Oleh Benyamin Gwijangge
Tokoh Muda Papua kelahiran Nduga, Papua Pegunungan
NATAL adalah kisah tentang jatuh yang tidak pernah menjadi kalah. Allah memilih lahir bukan di istana, tetapi di palungan. Bukan di pusat kekuasaan, tetapi di pinggiran. Bukan di tempat aman, tetapi di tempat yang rapuh. Sejak awal, Natal adalah pernyataan iman bahwa keterjatuhan manusia tidak pernah menghapus rencana Allah.
Karena itu, bagi orang Nduga di Provinsi Papua Pegunungan yang sejak Desember 2018 hingga 2025 tengah berada di pengungsian, terusir dari kampung, tanah, dan ruang hidupnya sendiri, Natal bukan sekadar perayaan tahunan. Natal adalah cermin kehidupan. Natal adalah pengakuan iman: “kami boleh jatuh, tetapi kami tidak kalah”.
Allah yang Hadir di Tengah Kejatuhan
Teologi Natal tidak mengenal Allah yang netral terhadap penderitaan. Allah justru memilih hadir di titik kejatuhan manusia. “Dan mereka tidak mendapat tempat di rumah penginapan.” (Lukas 2:7)
Ayat ini adalah inti dari iman orang-orang yang jatuh karena ketidakadilan. Ketika dunia tidak memberi tempat, Allah justru datang dan tinggal. Ketika orang Nduga kehilangan rumah, kampung, kebun, dan rasa aman, iman Kristen menegaskan satu hal: Tuhan tidak pergi. Jatuh bukan berarti ditinggalkan. Jatuh adalah ruang perjumpaan baru dengan Allah yang setia.
Natal mengajarkan bahwa Allah tidak hanya memahami penderitaan dari kejauhan. Ia turun dan mengalaminya. Yesus lahir sebagai anak miskin, dan tak lama kemudian hidup sebagai pengungsi. “Bangunlah, ambillah Anak itu serta ibu-Nya, larilah ke Mesir.” (Matius 2:13)
Yesus tidak hanya lahir rendah, Ia jatuh ke dalam realitas kekerasan politik, ketakutan, dan pengusiran. Maka setiap orang Nduga yang mengungsi, setiap mama yang melahirkan di hutan, setiap anak yang lahir di tengah pelarian, sedang berjalan di jejak Kristus sendiri. Natal berkata kepada orang Nduga: Tuhan tidak hanya melihat kejatuhanmu, Ia mengalaminya bersamamu.
Pengungsian merampas banyak hal: rumah, tanah, pendidikan, dan rasa aman. Tetapi iman Kristen menegaskan satu kebenaran yang tidak bisa dirampas oleh siapa pun: martabat manusia. “Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya.” (Kejadian 1:27)
Martabat tidak jatuh ketika tubuh jatuh. Nilai diri tidak hancur ketika hidup dipaksa runtuh. Orang Nduga tetap manusia utuh —ciptaan Allah— meskipun hidup di tenda, hutan, dan tempat pengungsian. Inilah pesan Natal yang paling membebaskan: jatuh tidak pernah berarti kalah, karena martabat berasal dari Allah, bukan dari keadaan.
Salib Sudah Hadir Sejak Natal
Natal bukan kisah manis tanpa luka. Sejak awal, Natal sudah dibayangi kekerasan, ketakutan, dan darah anak-anak Betlehem. Salib tidak dimulai di Golgota. Salib dimulai di palungan.
Bagi orang Nduga, ini adalah penguatan iman yang jujur dan dewasa: penderitaan bukan tanda kegagalan iman. Penderitaan sering menjadi jalan pembentukan iman. “Tujuh kali orang benar jatuh, namun ia bangun kembali.” (Amsal 24:16). Inilah iman orang Nduga: jatuh berulang kali, tetapi terus bangkit.
Natal tidak hanya menghibur hati, tetapi membangun kekuatan moral. Natal memanggil orang Nduga untuk bertahan tanpa kehilangan kemanusiaan, berjuang tanpa mewariskan kebencian dan mengingat luka tanpa menjadikannya senjata.
“Berbahagialah orang yang membawa damai.” (Matius 5:9). Membawa damai bukan berarti melupakan sejarah. Membawa damai berarti memastikan bahwa kejatuhan hari ini tidak menjadi kekalahan generasi berikut.
Natal adalah perayaan terang. Tetapi terang tidak selalu datang sebagai kemenangan cepat. Kadang terang hadir sebagai keberanian untuk hidup satu hari lagi. Sebagai keputusan untuk menyekolahkan anak.
Sebagai doa yang tetap dinaikkan meski harapan tampak menipis. “Terang itu bercahaya di dalam kegelapan, dan kegelapan itu tidak menguasainya.” (Yohanes 1:5). Orang Nduga adalah bukti ayat ini. Gelap pengungsian tidak menguasai mereka. Luka tidak mematikan iman mereka. Kejatuhan tidak memadamkan harapan mereka.
Pernyataan Iman Orang yang Jatuh
Natal tidak menjanjikan bahwa penderitaan langsung berakhir. Tetapi Natal menegaskan bahwa penderitaan tidak memiliki kata terakhir. Bagi orang Nduga, Natal adalah pengakuan iman yang hidup:
Kami jatuh, tetapi kami tidak kalah. Kami terusir, tetapi kami tidak kehilangan martabat. Kami terluka, tetapi kami tidak kehilangan iman. Kami berjalan jauh, tetapi Tuhan berjalan bersama kami.
Allah yang lahir di palungan adalah Allah yang menyertai orang Nduga hari ini. Dan Allah yang sama akan memimpin mereka bangkit —bukan sebagai orang kalah, tetapi sebagai manusia yang dimurnikan oleh penderitaan dan dikuatkan oleh harapan.
Selamat Natal saudaraku yang di rantau dan di bawah tenda-tenda pengungsian. Jatuh tidak berarti kalah. Tuhan lahir di tengah kejatuhan manusia.










