak mengajarkan kebutaan etika atau kegirangan di atas ketersinggungan sesama.

Karena itu, praktik mabuk agama bernama “Hari Mualaf Sedunia” ini dikecam sekeras-kerasnya. Hentikan provokasi. Tarik narasi yang sembrono. Dewasakan cara beriman. Jika iman benar-benar kuat, ia tidak membutuhkan penistaan simbolik untuk merasa unggul. Keimanan sejati menjaga batas, menghormati sesama, dan menolak mabuk identitas.(Editor)