OPINI  

Terowongan Terakhir: Hamas di Ambang Keruntuhan

Yakobus Dumupa, Pembelajar Hubungan Internasional dan Isu-isu Global, tinggal di Nabire, Tanah Papua. Foto: Dok. Odiyaiwuu.com

Oleh: Yakobus Dumupa
(Pembelajar Hubungan Internasional dan Isu-isu Global, tinggal di Nabire, Tanah Papua)

Pendahuluan

Dua pekan terakhir mencatat salah satu perkembangan paling dramatis dalam konflik Israel–Palestina sejak serangan 7 Oktober 2023. Di Rafah, Gaza Selatan, ratusan pejuang Hamas dilaporkan terperangkap di jaringan terowongan yang selama dua dekade menjadi simbol keunggulan taktis mereka. Namun simbol itu kini berubah menjadi perangkap mematikan setelah Israel Defense Forces (IDF) mengambil alih seluruh permukaan wilayah Rafah dan menutup hampir semua pintu keluar terowongan. Kondisi yang berkembang menunjukkan bahwa pertempuran di bawah tanah ini bukan sekadar operasi militer, tetapi titik balik yang dapat menentukan masa depan Hamas sebagai kekuatan politik dan militer di Gaza.

Dalam situasi yang semakin terkepung, Israel mengajukan tawaran menyerah, sementara mediator dari Mesir mencoba menyusun proposal jalur aman. Hamas menolak seluruhnya. Ketegangan antara kalkulasi militer, tekanan politik, dan pertimbangan ideologi memuncak di ruang sempit terowongan Rafah. Karena itu, apa yang terjadi di bawah tanah ini bukan hanya sebuah episode perang, melainkan fragmen penting yang menyingkap apakah Hamas masih mampu mempertahankan kapasitas kekuasaannya atau tengah memasuki masa keruntuhan.

Rafah dan Terowongan yang Menjadi Ruang Terkepung

Pada 6–10 November 2025, laporan Reuters menyebut bahwa antara 150 hingga 200 pejuang Hamas terjebak di jaringan terowongan Rafah setelah IDF merebut seluruh zona timur wilayah tersebut. Terowongan Rafah sebelumnya merupakan infrastruktur strategis yang memungkinkan Hamas memobilisasi pasukan, memindahkan senjata, dan menghindari deteksi udara. Namun setelah serangkaian serangan udara dan operasi darat, Israel memutus suplai ventilasi, menutup akses keluar, dan menghancurkan sejumlah simpul terowongan.

Pejuang Hamas kini berada dalam ruang yang makin menyempit. Persediaan makanan menipis, pasokan air tidak stabil, dan amunisi semakin sedikit. Runtuhan akibat ledakan menyebabkan beberapa jalur terowongan tidak dapat dilalui, sementara sebagian lorong terendam air dan lumpur. Kondisi ini memperlihatkan transformasi strategis yang tajam: keunggulan taktis yang selama ini diandalkan Hamas berubah menjadi kelemahan fatal yang tidak dapat mereka tangani dengan cepat.

Operasi IDF di atas permukaan memperketat pengepungan. Rumah-rumah yang diduga memiliki akses ke terowongan diratakan, reruntuhan diperiksa dengan sensor panas, dan wilayah-wilayah kecil dikuasai secara langsung. Semua ini menunjukkan bahwa Israel tidak hanya menghentikan mobilitas Hamas, tetapi juga memotong jantung sistem koordinasi mereka secara terstruktur.

Tawaran Israel: Penyerahan sebagai Jalan Satu-Satunya

Dalam situasi terjepit ini, Israel menyampaikan tawaran menyerah kepada para pejuang Hamas yang terperangkap. Tawaran tersebut, menurut laporan Times of Israel, mencakup jaminan keselamatan bagi mereka yang keluar dari terowongan tanpa senjata dan menyerahkan diri kepada IDF. Meski tampak seperti opsi kemanusiaan, tawaran itu sejatinya merupakan strategi tekanan militer untuk mempercepat runtuhnya kantong kekuatan terakhir Hamas di Rafah.

Israel melihat pengepungan ini sebagai kesempatan strategis untuk memukul habis struktur militer Hamas. Jika ratusan pejuang Hamas menyerah, maka itu akan memberi Israel kemenangan simbolik yang besar. Selain itu, penyerahan massal akan menunjukkan bahwa taktik terowongan—yang menjadi kebanggaan Hamas—telah mencapai titik kegagalan.

Mediator Mesir juga mengajukan proposal alternatif: para pejuang dapat keluar dengan aman menuju wilayah Gaza yang tidak dikuasai Israel, dengan syarat menyerahkan senjata dan memberikan informasi tentang sistem terowongan. Namun pemerintah Israel menolak jalur aman apa pun, menyatakan bahwa membiarkan mereka pergi berarti membiarkan “terorisme tumbuh kembali”.

Sikap keras Israel mencerminkan strategi jangka panjang: bukan hanya mengalahkan Hamas, tetapi memastikan organisasi itu tidak lagi mampu membangun kembali kapasitas militernya.

Penolakan Hamas: Antara Ideologi, Martabat, dan Politik Internal

Pada 9 November 2025, sayap militer Hamas, Al-Qassam Brigades, mengeluarkan pernyataan bahwa para pejuang di Rafah “tidak akan menyerah dalam keadaan apa pun”. Penolakan ini mengungkap bahwa apa pun kondisi fisiknya, Hamas tidak ingin mengakui kekalahan terbuka. Seruan ini bukan hanya untuk para pejuang yang terkepung, tetapi juga untuk mempertahankan citra organisasi yang selama puluhan tahun membangun narasi perlawanan tanpa kompromi.

Namun, penolakan itu menempatkan para pejuang dalam dilema amat berat. Mereka menghadapi kelaparan, keterbatasan oksigen, ketidakmampuan bergerak, dan ancaman serangan udara langsung ke terowongan. Ideologi dan martabat bertemu dengan kebutuhan bertahan hidup. Dilema ini menjadi ujian terbesar bagi kepemimpinan Hamas: apakah mereka akan tetap mempertahankan narasi heroik atau mencari jalan untuk menyelamatkan sisa kekuatan militernya.

Penolakan Hamas juga memiliki dimensi politik yang lebih luas. Jika para pejuang menyerah, Hamas akan kehilangan posisinya sebagai simbol perlawanan, sesuatu yang selama ini menjadi fondasi utama legitimasi mereka di Gaza. Namun jika semuanya terbunuh, Hamas akan kehilangan ratusan personel terlatih sekaligus struktur komando lapangan yang sangat penting bagi keberlangsungan kekuasaan mereka.

Keretakan Infrastruktur dan Masa Depan Komando Hamas

Krisis di terowongan Rafah merupakan pukulan keras bagi infrastruktur bawah tanah Hamas. Terowongan bukan sekadar jalur sembunyi; ia merupakan sistem yang menopang logistik, komunikasi, pergerakan pasukan, dan strategi pertahanan jangka panjang. Dengan dihancurkannya sebagian besar terowongan dan terperangkapnya puluhan operator terowongan berpengalaman, Hamas kehilangan satu pilar utama dari kapasitas militernya.

Kerugian ini diperparah oleh ketidakmampuan Hamas menggantikan personel terlatih dalam waktu singkat. Para pejuang yang terperangkap bukanlah pasukan biasa, melainkan komandan lapangan, teknisi peledak, operator komunikasi, dan instruktur tempur. Hilangnya mereka berarti hilangnya struktur komando yang sulit digantikan.

Secara politik, melemahnya struktur militer dapat berdampak pada menurunnya legitimasi Hamas sebagai kelompok yang selama dua dekade mengklaim mampu melindungi Gaza. Warga yang mengalami dampak perang berkepanjangan mungkin mulai mempertanyakan arah kepemimpinan Hamas. Dalam jangka panjang, kekosongan kekuasaan dapat menciptakan ruang bagi faksi-faksi baru, kelompok radikal baru, atau bahkan upaya transisi menuju pemerintahan sipil yang didukung komunitas internasional.

Gencatan Senjata dan Persimpangan Masa Depan Gaza

Nasib para pejuang yang terperangkap ini sangat berpengaruh terhadap dinamika diplomatik kawasan. Dalam negosiasi gencatan senjata antara Hamas, Israel, Mesir, Qatar, dan Amerika Serikat, isu terowongan Rafah menjadi titik paling sensitif. Israel cenderung menggunakan krisis ini sebagai leverage diplomatik, sementara Hamas melihatnya sebagai simbol bahwa mereka masih memiliki kekuatan perlawanan.

Jika pejuang tersebut dihancurkan, Hamas dapat membatalkan kesepakatan gencatan senjata dan memperpanjang konflik. Namun jika mereka diberi jalur aman, Israel akan menghadapi gelombang protes dari kubu politik garis keras. Ketegangan ini menunjukkan betapa rapuhnya proses diplomasi di tengah dinamika perang yang masih berlangsung intens.

Situasi ini juga membuka pertanyaan besar mengenai masa depan Gaza. Jika Hamas melemah atau kehilangan kapasitas militernya, siapa yang akan memerintah? Apakah akan ada pemerintahan transisi? Bagaimana menata ulang keamanan, distribusi bantuan, dan rekonstruksi wilayah? Semua pertanyaan ini menandakan bahwa Rafah bukan sekadar pertempuran lokal, tetapi titik persimpangan yang akan memengaruhi masa depan politik Gaza untuk waktu yang lama.

Penutup

Terowongan terakhir di Rafah bukan hanya medan pertempuran; ia adalah simbol dari pertaruhan terbesar Hamas sejak berdiri. Dari ruang sempit di bawah tanah itu, nasib ratusan pejuang, arah perlawanan, dan masa depan Gaza turut dipertaruhkan. Meski Hamas belum runtuh, guncangan struktural yang mereka alami sangat besar. Infrastruktur yang hancur, hilangnya komandan lapangan, dan tekanan militer maupun diplomatik membuat posisi Hamas semakin rapuh.

Apakah ini akhir kekuasaan Hamas? Mungkin belum. Namun jelas bahwa organisasi ini sedang berada di ambang keruntuhan strategis yang dapat mengubah lanskap politik Gaza secara mendalam. Konflik belum usai, tetapi babak baru telah dibuka—babak yang akan menentukan siapa yang akan memegang kendali atas Gaza, dan bagaimana masa depan Palestina akan ditulis kembali setelah terowongan terakhir ini runtuh.