Oleh Laurens Minipko
Pemerhati Sosial Budaya Papua
PADA Selasa (16/12) Presiden Prabowo Subianto mengumpulkan seluruh kepala daerah di Pulau Papua di Istana Negara, Merdeka Utara, Jakarta. Hadir enam gubernur, 42 bupati/wali kota, serta 10 anggota Komite Eksekutif Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus Papua.
Di hadapan mereka, Presiden Prabowo menyampaikan tiga pesan utama yaitu percepatan pembangunan dengan pengamanan negara dan swasembada pangan (energi), komitmen menjadikan Papua sebagai kawasan strategis kemandirian energi nasional, dan pembangunan rumah sakit, sekolah, pariwisata, keamanan, dan infrastruktur.
Sekilas, pesan pesan ini terdengar progresif dan menjanjikan. Namun bagi Papua, setiap kalimat pembangunan selalu membawa sejarah panjang relasi kuasa: negara, pasar, dan masyarakat adat. Karena itu, pesan Presiden perlu dibaca bukan hanya secara normatif: apa yang diucapkan. Lebih dari itu secara hermeneutik: apa makna, arah, dan implikasi bagi hidup orang Papua.
Pertama, percepatan pembangunan dan pengamanan kekayaan negara. Presiden menegaskan bahwa Papua harus didorong pembangunannya melalui pengamanan kekayaan negara serta penguatan swasembada pangan dan energi hingga tingkat daerah.
Di sini, Papua langsung ditempatkan sebagai wilayah strategis ekonomi-politik nasional. Istilah “pengamanan kekayaan negara” mengandung makna bahwa Papua dibaca sebagai ruang aset: hutan, tanah, air, energi, dan mineral. Swasembada pangan dan energi bukan semata urusan kesejahteraan lokal, melainkan bagian dari logika ketahanan nasional.
Masalahnya, dalam pengalaman Papua, logika percepatan kerapkali berjalan dengan bahasa negara dan pasar, bukan bahasa hidup masyarakat adat. Ketika pengamanan kekayaan negara menjadi prioritas, muncul aneka pertanyaan mendasar yang berkelebat: kekayaan negara versi siapa? Apakah tanah adat, hutan sagu, sungai, dan laut yang menopang hidup orang Papua dibaca sebagai kekayaan yang harus dilindungi, atau justru sebagai komoditas yang harus diamankan dari warganya sendiri?
Percepatan pembangunan tanpa koreksi perspektif berisiko berubah menjadi percaptan ekstraksi. Jalan dibangun cepat, investasi masuk cepat, tetapi relasi sosial, ekologi, dan budaya justru rapuh.
Kedua, kemandirian energi dan penetapan Papua sebagai kawasan strategis. Pengembangan swasembada energi nasional. Ini menandai pergeseran penting: Papua bukan sekadar wilayah “tertinggal” yang harus dikejar, namun ia jantung masa depan energi Indonesia. Air, panas bumi, bioenergi, dan sumber daya lain menjadikan Papua penyangga kemandirian nasional di tengah krisis global.
Namun sejarah Papua menyodorkan satu pelajaran pahit: setiap kali Papua disebut strategis, tubuh orang Papua sering menjadi sekunder. Penetapan kawasan strategis kerap diikuti pembatasan ruang hidup, konflik agraria, dan penguatan aparat keamanan. Energi mengalir ke pusat, sementara risiko sosial dan ekologis tertinggal di kampung-kampung.
Tanpa pengakuan hak ulayat, persetujuan bebas dan didahulukan, serta keterlibatan orang asli Papua (OAP) sebagai subjek utama, kemandirian energi nasional justru dapat melahirkan ketergantungan baru bagi Masyarakat lokal: bergantung pada proyek, upah rendah, dan kebijakan yang tidak mereka rancang.
Ketiga, pembangunan layanan dasar dan keamanan. Presiden juga menjanjikan pembangunan rumah sakit, renovasi sekolah, sekolah rakyat, pengembangan pariwisata, penjaminan keamanan, dan perbaikan infrastruktur di seluruh Papua. Pesan ini mencerminakn wajah negara kesejahteraan: negara hadir melalui layanan dasar. Ini penting, sebab selama bertahun-tahun Papua kerap diperlakukan sebagai wilayah kaya sumber daya, tetapi miskin layanan.
Keamanan dan Swasembada
Namun, paling kurang dua catatan kritis perlu diajukan di sini. Pertama, keamanan sering diletakkan sebagai prasyarat pembangunan. Dalam pengalaman Papua, keamanan kerap dimaknai sebagai kehadiran aparat bersenjata di ruang sipil, bukan rasa aman warga. Sekolah dan rumah sakit dapat berdiri megah, tetapi kehilangan makna jika dibayangi rasa takut.
Kedua, gagasan swasembada pangan di setiap kabupaten perlu dibaca hati-hati. Swasembada sering diterjemahkan secara seragam: beras, sawah, dan komoditas pasar. Padahal sistem pangan Papua bertumpuh pada sagu, umbi, hutan, dan laut, yaitu pada relasi ekologis, bukan semata produksi massal. Di sinilah lahir kritik paling jujur dari orang Papua: kami butuh sagu, bukan sawit.
Frasa ini bukan romantisme budaya. Ia kritik epistemik terhadap cara negara mendefinisikan kebutuhan. Ketika swasembada diukur dengan indikator nasional yang seragam, pengetahuan lokal dipinggirkan. Buntutnya, orang Papua diposisikan sebagai objek yang harus “diajari hidup benar.”
Jika ketiga pesan presiden dirangkai, tampak satu benang merah: Papua diposisikan sebagai ruang strategis nasiona (energi, pangan, aset, dan stabilitas. Ini bukan salah. Negara memang berhak merancang masa depannya. Tetapi pertanyaan etis dan politisnya tetap mendesak: apakah Papua dibangun bersama orang Papua atau di atas orang Papua?
Pembangunan tanpa hermeneutika lokal akan selalu timpang bahkan pincang. Negara boleh berbicara tentang percepatan, kemandirian, dan keamanan, tetapi Papua akan terus mengingatkan dengan satu kalimat sederhana, namun radikal: kami butuh sagu, bukan sawit. Kalimat itu menuntut satu hal yaitu pembangunan yang berpijak pada kehidupan asali dan menyejarah, bukan sekadar merujuk angka dan strategi.










