OPINI  

Isu Papua Merdeka di Istana Negara

Dr Socratez Yoman, Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua; Anggota Dewan Gereja Papua dan Anggota Konferensi Gereja-gereja Pasifik. Foto: Istimewa

Oleh Dr Socratez Yoman

Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua; Anggota Dewan Gereja Papua dan Anggota Konferensi Gereja-gereja Pasifik

ISU PAPUA merdeka dijual di Istana Negara dan 10 triliun rupiah lebih tutup mulut para pejabat di seluruh Papua Barat dari Sorong-Merauke. “Kalau Aceh, Aceh itu minta merdeka karena ekonomi saja, kita ini minta merdeka karena betul-betul minta merdeka….” (Meki Fritz Nawipa, Ketua Asosiasi Gubernur se-Tanah Papua dan Gubernur Provinsi Papua Tengah).

Salah satu syarat nomor satu dan paling penting bagi setiap pejabat, yaitu gubernur, bupati, dan walikota ialah setia pada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan siap mati untuk NKRI selama menjabat 5 atau 10 tahun. Meki Nawipa menyampaikan kepada Presiden dan Menteri Dalam Negeri dan seluruh pejabat tinggi Indonesia di Jakarta dengan pernyataan keras sebagai berikut.

“Kalau Aceh, Aceh itu minta merdeka karena ekonomi saja. Kita ini minta merdeka karena betul-betul minta merdeka. Tapi karena kita sudah setia dengan NKRI ini, jadi jangan sama sekali dikurangi, kita berharap kalau Pak Mendagri kasih kesempatan kita mau bicara langsung dengan Presiden”.

Sungguh ironis! Isu Papua Barat merdeka selalu menjadi komoditas politik yang paling laku yang ditawarkan oleh para pejabat Papua. Minta uang harus bicara Papua Barat merdeka. Pemekaran provinsi-provinsi boneka harus bicara Papua Barat merdeka. Pemekaran kabupaten dan kota harus bicara Papua Barat merdeka. Untuk mendapat jabatan, pangkat atau golongan dan menjadi anggota DRP dan MRP harus bicara Papua Barat merdeka.

Ingat baik-baik. Papua Barat merdeka tidak dapat digadaikan dengan 10 triliun lebih. Martabat kemanusiaan dan harga diri kami rakyat dan bangsa Papua Barat tidak bisa digadaikan dengan nilai uang, pemekaran provinsi-provinsi boneka, dan jabatan atau kedudukan. Ideologi Papua Barat merdeka tidak bisa dihilangkan dengan nilai uang dan dropping ribuan pasukan tentara Indonesia dan bentuk badan-badan baru yang tumpang tindih yang menghabiskan uang rakyat.

Nilai 10 triliun rupiah lebih adalah nilai sangat kecil atau hanya remah-remah saja.  Karena rakyat dan bangsa Papua Barat berada di Indonesia bukan tangan kosong. Rakyat dan bangsa Papua memberikan kontribusi nilai puluhan dan ratusan triliun untuk Indonesia dan Amerika Serikat. Kami rakyat dan bangsa Papua membangun Indonesia dan membangun dengan uang hasil tambang kami dari Freeport McMoran, tambang gas BP di Bintuni, minyak tanah di Sorong.

Dana 10 triliun lebih itu bagian dari kewajiban negara untuk membangun Papua sepanjang dan sejauh Indonesia mengklaim Papua Barat bagian dari wilayah Indonesia dan itu sama saja dengan provinsi-provinsi lain di Indonesia. Tidak ada istimewa dan tidak ada yang luar biasa dan juga belum ada terobosan baru bagi Papua Barat dari Presiden Prabowo Subianto. Dana 10 triliun lebih adalah bagian dari resolusi pembangunan tetapi bukan dari resolusi konflik.

Luka Dalam Tubuh

Presiden Prabowo Subianto perlu tahu. Papua Barat sudah menjadi luka membusuk dan bernanah di dalam tubuh bangsa Indonesia. Sebagai salah satu pendukung Presiden Prabowo Subianto, penulis minta Presiden segera menunjuk special envoy untuk penyelesaian konflik Papua yang sudah menahun/kronis terlama di Asia Pasifik.

Dalam Kebangsaan, Demokrasi, dan Pluralisme: Bunga Rampai Etika Politik Nasional (2017) pengajar dan filsuf Prof Dr Franz Magnis-Suseno, SJ dari Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara, Jakarta tepat mengatakan, “situasi di Papua adalah buruk, tidak normal, tidak beradab, dan memalukan, karena itu tertutup bagi media asing. Papua adalah luka membusuk di tubuh bangsa Indonesia. Kita akan ditelanjangi di depan dunia beradab, sebagai bangsa yang biadab, bangsa pembunuh orang-orang Papua, meski tidak dipakai senjata tajam.”

Sedangkan dalam buku Pastor Frans Lieshout, OFM: Guru dan Gembala Bagi Papua (2020) karya Markus Haluk, Lieshout mengatakan, “orang Papua telah menjadi minoritas di negeri sendiri. Amat sangat menyedihkan. Papua tetaplah luka bernanah di Indonesia.”

Lebih jauh Lieshout mengungkapkan, “orang tidak mau mendengar orang Papua, apa yang ada dihati mereka, aspirasi mereka. Aspirasi itu dipadamkan dengan senjata, kita harus mengutuk itu. Pendekatan Indonesia terhadap Papua harus kita kutuk. Orang Papua telah menjadi minoritas di negerinya sendiri. Papua tetaplah luka bernanah di Indonesia.”

Sementara itu dalam buku Membawa Keadilan & Perdamaian ke Tanah Papua terbitan Unpar Press (2024), Ketua Pusat Studi Papua Universitas Kristen (UKI Jakarta, Dr Anti Solaiman mengatakan, “Papua itu luka dan isi lima buku Markus Haluk itu berisi luka semuanya yang belum ada solusinya. Luka itu bukan hanya dialami generasi tua, melainkan juga sudah dialami generasi anak dan bahkan generasi cucu.”

Sedangkan Ketua Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) Pendeta Gomar Gultom, pada suatu diskusi tentang Papua pernah mengungkapkan, “Persoalan Papua hari ini sudah seperti luka bernanah yang belum sembuh, belum kering nanahnya tapi muncul luka yang baru di atasnya” (Sumber: Pendeta Ronald Rischard Tapilatu: Membawa Keadilan dan Damai ke Tanah Papua, 2024).

Luka membusuk dan bernanah sudah dirumuskan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dalam Papua Road Map: Negociating the Past, Improving the Present and Securing the Future (2008). Pertama, sejarah dan status politik integrasi Papua ke Indonesia. Kedua, kekerasan negara dan pelanggaran berat HAM sejak 1965 yang belum ada penyelesaian. Ketiga, diskriminasi dan marjinalisasi orang asli Papua di tanah sendiri. Keempat, kegagalan pembangunan meliputi pendidikan, kesehatan, dan ekonomi rakyat Papua.

Empat akar konflik ini tidak dikaburkan dengan pembentukan Komite Eksekutif Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus Papua (KEPP-OKP) 2025 yang dipimpin Velix Vernando Wanggai, John Wempi Wetipo, Ignatius Yogo Triyono, Paulus Waterpauw, Ribka Haluk, Ali Hamdan Bogra, Gracia Josaphat Jobel Mambrasar, Yani, John Gluba Gebze, dan Johnson Estrella (Ari) Sihasale.

KEPP-OKP itu sama saja dengan dua pemimpin terdahulu. Pertama, di era Haji Susilo Bambang Yudhoyono dibentuklah Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B) dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 66 tahun 2011 yang dikepalai oleh Bambang Darmono dan Gad Fonataba.

Kedua, di era Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) lahir Peraturan Presiden (Perpres) Republik Indonesia Nomor 121 tahun 2022 tentang Badan Pengarah Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus Papua. Peraturan tersebut ditetapkan di Jakarta pada 21 Oktober 2022.

Presiden terpilih Prabowo Subianto untuk tidak berada dalam cara dan metode lama, diharapkan ada pendekatan baru (new approach), alternatif baru, persepsi baru, inovasi baru, kreativitas baru, dan narasi-narasi modern untuk mengakhiri kekerasan negara dan kejahatan kemanusiaan di Papua Barat.

Akhir kata, solusi terbaik, bermartabat, adil, manusiawi dan berabab ialah Presiden Prabowo Subianto segera menunjuk special envoy untuk penyelesaian empat akar konflik Papua Barat yang sudah menahun atau kronis yang terlama di Asia Pasifik, yang sudah dirumuskan LIPI.