DAERAH  

Suara Kritis Kaum Awam Katolik Papua: Lebih Baik Kehilangan Agama Daripada Tanah Adat

MERAUKE, ODIYAIWUU.com — Umat Katolik dan masyarakat adat di tanah Papua, Minggu (21/12) menyampaikan keprihatinan dan penolakan moral terhadap arah pastoral dan pembangunan pastoral yang mengancam tanah adat, hutan, dan ruang hidup orang Papua.

Pernyataan keprihatinan tersebut lahir dari jeritan nurani umat yang merasakan bahwa tanah adat sebagai sumber kehidupan tengahh dikorbankan atas nama pembangunan nasional.

“Proyek Strategis Nasional (PSN) di Merauke telah memicu kekhawatiran serius atas perampasan tanah adat, kerusakan ekologis, banjir, hilangnya sumber pangan lokal, serta peminggiran masyarakat adat,” ujar Ketua Suara Kaum Awam Katolik Regio Papua Stendlhy Dambujai dan Sekretaris Chris Dogopia melalui keterangan tertulis dari Merauke, Papua Selatan, Minggu (21/12).

Dambujai dan Dogopia menegaskan, pernyataan dukungan Uskup Keuskupan Agung Merauke Mgr Petrus Canisius Mandagi, MSC terhadap PSN di Merauke telah menimbulkan luka pastoral dan krisis kepercayaan di kalangan umat. Pasalnya, Uskup Mandagi memberi legitimasi moral pada proyek yang mengancam ruang hidup umatnya sendiri.

Legitimasi Uskup Mandagi sebagai Uskup Metropolitan, yang menaungi Keuskupan Jayapura, Manokwari-Sorong, Agats, dan Keuskupan Timika memperlihatkan wajah Gereja Katolik di tanah Papua yang makin tidak netral dan independen. Sebaliknya, menunjukkan Gereja Katolik semakin kapitalistik.

“Arahan penanaman sawit di Papua menambah beban ekologis dan sosial, mengulang pola lama ekstraksi sumber daya yang tidak adil bagi masyarakat adat. Umat melihat bahwa kebijakan nasional yang berurusan dengan keutuhan tanah dan hutan adat bertentangan dengan Ajaran Sosial Gereja (ASG), termasuk Ensklik Laudato Si,” kata Dambujai dan Dogopia.

Dambujai dan Dogopia menegaskan, tanah adat adalah fondasi iman yang berinkarnasi. Bagi orang Papua, iman hidup di tanah, hutan, sungai, dan kebun. Kehilangan tanah berarti kehilangan martabat dan masa depan.

“Agama tidak boleh menjadi alat pembenaran perampasan. Ketika agama bersekutu dengan kekuasaan dan modal, ia kehilangan jiwa profetisnya. Bahkan merusak wibawa Gereja Katolik,” ujar Dambujai dan Dogopia.

Gembala dipanggil membela domba, bukan proyek. Dukungan tanpa persetujuan bebas, didahului, dan diinformasikan (FPIC) dari masyarakat adat adalah kegagalan pastoral.

“Pembangunan yang memiskinkan adalah ketidakadilan. PSN dan ekspansi sawit yang mengorbankan tanah adat bertentangan dengan nilai keadilan sosial dan ajaran sosial Gereja,” kata Dambujai dan Dogopia.

Dukungan otoritas gereja kepada kekuasaan dan kapitalis tanpa berpihak papda perjuangan umat yang membela tanah adat ini sungguh-sungguh meluka hati dan perasaan umat.

“Umat Katolik di Papua merasa bahwa lebih baik kekhilangan agama daripada kehilangan tanah adatnta. Lebih baik kehilangan iman, yang punya andil untuk merusak keutuhan tanah dan hutan adat daripada kehilangan iman yang berakat pada tanah dan hutan adatnya,” ujar Dambujai dan Dogopia.

Dambujai dan Dogopia menegaskan, umat Katolik menolak agama yang kehilangan keberpihakan, bukan meninggalkan Allah. Umat mempertahankan iman pada Allah kehidupan yang berbasis pada tanah dan hutan adat, sambil menolak agama yang membenarkan perampasan tanah dan hutan adat atas nama kemanudiaan, pembangunan, kemajuan dan kesejahteraan.

Suara Kaum Awam Katolik Regio Papua juga menyampaikan sejumlah tuntutan dan seruan. Pertama, hentikan dan evaluasi PSN Merauke serta seluruh ekspansi sawit di Papua yang mengancam tanah adat dan ekologi.

Kedua, hormati hak masyarakat adat, termasuk free, prior, and informed consent (FPIC), pemetaan wilayah adat, dan perlindungan hukum atas tanah ulayat.

Ketiga, Uskup Agung Merauke diminta melakukan koreksi pastoral, mendengarkan umat terdampak, dan menyatakan sikap yang jelas berpihak pada perlindungan tanah adat.

Keempat, negara diminta meninjau ulang kebijakan pembangunan Papua, dengan prioritas pada kedaulatan pangan lokal, ekologi, dan martabat manusia Papua.

Kelima, negara harap menjadi orang Papua dan keutuhan tanah adatnya sebagai tujuan prioritas utama, bukan objek pembangunan di atas kebijakan yang tumpeng tindi tanpa memberikan ouput.

Keenam, Gereja Katolik di tanah Papua dipanggil kembali menjadi Ecclesia pro Pauperibus, Gereja bagi kaum kecil dan tertindas.

Ketujuh, mendesak Uskup Agung Merauke Mgr Petrus Canisius Mandagi, MSC guna mengundurkan diri dan mengumumkan Uskup baru yang pro ekologis dan martabat manusia.

“Pernyataan ini adalah seruan pertobatan bagi ambisi negara, perusahaan kapitalis dan Gereja. Jika tanah adat dijaga, iman akan tetap hidup. Jika tanah adat dirampas, agama kehilangan maknanya. Tidak ada agama tanpa tanah adat. Tidak ada kemanusiaan tanpa martabat. Demi kehidupan, martabat, dan masa depan orang Papua,” kata Dambujai dan Dogopia. (*)