JAYAPURA, ODIYAIWUU.com — Aliansi Demokrasi untuk Papua (Alliance of Democracy for Papua), Rabu (10/12) membeberkan sejumlah kasus terkait persoalan hak asasi manusia (HAM) di tanah Papua seperti kasus Wasior 2001, Wamena 2003, dan Paniai 2014 yang masih dalam tahap kasasi pada peringatan Hari HAM Sedunia Tahun 2025 di Jayapura, Papua.
Menurut Latifah Anum Siregar dari Aliansi Demokrasi untuk Papua, tak hanya kasus Wasior 2001, Wamena 2003, dan Paniai 2014, aliansi juga mendesak pemerintah membentuk investigasi independen terhadap sejumlah kasus berpotensi pelanggaran HAM serta mengadili para pelaku penyiksaan, penganiayaan dan pembunuhan terhadap masyarakat sipil.
“Mekanisme penyelesaian non yudisial tidak boleh mengabaikan proses yudisial. Oleh karena itu, membentuk dan memfungsikan pengadilan HAM di Papua dan KKR versi Papua sangat dibutuhkan dengan mempertimbangkan urgensi penyelesaian melalui skema komplementer bukan subsitusi,” ujar Latifah Anum Siregar melalui keterangan tertulis di Jayapura, Papua, Rabu (10/12).
Dalam catatan Aliansi Demokrasi untuk Papua bertajuk Ada Normalisasi Kekerasan dan Politik Hijau Pemerintah dibeberkan sejumlah hal penting. Pertama, di awal tahun 2025, Presiden Prabowo menyampaikan gagasan Amnesti bagi sejumlah narapidana politik. Meski gagasan ini meramaikan media pemberitaan namun faktanya hanya satu yang mendapatkan amnesti. Itu pun menjelang haknya untuk mendapatkan pembebasan bersyarat (PB) yakni Yance Kambuaya alias Yance dari Maybrat, pidana lima tahun.
Sedangkan Viktor Makamuke Bin Paulus (Almarhum), Alex Bless, Adolof Nauw serta Hilkia Isir dari Maybrat yang ditahan di Lapas Kelas I Ujung Pandang dengan lama pidana 4 tahun, sudah saatnya mendapatkan hak pembebasan bersyarat. Di waktu bersamaan pembatasan ruang berekspresi dan penangkapan terhadap masyarakat sipil khususnya aktifis demokrasi dengan menggunakan pasal makar terus terjadi.
“Presiden Prabowo juga mengulangi kebijakan pemerintah sebelumnya yakni memindahkan proses hukum dan pemenjaraan tahanan politik ke luar Papua. Hal ini manambah daftar panjang para aktifis demokrasi yang dipidana makar dan dipenjara di luar Papua,” kata Anum Siregar.
Padahal, di waktu bersamaan, keluarga dan pengacaranya meminta mereka disidangkan dan dikembalikan ke Papua agar dapat dikunjungi oleh keluarga, pengacara dan tidak terjadi konflik sosial budaya ataupun praktik diskriminasi dan rasisme dalam ruang penjara. Seperti yang dihadapi sejumlah tahanan politik atau narapidana politik yang sedang menjalani pemidanaan di Lapas Gunung Sari Kelas IA Makassar Sulawesi Selatan yakni Maikel Yaam dkk yang telah mangajukan permohonan pemindahan berulang kali ke Dirjen Pemasyarakatan (PAS) Kementrian Imigrasi dan Pemasyarakatan RI namun belum direspon.
Kedua, profiling dan stigma serta represif terhadap gerakan demokrasi tidak saja dilakukan aparat penegak hukum tetapi juga muncul dalam bentuk aspirasi dari masyarakat sipil seperti asiprasi warga 14 kampung di Kota Jayapura yakni agar Pemerintah Kota Jayapura menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) tentang Larangan Menyampaikan Aspirasi Melalui Demonstrasi, untuk menjaga keamanan kota Jayapura.
“Benar bahwa setiap warga negara berhak untuk mendapatkan jaminan keamanan sama halnya dengan hak untuk menyampaikan aspirasi dengan damai (non-violence) oleh karena dengan meniadakan salah satu hak tersebut merupakan pelanggaran HAM itu sendiri. Menjamin dan memberikan rasa aman warga dan memberikan ruang aspirasi secara damai, haruslah sejalan dan merupakan tanggungjawab pemerintah untuk menata hak keduanya secara proporsional, bukan mereduksi salah satu dari hak tersebut,” katanya.
Ketiga, aksi kekerasan terutama konflik bersenjata merupakan siklus yang belum dapat diakhiri sekaligus menempatkan masyarakat sipil sebagai korban pertama dan terbanyak termasuk petugas kesehatan dan pendidikan yang telah mendedikasikan diri mereka pada wilayah-wilayah sulit terjangkau dan rawan keamanan, termasuk pada pekerja swasta lainnya.
Masyarakat sipil dan ruang hidupnya yang seharusnya dilindungi dan diberi akses logistik justru mengalami represif berlapis dari TNI-Polri dan TPNPB OPM. Mereka tidak memiliki pilihan selain meninggalkan tempat asalnya. Dampak konflik menimbulkan pengungsian terutama yang dialami oleh kelompok paling rentan yakni perempuan dan anak, lumpuhnya layanan pendidikan, kesehatan dan perekonomian. ironisnya hingga kini, pengungsi dan segala haknya sebagai warga negara yang telah dirampas, belum mendapatkan perhatian dari negara.
Mereka masih dianggap orang yang berpindah dari satu keluarga (kampung) ke keluarga (kampung) yang lain. Padahal jelas-jelas mereka meninggalkan tempat asal secara paksa dan tidak bisa kembali atas kehendak sendiri/secara bebas. Negara tidak memiliki skema kontingensi padahal konflik telah menjadi siklus yang panjang, mengancam kehidupan warganya bahkan terhadap pengungsian yang telah berlangsung lebih dari satu periode kepemimpinan pemerintahan dan satu periode pendidikan dasar (lebih dari 6 tahun), misalnya pengungsi Nduga sejak tahun 2018.
“Ironisnya, data mereka sebagai penduduk di satu kabupaten dan provinsi dipakai untuk pemilihan bupati/gubernur dan parlemen dan jumlah mereka digunakan untuk menambah alokasi dana ke kabupaten/provinsi,” ujar Anum.
Keempat, berbagai kebijakan negera terkait penempatan aparat keamanan khususnya TNI mulai dari penambahan pasukan non organik dan pendirian sejumlah Batalyon dan Kodam serta jajaran organik lainnya seperti dibentuknya enam jabatan Komandan Grup (Dan Grup) Kopassus yang tertuang dalam Surat Keputusan Panglima TNI Nomor Kep/1033/VIII/2025 tanggal 6 Agustus 2025, salah satunya Grup 6 Kopassus di Timika, memperkuat dominasi militer di tanah Papua.
“Demikian juga keterlibatan milter pada Proyek Strategis Nasional (PSN), Satgas Pangan, Koops Satgas Swasembada, Makan Bergizi Gratis (MBG) hingga Koperasi Merah Putih melalui kebijakan negara telah melanggar konstitusi karena melampaui peran dan tugas TNI dalam bidang pertahanan dan keamanan. Kebijakan ini juga merupakan bentuk intervensi terhadap penyelenggaraan pemerintahan yang seharusnya dikelola oleh pemerintah sipil,” kata Anum.
Akibatnya, kebijakan pembangunan hijau (green development) sebagai konsep pembangunan berkelanjutan yang fokus pada kesejahteraan manusia dan lingkungan atau ekonomi hijau dan semboyan “Go Green” telah berubah makna dan praktik menjadi “pembangunan hijau’ versi pemerintah yakni pembangunan yang melibatkan TNI pada setiap bentuk penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan ekonomi, budaya dan sosial kemasyarakatan. Saat ini, tanah Papua menjadi tempat dan bentuk yang paling sempurna dari “Center of gravity”-nya ‘green policy’ pemerintah.
Kelima, penyelenggaraan pemerintahan di enam provinsi di tanah Papua baru dimulai ditandai dengan berakhirnya pesta Pilkada yang sangat panjang terutama di Provinsi Papua, Kabupaten Boven Digoel (PPS) dan Kabupaten Puncak Jaya (PPT). Demikian juga Dewan Perwakilan rakyat (DPR) di tingkat kabupaten/kota dan provinsi meski sudah lebih dari setahun menjalankan tugasnya, namun belum mampu mewujudkan aspirasi masyarakat karena masih berfokus pada rangkaian pesta demokrasi yang sangat panjang.
Termasuk anggota parlemen kursi otsus dan Majelis Rakyat Papua (MRP) pada setiap provinsi yang lebih cenderung bersikap pasif dalam menyuarakan permasalahan hukum dan HAM yang dihadapi oleh orang asli Papua (OAP). Hal ini berbeda dengan respon MRP saat melakukan verifikasi mengenai keaslian orang asli Papua dalam pemilihan gubernur(Pilgub), karena saat itu MRP sangat aktif.
Keenam, menjelang 25 tahun otsus negara belum mampu menyelesaikan kasus dugaan pelanggaran HAM pada kasus Wasior 2001 dan Wamena 2003. Ketidaksungguhan hati negara juga dapat dilihat pada masih belum mampu diselesaikan kasus Paniai 2014 di tingkat kasasi serta sejumlah kasus lainnya.
Kemudian, tidak ada investigasi independen hanya menjadi perang narasi di sosial media dengan informasi yang cenderung berbeda terkait kronologis, identitas korban maupun pelaku. Pertanggungjawab jawaban para pelaku pada dugaan kasus pelanggaran HAM harus ada melalui mekanisme pengadilan HAM dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) versi Papua sebagaimana yang diamanatkan UU Otsus.
“Kedua mekanisme ini dapat dilakukan dalam bentuk komplementer bukan subsitusi dengan meletakkan ganti rugi sebagai bagian dari hak korban untuk mendapatkan restitusi atau kompensasi. Sehingga praktik ganti rugi terhadap korban atau keluarga korban dengan memberikan sejumlah uang memaksa dan mendorong korban atau keluarga korban untuk menutup kasus tersebut seperti yang terjadi pada peristiwa penembakan terhadap 4 warga sipil dan kematian Frengky Kogoya di Wamena, Jayawijaya tidak dibenarkan kecuali para pelaku tetap diadili,” ujar Anum.
Ketujuh, kehadiran Badan Pengarah Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus Papua (BP3OKP) yang dipimpin Wakil Presiden sesuai amanat otsus dengan tugas utamanya adalah sinkronisasi, harmonisasi, evaluasi dan Komite Komite Eksekutif Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus Papua (Otsus) dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 110P Tahun 2025. Badan dan komite itu justru makin memperumit percepatan Pembangunan Otsus karena mata rantai koordinasi yang sangat panjang dan tentu saja pemborosan anggaran di tengah kebijakan Presiden Prabowo tentang efisiensi anggaran.
“Pembentukan badan cenderung digunakan untuk memoderasi kekuatan-kekuatan masyarakat sipil di Papua sekaligus melemahkan pemerintahan sipil di daerah. Sejalan dengan itu, peran wakil presiden untuk menangani Papua tidak memberikan hasil yang signifikan karena dilakukan sangat formal dan reaksional selain kapasitas dan pemahaman tentang Papua yang sangat terbatas,” kata Anum.
Kedelapan, ekspolitasi sumber daya alam, hutan dan tanah Papua terus konsisten dilakukan oleh negara dengan mengabaikan protes dan sikap kritis yang dilakukan masyarakat sipil khususnya pemilik hak ulayat. Legalisasi kebijakan terus diproduksi bersamaan dengan hadirnya kekuatan bersenjata dan mengkooptasi sejumlah tokoh kunci di komunitas, termasuk memicu konflik horizontal di antara masyarakat adat khususnya pemilik hak ulayat.
“Memanipulasi keterbatasan masyarakat adat terutama dalam hal pengetahuan dan ekonomi. Tidak penting seberapa banyak manfaat proyek tersebut bagi masyarakat adat atau seberapa parah kehancuran ekologi yang akan ditimbulkan asalkan negara dan investor mendapatkan keuntungan secara ekonomi dan makin memperkuat dominasi mereka untuk memperluas praktek eksploitasi tersebut,” katanya.
Kesembilan, permasalahan Pilkada di tanah Papua menjadi sangat kompleks. Materi yang dipersoalkan pada sengketa Pilkada Mahkamah Konstitusi bukan saja terkait selisih hasil namun masalah terkait administrasi, syarat calon, situasi keamanan dan hal lain. Fakta ini menandakan perlunya evaluasi dan punishment yang serius terkait integritas dan kapasitas penyelenggara serta netralitas semua pemangku kepentingan untuk menciptakan pilkada yang berkualitas di tanah Papua.
“Secara khusus praktik pemilihan diluar mekanisme one man van vote seperti praktik noken (Papua Pegunungan dan Papua Tengah) dan ‘omen dan perahu’ (Papua Selatan) serta praktik sejenis lainnya menjadi tantangan tersendiri bagi penyelenggara, peserta pilkada dan masyarakat sipil,” ujar Anum.
Kesepuluh, kasus-kasus yang melibatkan perempuan dan anak meningkat dengan beragam jenis mulai dari kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan seksual, kekerasan berbasis gender online, penganiayaan, pembunuhan dan tindak kekerasan lainnya. Meskipun sejumlah aturan sudah ada termasuk UU TPKS namun masih sulit diimplementasikan ditambah lagi dengan keterbatasan perspektif gender dari aparat penegak hukum dan masih kuatnya pandangan budaya yang menempatkan perempuan pada hubungan subordinat.
“Di waktu yang bersamaan fasilitas layanan bagi perempuan dan anak yang berkonflik dengan hukum, masih sangat terbatas. Hal ini dapat dilihat dengan keterbatasan fasilitas dan hak-hak dasar pada Lapas Perempuan dan Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA), mulai dari air bersih, fasilitas Kesehatan, olahraga dan ketrampilan hingga pemenuhan hak Pendidikan. Juga hak untuk mendapatkan bantuan hukum, pembebasan bersyarat atau cuti menjelang bebas,” katanya.
Oleh karena itu, kata Anum, Aliansi Demokrasi untuk Papua menyampaikan sejumlah desakan agar mendapat perhatian. Pertama, pemerintah menyelesaikan kasus Wasior 2001, Wamena 2003 dan Paniai 2014 yang masih dalam tahap kasasi. Pemerintah membentuk investigasi independen terhadap sejumlah kasus berpotensi pelanggaran HAM serta mengadili para pelaku penyiksaan, penganiayaan dan pembunuhan terhadap masyarakat sipil.
Mekanisme penyelesaian non yudisial tidak boleh mengabaikan proses yudisial oleh karena itu membentuk dan memfungsikan pengadilan HAM di Papua dan KKR versi Papua sangat dibutuhkan dengan mempertimbangkan urgensi penyelesaian melalui skema komplementer bukan subsitusi.
Kedua, pemerintah menghentikan profiling, stigma, represif dan kriminalisasi terhadap aktifis demokrasi. Memulihkan hak mereka serta mengembalikan tahanan politik/narapidana politik yang berada diluar Papua sebagai bagian dari komitmen untuk menyelesaikan masalah di Papua.
Ketiga, pemerintah memberikan perlindungan kepada warga sipil baik di kota apalagi di wilayah konflik bersenjata terutama melakukan pendataan pengungsi sekaligus pemenuhan hak-hak dasar pendidikan, kesehatan, perekonomian serta pemukiman dan penghidupan yang layak.
Merumuskan rencana kontigensi dan memasukannya dalam agenda kerja secara khusus untuk menangani pengungsi dan konflik politik, konflik sosial dan penanganan bencana alam. Memastikan jaminan keamanan bagi petugas medis dan pendidikan serta masyarakat sipil lainnya yang secara sungguh-sungguh bagian dari masyarakat sipil saat menjalankan peran dan tugas mereka di daerah terpencil.
Keempat, TNI-Polri dan TPNPB OPM menghentikan aksi kekerasan dan konflik bersenjata, termasuk praktik bumi hangus kampung dan fasilitas publik. Menghentikan berbagai bentuk ancaman, stigma dan intimidasi terhadap masyarakat sipil guna memastikan perlindungan bagi masyarakat sipil berjalan sesuai dengan prinsip HAM.
Kelima, pemerintah, termasuk institusi pemerintah lokal yakni gubernur, bupati/walikota, parlemen dan MRP mengambil peran konkrit dalam menangani permasalahan HAM. Secara khusus menginisiasi jeda kemanusiaan untuk memberikan ruang bagi warga sipil memperoleh akses logistik dan perlindungan keamanan serta mendorong dialog sebagai bentuk penyelesaian tanpa kekerasan di Papua.
Keenam, pemerintah mereview kebijakan pertahanan keamanan di Papua, termasuk legalisasi intervensi dan dominasi terhadap berbagai institusi dan peran pemerintahan sipil di tanah Papua.
Ketujuh, pemerintah menghentikan praktik eksploitasi tanah, hutan dan sumber daya alam (SDA) lainnya, melakukan moratorium dan evaluasi terhadap kebijakan investasi di tanah Papua serta mengedepankan prinsip Padiatapa pada setiap rencana investasi dengan melibatkan seluruh pemilik hak ulayat. Termasuk menghentikan kriminalisasi terhadap masyarakat adat dan aktifis pro demokrasi yang berjuang untuk membela hak-hak masyarakat adat.
Kedelapan, pemerintah memastikan proses Pemilu dan pemilihan berjalan berkualitas sesuai aturan yang ada, penyelenggara yang berintegritas dan kapasitas serta jaminan netralitas aparat keamanan dan ASN. Secara khusus praktik pemilihan di luar one man van vote seperti sistem noken perlu dievaluasi sejalan dengan itu praktik “omen” dan sistem perahu di Papua Selatan, perlu diskusikan secara terbuka.
Kesembilan, pemerintah berkomitmen untuk menyelesaikan kasus yang melibatkan perempuan dan anak dengan menempatkan kasus-kasus tersebut sebagai kasus prioritas dan bukan pada ranah domestik secara khusus menggunakan UU TPKS. Menghentikan mekanisme restorative justice terhadap kasus-kasus kejahatan serius seperti kasus kekerasan seksual, pembunuhan dan sejenisnya.
Sejalan dengan itu, menyediakan layanan dasar seperti air bersih, fasilitas kesehatan dan olahraga serta fasilitas ketrampilan pada Lembaga Pemasyarakatan Perempuan dan Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) dan dukungan hak pendidikan sesuai kebutuhan. Kemudian, institusi terkait berperan aktif menyediakan bantuan hukum, mengurus pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas, dan hak-hak lainnya.
Kesepuluh, konsolidasi dan solidaritas diantara masyarakat sipil diperkuat, terus berkomitmen, berjuang dan menyampaikan aspirasi secara damai untuk mendesak negara menyelesaikan permasalahan HAM dan memberikan perlindungan dan pemenuhan hak-hak dasar bagi masyakat sipil khususnya orang asli Papua di tanah Papua. (*)










