OPINI  

Bencana dan Para Rent-Seeker

Eugene Mahendra Duan, Guru SMP YPPK Santo Antonius Nabire, Provinsi Papua Tengah. Foto: Istimewa

Oleh Eugene Mahendra Duan

Guru SMP YPPK Santo Antonius Nabire, Papua Tengah

BANJIR besar dan tanah longsor melanda sejumlah wilayah di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Sumatra Utara, dan Sumatra Barat akhir November 2025. Publik kembali dihadapkan pada pemandangan memilukan: sungai dan pantai dipenuhi gelondongan kayu, potongan pohon besar yang telah terpotong rapi, bercampur dengan lumpur, sampah plastik, dan limbah rumah tangga.

Bencana alam itu seakan mengangkat ke permukaan jejak kelam kerusakan ekologis yang selama ini tersembunyi di balik rimbunan hutan Sumatra. Pertanyaannya teramat sederhana namun fundamental: dari mana datangnya ribuan kubik kayu gelondongan tersebut?

Jawaban atas pertanyaan itu membuka struktur persoalan yang jauh lebih rumit dibanding sekadar hujan ekstrem atau faktor alam. Banjir bukan hanya air yang datang tanpa permisi. Ia adalah suara keras dari hutan-hutan yang dibabat, tanah yang kehilangan daya cengkeram, serta ekosistem yang kehilangan keseimbangannya akibat kerakusan manusia.

Di balik tragedi ini, berdirilah aktor-aktor yang bekerja dalam senyap: para pemburu rente (rent-seekers) yang menjadikan sumber daya alam (SDA) sebagai ladang panen kekayaan, tanpa peduli kerusakan ekologis yang mereka tinggalkan.

Dalam literatur ekonomi klasik, “rente” dulu dipahami sebagai pendapatan pasif atas kepemilikan aset —tanah, modal, atau mesin. Namun, transformasi konsep itu terjadi ketika Gordon Tullock melalui karya pentingnya, The Welfare Cost of Tariffs, Monopolies, and Theft (1967) dan Anne Krueger memperluas maknanya dalam The Political Economy of the Rent-Seeking Society (1974).

Rent-seeking kini merujuk pada aktivitas yang secara sengaja mencari keuntungan ekonomi melalui manipulasi politik, birokrasi, dan hukum, bukan lewat penciptaan nilai produktif. Dengan kata lain, rent-seeker adalah aktor yang meraih keuntungan besar tanpa berkontribusi apa pun bagi kesejahteraan publik.

Rent-seeking di sektor kehutanan dan pertambangan Indonesia menunjukkan pola yang persis sebagaimana digambarkan para ekonom tersebut. Para pelaku mendapatkan akses terhadap sumber daya alam —hutan, tambang, lahan sawit— melalui koneksi politik, permainan izin, atau lobi yang terselubung, bukan melalui kompetisi usaha yang sehat. Di baliknya, kerugian ekologis dan sosial menjadi beban rakyat banyak.

Jejak Rent-Seeking di Balik Bencana Ekologis Sumatra

Dalam konteks bencana yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, gelondongan kayu yang terseret banjir bukan sekadar material alami yang hanyut dari hutan. Jumlahnya yang mencapai ribuan kubik dan bentuknya yang telah terpotong rapi menunjukkan adanya proses eksploitasi sistematis.

Pohon-pohon itu ditebang jauh sebelum hujan datang, namun dibiarkan di titik-titik penumpukan di hutan atau sepanjang alur sungai. Ketika banjir menerjang, seluruh material itu terbawa arus, memecah jembatan, menghancurkan rumah, menciptakan “gelombang kedua” bencana yang lebih mematikan.

Data resmi memperkuat dugaan ini. Kementerian Kehutanan mencatat bahwa deforestasi netto Indonesia pada tahun 2024 mencapai 175,4 ribu hektare, dengan Sumatra menyumbang 78,03 ribu hektare atau hampir separuh dari total kehilangan hutan nasional. Angka tersebut bukanlah statistik biasa. Ia adalah sinyal serius bahwa tekanan terhadap hutan Sumatra telah mencapai titik kritis.

Dalam skala provinsi, Aceh kehilangan 11,21 ribu hektare hutan, Sumatra Utara 7,03 ribu hektare, dan Sumatra Barat 6,63 ribu hektare. Ketiga provinsi itu adalah daerah yang pada November 2025 dilanda bencana paling parah. Korelasi ini terlalu kuat untuk diabaikan.

Dalam The Price of Inequality (2012), ekonom peraih Nobel Joseph Stiglitz menegaskan bahwa rent-seeking menciptakan “distorsi mendalam” pada sistem ekonomi dan tata kelola negara. Ketika sumber daya dikeruk untuk kepentingan segelintir elite, masyarakat luas menanggung biaya sosial yang amat besar.

Biaya sosial itu mewujud kemiskinan, hilangnya ruang hidup, bencana ekologis, dan ketimpangan tata ruang. Bila diperluas ke konteks Indonesia, analisis Stiglitz menemukan wajah paling konkret dalam kerusakan hutan Sumatra yang kini berubah menjadi bencana ekologis berkepanjangan.

Di tingkat penegakan hukum, pola rent-seeking juga tampak nyata. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap bahwa negara merugi hingga Rp 35 triliun per tahun akibat pembalakan liar, dan potensi kehilangan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp 15,9 triliun per tahun akibat izin pinjam pakai kawasan hutan yang tidak prosedural.

Rent-seekers bergerak melalui jaringan yang melibatkan oknum pejabat, pengusaha, dan bahkan aparat keamanan. Di sinilah kerusakan hutan berubah menjadi kerusakan tata kelola negara.

Bencana Aceh, Sumatra Utara, Sumatera Barat mengajarkan satu hal: alam tidak lagi mampu menahan kerusakan struktural yang berlangsung bertahun-tahun. Hutan yang seharusnya berfungsi sebagai penyangga air, penahan longsor, dan pengatur iklim mikro, telah digantikan oleh lahan gundul, kebun sawit ilegal, dan tambang yang menganga.

Ketika hujan ekstrem datang, tanah-tanah tanpa akar itu tak lagi punya kekuatan menahan air. Yang terjadi adalah banjir bandang, longsor, kerusakan infrastruktur, dan korban jiwa.

Menariknya, setiap kali bencana datang, narasi resmi cenderung mengarah pada “faktor alam”, “curah hujan ekstrem”, atau “kondisi geografis”. Padahal bukti lapangan —gelondongan kayu yang menumpuk di muara sungai, pohon-pohon yang terpotong rapi, serta data deforestasi tahunan— menunjukkan bahwa penyebab utama bencana bukanlah hujan, melainkan manipulasi politik dan ekonomi yang dilakukan para rent-seeker.

Kini, di bawah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto yang berkomitmen memerangi rent-seeking dengan membongkar 1.000 tambang ilegal dan lima juta hektare sawit ilegal, publik memiliki momentum untuk mendorong koreksi struktural.

Namun, penghentian praktik rent-seeking tidak cukup dengan operasi sesekali; ia membutuhkan reformasi menyeluruh: transparansi perizinan, pengawasan berbasis teknologi, penguatan peran masyarakat adat, dan penegakan hukum tanpa pandang bulu.

Bencana di Sumatra adalah peringatan. Alam sudah memberi tanda, dan tanda itu amat jelas: selama para rent-seeker masih menguasai hutan, maka bencana akan terus menjadi bahasa alam untuk menagih tanggung jawab manusia. Sebagaimana lirik Ebiet G. Ade, “Mungkin Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita.” Mungkin bukan hanya Tuhan; alam pun sudah lelah.

Reformasi Tata Kelola SDA

Pada titik ini, publik perlu menyadari bahwa bencana bukan sekadar momentum simpati sosial atau agenda distribusi bantuan. Ia adalah krisis struktural yang menguji ketegasan negara dalam menindak para aktor ekonomi-politik yang selama ini merusak hutan untuk memperkaya diri.

Tanpa reformasi kebijakan yang memastikan bahwa proses perizinan, tata kelola lahan, dan pengawasan hutan dilakukan secara transparan, Indonesia akan terus berada dalam lingkaran setan deforestasi dan bencana ekologis.

Sementara itu, masyarakat yang tinggal di lereng gunung, bantaran sungai, dan pesisir pantai akan tetap menjadi korban utama dari kesalahan yang mereka tidak pernah ikut rancang. Rent-seeking di sektor kehutanan pada hakikatnya adalah bentuk perampasan masa depan masyarakat kecil oleh mereka yang memiliki kuasa atas regulasi.

Jika negara sungguh ingin keluar dari krisis ekologis yang berulang, maka penanganan rent-seeking harus ditempatkan sebagai agenda prioritas nasional, bukan sekadar respons situasional. Perlu keberanian politik untuk memutus mata rantai korupsi sumber daya alam, memperkuat kapasitas penegak hukum, serta memulihkan integritas institusi yang selama ini rawan dipengaruhi kepentingan ekonomi elite.

Tanpa langkah-langkah itu, setiap upaya rehabilitasi hutan hanya akan menjadi tambal-sulam yang gagal menyentuh akar persoalan. Bencana Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat telah menunjukkan bahwa alam selalu membayar harga dari kelalaian manusia. Kini giliran manusia, khususnya negara, untuk membayar utangnya kepada alam sebelum tragedi berikutnya kembali menagih dengan harga yang jauh lebih mahal.