Oleh Adna Melapa
Mahasiswa Program Magister Studi Pembangunan Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga, Jawa Tengah
BANJIR besar disertai longsor yang menerjang sejumlah wilayah di Pulau Sumatra seperti Provinsi Sumatra Utara, Nanggroe Aceh Darussalam, dan Sumatera Barat bukan lagi sekadar bencana alam biasa.
Banjir yang meluluhlantakkan pulau tersebut bukan sekadar dipahami dalam konteks relasi manusia dan alam yang sudah rusak atau melemah. Banjir juga menunjukkan sistem perlindungan lingkungan yang dahulu dijaga oleh hukum adat runtuh tak berdaya.
Data resmi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menunjukkan, hingga Desember 2025 banjir di Sumatera menelan korban meninggal mencapai sekitar 708 jiwa. Ratusan orang lainnya masih hilang terbenam dalam reruntuhan tanah.
Banjir kali ini dipicu hujan deras dengan intensitas tinggi yang berlangsung dalam waktu singkat. Cuaca ekstrem menyusul adanya terpaan badai tropis atau puting beliung di Sumatera berujung sejumlah wilayah di Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat berada dalam intaian bencana hingga diterjang banjir disertai longsor tanpa ampun.
Namun, sepintas hujan hanyalah pemicu terjadinya banjir diikuti longsor. Dampak bencana dasyat tersebut bila ditelisik lebih dalam merupakan buntut kerusakan struktur alam.
Pertama, hutan hancur atau berubah akibat aktivitas pembalakan liar (illegal logging) dan menjamurnya berbagai korporasi pertambangan (mining), baik legal maupun ilegal yang menerabas hutan. Buntutnya, sistem resapan air rusak. Daerah tangkapan air, bukit, dan hutan lindung dibabat, digunduli atau dikonversi atas nama kepentingan ekonomi korporasi.
Kedua, tanah kehilangan daya serap, sungai dipersempit, jalur aliran air alami diabaikan atau diubah secara besar-besaran. Ringkasnya, alam tidak mampu menahan curah hujan, entah dalam intensitas rendah, sedang maupun tinggi. Namun, dilihat dari sisi laia, kerusakan ini tidak hanya soal alam. Hal itu juga terkait hilangnya peran masyarakat adat sebagai penjaga ruang hidup.
Tanah Adat versus Korporasi
Dalam berbagai dokumentasi jurnalisme lingkungan, termasuk yang disampaikan oleh Watchdoc Documentary, tampak jelas bagaimana masyarakat adat di kawasan Danau Toba dan sekitarnya harus berhadapan dengan perusahaan besar seperti PT Toba Pulp Lestari (TPL).
Perusahaan ini menguasai ratusan ribu hektare konsesi lahan yang sejak dahulu merupakan tanah ulayat masyarakat Batak. Hutan yang sejatinya menjadi sumber air, pangan, obat-obatan, dan identitas masyarakat, berubah rupa menjadi kebun monokultur eucalyptus untuk industri bubur kertas (pulp).
Akibatnya, sumber air mongering tanpa jejak, sungai berubah warna lalu menjadi keruh, dan tanah semakin rapuh. Masyarakat kehilangan ladang, kebun kemenyan bahkan makam leluhurnya.
Ironisnya, ketika warga mempertahankan tanah warisan nenek moyang, malah mengalami perlakuan dikriminatif. Ada warga yang ditangkap, tokoh adat dijerat hukum, bahkan ada yang mengalami kekerasan.
Relasi kuasa sangat timpang: perusahaan mendapat perlindungan apparat. Sedang di lain sisi, rakyat menjerit tak mendapat perlindungan negara. Di sinilah terlihat jelas, bencana lingkungan juga merupakan bencana keadilan.
Sistem Nilai Adat
Padahal, jauh sebelum negara memberi izin konsesi, masyarakat adat di Sumatra telah memiliki sistem adat dan kearifan lokal (local wisdom) sendiri untuk menjaga alam dan lingkungan secara berkesinambungan (sustainable). Salah satunya adalah Mantari Bondar di wilayah Tapanuli.
Mantari Bondar adalah lembaga adat yang bertugas menjaga air, mata air, saluran irigasi, dan hutan penyangga. Ada aturan jelas tentang siapa yang mengelola air, bagaimana hutan dijaga serta sanksi tegas bagi perusak alam.
Siapa pun yang menebang pohon di sekitar mata air bisa dikenai denda adat berat, bahkan dikucilkan secara sosial. Selama sistem ini berjalan, banjir besar nyaris tidak pernah terjadi, sawah terairi dengan adil, dan hutan tetap lestari.
Namun, semua itu perlahan runtuh ketika izin industri masuk. Hukum adat dipinggirkan oleh hukum negara. Keputusan tidak lagi dibuat lewat musyawarah kampung, tetapi melalui meja perizinan di kota-kota besar.
Kearifan lokal yang terbukti menjaga keseimbangan alam selama ratusan tahun takluk di bawah selembar izin konsesi. Inilah awal dari rapuhnya lingkungan yang kini kita rasakan lewat banjir disertai longsor, dan krisis air seperti di Sumatera saat ini.
Konflik antara TPL dan masyarakat adat, misalnya, mencerminkan situasi yang lebih luas di Sumatra. Negara lebih sering terlihat sebagai pelindung investasi, bukan pelindung ruang hidup rakyat.
Ketika masyarakat mengeluhkan hutan yang rusak dan sungai yang tercemar, yang datang justru aparat keamanan. Ketika perusahaan dituding merusak lingkungan, yang muncul adalah bantahan dan pembelaan.
Sementara itu, korban terus bertambah. Banjir di Sumatra dalam beberapa tahun terakhir telah merenggut banyak nyawa, menghancurkan ribuan rumah serta memutus akses ekonomi dan pendidikan. Setiap musim hujan selalu lahir rasa cemas. Pertanyaan refletif retoris mncul, siapa lagi yang akan menjadi korban berikutnya? Satu hal pasti, yang paling menderita justru adalah mereka yang sejak dahulu menjaga hutan.
Alat Pembungkaman
Kriminalisasi terhadap masyarakat adat bukan sekadar persoalan hukum. Ini adalah cara membungkam perlawanan. Ketika warga takut dipenjara, mereka memilih diam. Ketika tokoh adat dijerat hukum, komunitas kehilangan pemimpin. Ketika tanah dirampas identitas budaya ikut hancur.
Dalam situasi ini, negara gagal menjalankan amanat konstitusi untuk melindungi masyarakat adat dan lingkungan hidup. Hukum justru dipakai untuk mengalahkan hukum yang lebih tua: hukum adat.
Banjir yang melanda Sumatra saat ini adalah teguran keras alam. Ia menagih harga dari hutan yang ditebang, sungai yang dicemari, dan tanah yang dikeruk tanpa malu pihak korporasi. Namun, yang membayar harga itu bukan pemilik modal, melainkan rakyat kecil seperti petani, nelayan, warga kampung, dan masyarakat adat.
Setiap rumah yang hanyut adalah tanda gagalnya tata kelola lingkungan. Setiap nyawa yang hilang adalah tanda bahwa pembangunan kita telah kehilangan nurani.
Kini, saatnya negara berhenti menganggap hukum adat sebagai penghambat pembangunan. Justru sebaliknya, hukum adat adalah benteng terakhir bagi keberlanjutan alam. Mengembalikan peran adat berarti semua pemangku kepentingan diajak masuk dalam opsi dan pemahaman holistik berikut.
Pertama, mengakui kembali wilayah adat sebagai ruang hidup yang tidak boleh dikorbankan demi kepentingan industri. Kedua, melibatkan masyarakat adat dalam penataan ruang dan pengelolaan sumber daya alam.
Ketiga, menghentikan kriminalisasi terhadap warga yang mempertahankan hutan dan tanah leluhurnya. Keempat, mengkaji ulang seluruh izin industri di wilayah rawan bencana dan wilayah adat. Langkah ini akan mengembalikan otoritas aturan adat dan menjadi salah satu solusi penting untuk melindungi alam dari pembangunan eksploitatif.
Banjir di Sumatra adalah jeritan alam. Ia mengingatkan kita bahwa hutan bukan sekadar komoditas, tanah bukan sekadar aset, dan adat bukan sekadar cerita masa lalu. Ketika masyarakat adat dilumpuhkan, sesungguhnya kita sedang menghancurkan sistem pertahanan ekologis kita sendiri.
Jika negara terus menutup telinga, maka alam akan terus berbicara lewat bencana. Biasanya, suara alam selalu datang paling keras saat manusia paling keras menolak untuk mendengarkan.









