Oleh Eddy Way
Aparatur Sipil Negara Provinsi Papua Tengah
ANGGARAN Program Makan Bergizi Gratis (MBG) di tanah Papua (selanjutnya, Papua) mencapai angka sekitar Rp 25 triliun. Angka ini bahkan disebut oleh Kepala Badan Gizi Nasional Dadan Hindayana hampir tiga kali lipat dibandingkan alokasi di Pulau Jawa.
Bagi sebagian orang, angka ini terdengar sangat fantastis. Bagi sebagian lain, angka ini memunculkan harapan besar. Namun di saat yang sama, angka sebesar ini juga menimbulkan satu pertanyaan penting: apakah uang sebanyak itu benar-benar akan memberi dampak nyata bagi kehidupan masyarakat Papua?
Pertanyaan ini penting diajukan sejak awal, bukan untuk menolak program, tetapi justru untuk menjaga agar program besar ini tidak berakhir sebagai daftar kegiatan dan laporan administrasi semata.
Sejarah pembangunan mengajarkan bahwa tidak semua program dengan anggaran besar otomatis memberi hasil besar. Banyak program gagal bukan karena kekurangan uang, tetapi karena keliru dalam cara berpikir dan cara mengelola.
Jika suatu saat nanti dana 25 triliun rupiah itu tidak meninggalkan jejak perubahan yang jelas, masalah utamanya bukan terletak pada besarnya anggaran. Masalahnya ada pada cara pandang orang-orang yang mengelolanya. Terutama, apakah mereka memandang anggaran ini sebagai pembiayaan atau sebagai investasi.
Pembiayaan dan investasi terlihat mirip di atas kertas, tetapi sangat berbeda dalam praktik. Pembiayaan adalah cara berpikir yang fokus pada pengeluaran. Ukurannya sederhana: apakah anggaran terserap, apakah pagu habis, apakah laporan selesai, dan apakah prosedur administrasi terpenuhi. Dalam cara pikir ini, keberhasilan sering diukur dari seberapa rapi laporan dan seberapa cepat dana dihabiskan.
Penerima Manfaat
Dalam pola pembiayaan, yang penting kegiatan jalan. Soal apakah kegiatan itu benar-benar mengubah kondisi penerima manfaat sering kali menjadi urusan nomor dua. Selama tidak ada temuan administrasi dan dana terserap sesuai rencana, program dianggap berhasil. Padahal, masyarakat di lapangan belum tentu merasakan perbedaan yang berarti dalam hidup mereka.
Sebaliknya, investasi adalah cara berpikir yang berangkat dari pertanyaan yang berbeda. Bukan lagi “uang ini sudah habis atau belum”, melainkan “uang ini menghasilkan perubahan apa”. Dalam investasi, uang dipandang sebagai modal untuk masa depan. Modal untuk membangun manusia, memperkuat sistem, dan menciptakan dampak yang bertahan lama.
Cara berpikir investasi menuntut kesabaran dan ketelitian. Hasilnya tidak selalu langsung terlihat dalam hitungan bulan. Namun, dampaknya bisa dirasakan bertahun-tahun kemudian. Anak-anak yang hari ini mendapatkan gizi baik akan tumbuh lebih sehat, lebih kuat, dan lebih cerdas di masa depan. Itulah logika investasi.
Perbedaan pembiayaan dan investasi selalu bisa dilihat dari hasil akhirnya. Jika ada perubahan nyata yang dirasakan masyarakat, itu pertanda pengelolanya berpikir investasi. Jika yang terlihat hanya kegiatan berulang tanpa perubahan berarti, itu pertanda cara pikir pembiayaan yang dominan.
Dalam konteks MBG di seluruh Papua, cara berpikir ini menjadi sangat menentukan. Papua memiliki tantangan yang berbeda dengan wilayah lain. Akses geografis sulit, kondisi sosial beragam, serta keterbatasan infrastruktur membuat pendekatan “satu pola untuk semua” tidak selalu cocok. Jika program ini dijalankan hanya sebagai rutinitas anggaran, maka uang sebesar apa pun bisa habis tanpa meninggalkan dampak.
Kegiatan Bisnis
Masalah lain yang sering muncul dalam cara pikir pembiayaan adalah cara memandang penerima manfaat. Dalam banyak kasus, masyarakat ditempatkan hanya sebagai obyek. Mereka dilihat sebagai angka statistik, sebagai target program, bukan sebagai manusia dengan kebutuhan dan konteks hidup yang nyata.
Ketika penerima manfaat diperlakukan sebagai obyek, muncul kecenderungan menjadikan program sosial seperti kegiatan bisnis. Polanya menjadi take and give: ada dana, ada kegiatan, lalu selesai. Yang penting ada transaksi, bukan transformasi. Padahal, program sosial seharusnya berangkat dari kepedulian, bukan sekadar pertukaran memberi dan menerima.
Program MBG seharusnya tidak berhenti pada urusan membagikan makanan, namun harus dipahami sebagai upaya membangun masa depan generasi Papua. Gizi bukan hanya soal kenyang hari ini, tetapi tentang kualitas hidup di masa depan. Anak yang bergizi baik memiliki peluang lebih besar untuk belajar dengan baik, bekerja dengan baik, dan berkontribusi bagi daerahnya.
Jika MBG diposisikan sebagai investasi, maka pertanyaan yang diajukan akan berbeda. Bukan hanya berapa porsi yang dibagikan, tetapi apakah makanan sesuai dengan kebutuhan gizi lokal. Bukan hanya siapa penyedia, tetapi apakah rantai pasok melibatkan masyarakat setempat. Bukan hanya cepat atau lambatnya penyerapan anggaran, tetapi keberlanjutan dampak program.
Tanggung Jawab Moral
Cara berpikir investasi juga menuntut integritas dan tanggung jawab moral. Mengelola uang publik, apalagi dalam jumlah besar, bukan sekadar urusan teknis, namun ini lebih kepada soal nurani. Apakah pengelola benar-benar ingin melihat anak-anak Papua tumbuh lebih baik, atau sekadar ingin menyelesaikan tugas administratif.
Anggaran 25 triliun rupiah adalah amanah besar. Amanah ini akan bermakna jika dikelola dengan cara pikir yang benar. Jika tidak, angka besar itu hanya akan menjadi catatan dalam dokumen anggaran, tanpa cerita perubahan di kehidupan nyata masyarakat.
Papua tidak kekurangan program. Papua tidak selalu kekurangan dana. Yang sering kurang adalah konsistensi cara berpikir investasi dalam pembangunan. Program datang dan pergi, tetapi masalah yang sama terus berulang karena akar persoalan tidak disentuh dengan sungguh-sungguh.
MBG memberi peluang untuk memutus pola lama itu. Dengan anggaran besar dan perhatian nasional, program ini bisa menjadi contoh bagaimana uang negara benar-benar diubah menjadi kesejahteraan. Namun peluang ini hanya akan terwujud jika semua pihak, terutama para pengelola, berani keluar dari zona nyaman pembiayaan menuju cara pikir investasi.
Pada akhirnya, masyarakat tidak akan menilai program dari besarnya anggaran. Mereka menilai dari perubahan yang mereka rasakan. Anak-anak yang lebih sehat, keluarga yang lebih kuat, dan masa depan yang lebih menjanjikan. Itulah ukuran keberhasilan yang sesungguhnya.
Jika 25 triliun rupiah mampu menghadirkan perubahan dan mempunyai multiplayer effect, maka kita bisa mengatakan bahwa uang tersebut dikelola sebagai investasi. Tetapi jika tidak, maka sebesar apa pun anggaran, hanya akan menjadi pembiayaan yang habis tanpa makna.










