Simbol Bukan Makar!

Simbol Bukan Makar! Gambar ilustrasi: Odiyaiwuu.com

SETIAP 1 Desember, Papua kembali berada di tengah pusaran ketegangan yang seharusnya tidak perlu terjadi. Di berbagai kota, masyarakat berkumpul untuk mengenang sejarah, mengingat identitas, atau mengekspresikan aspirasi politik mereka secara damai. Namun negara sering meresponsnya dengan pendekatan keamanan yang berlebihan. Masalah utamanya sederhana tetapi fatal: negara gagal membedakan simbol dari makar, ekspresi dari pemberontakan, ide dari aksi.

Konstitusi Indonesia menjamin kebebasan untuk berpikir, berpendapat, dan menyatakan pandangan secara damai. Tidak ada satu pasal pun yang mengkriminalisasi pikiran. Bahkan keyakinan politik yang paling ekstrem sekalipun tetap berada dalam wilayah yang dilindungi. Gagasan tentang “Papua Merdeka” adalah ide—dan ide tidak bisa dipenjara. Yang bisa dibatasi hanyalah tindakan nyata yang menggunakan kekerasan atau ancaman untuk memisahkan wilayah dari Indonesia.

Namun setiap 1 Desember, batas konstitusional itu kabur. Pengibaran bendera secara damai, doa bersama, pawai sunyi, atau diskusi terbuka sering diperlakukan sebagai tindakan makar. Aparat menafsirkan simbol sebagai ancaman, bukan sebagai bentuk ekspresi politik. Pendekatan semacam ini bukan hanya keliru secara hukum, tetapi juga menunjukkan kelemahan negara dalam mengelola keragaman aspirasi warganya sendiri.

Ketakutan berlebihan terhadap simbol justru menimbulkan pertanyaan penting: apakah negara benar-benar percaya pada kekuatan demokrasinya sendiri? Negara yang kuat seharusnya tidak gentar menghadapi simbol, apalagi ekspresi damai. Hanya negara yang rapuh yang melihat bendera, lagu, atau peringatan sejarah sebagai ancaman yang harus ditumpas.

Lebih jauh, kriminalisasi ekspresi damai justru memperluas jurang ketidakpercayaan antara rakyat Papua dan pemerintah. Ketika ruang legal untuk berbicara dipersempit, ruang kecurigaan melebar. Ketika simbol dipersekusi, luka sejarah semakin dalam. Dan ketika warga yang hanya berdoa atau berjalan tanpa kekerasan diperlakukan sebagai pelaku makar, negara sedang mengatakan bahwa di Papua, demokrasi berhenti bekerja.

Yang lebih ironis, pendekatan represif justru menguntungkan kelompok-kelompok yang mengusung perjuangan bersenjata. Ketika ekspresi damai dihukum, narasi kekerasan menjadi lebih mudah disebarkan. Negara tanpa sadar memberi amunisi politik kepada kelompok yang selama ini dianggap musuh.

Jika ingin mengakhiri siklus ini, negara harus kembali pada prinsip dasarnya: tindakan kekerasan harus ditindak, tetapi ekspresi damai harus dihormati. Pelatihan aparat untuk memahami perbedaan ini bukan pilihan, melainkan keharusan. Demokrasi Indonesia membutuhkan kecerdasan politik, bukan paranoia.

1 Desember semestinya menjadi ruang refleksi, bukan ruang represi. Negara harus cukup percaya diri untuk menghadapi simbol tanpa ketakutan. Karena jika simbol saja dianggap makar, maka sesungguhnya yang sedang dipertanyakan bukan rakyat Papua—melainkan ketegasan dan kedewasaan demokrasi Indonesia itu sendiri. (Editor)