Oleh Kasdin Sihotang
Dosen Filsafat Moral di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta; Sekretaris Himpunan Dosen Etika Seluruh Indonesia
MASYARAKAT tiga provinsi di Pulau Sumatera, yakni Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Provinsi Aceh masih berduka. Alam di tiga wilayah ini terkoyak, bahkan porakporanda, buah banjir bandang dan tanah longsor di tanggal 25-26 November 2025 lalu. Kini sejumlah kampung dan kota yang dilalui banjir bandang penuh dengan lumpur.
Keindahan dan keasriannya berubah menjadi lautan lumpur tertimbun akar-akar kayu dan bongkahan batu besar. Bahkan ada satu daerah di Lumban Sihotang, Desa Panggugunan, Kec. Pakkat, Kab. Humbang Hasundutan, Sumatera Utara, rata dengan tanah ditimbun oleh tanah longsor. Rumah-rumah di sekitar lereng bukitpun hancur berantakan dan luluh lantak tertimbun tanah longsor, bak tanda-tanda kiamat bumi tiba.
Melansir Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), koran online Bisnis.com, per 1 Desember 2025 tercatat jumlah korban meninggal dunia akibat banjir dan tanah longsor di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat sebanyak 442 jiwa dengan rincian: Aceh 96 jiwa, Sumut 217 jiwa, Sumbar 129 jiwa. Selain itu juga ribuan warga mengungsi. Belum lagi ada yang masih hilang dan dalam pencarian Tim SAR dan relawan. Tak kalah menyedihkannya adalah ribuan penduduk kehilangan tempat tinggal, bingung harus bagaimana ke depannya serta sejumlah anak-anak kecil menjadi yatim piatu.
Makna Gelondongan Kayu
Dalam tragedi ekologis dahsyat itu ada satu fenomena yang mencolok dan menjadi perhatian netizen, yakni gelondongan kayu yang dibawa oleh banjir bandang. Kini kayu-kayu itu berserakan di penggiran jalan dan di pinggir sungai serta terhampar begitu semraut di halaman depan sejumlah rumah yang dilalui oleh banjir bandang. Potongan kayu-kayu itu itu terlihat rapi dengan ukuran tertentu.
Apa makna dari lautan gelondongan kayu yang rapi demikian? Menjawab pertanyaan ini bisa dikatakan dua hal. Pertama, tentang faktisitas hukum alam itu sendiri. Fritjop Capra dalam bukunya, khususnya The Webs of Life (1997) dan the Hidden Connections (2002) mengatakan, hukum alam bersifat otomatis dan independen, namun saling berhubungan. Alam merupakan jaring-jaring kehidupan. Sebagai jaring-jaring kehidupan, organisme yang ada di dalamnya saling terkait dan saling mempengaruhi. Ini artinya, alam itu sesungguhnya memiliki hukumnya sendiri.
Sebagai jaring-jaring kehidupan, masing-masing organisme memang memiliki fungsi yang berbeda, namun setiap organisme tetap bergerak saling menopang secara otomatis. Bahwa ada hubungan mekanistik di antara organisme dalam alam ya, tetapi sesungguhnya hubungan mekanistik ini memiliki implikasi tentang adanya ketergantungan antara satu sistem dengan sistem yang lain.
Dalam alam seperti dikatakan Capra, berjalan hukum kausalitas secara otomatis. Hubungan antara satu organisme dengan organisme lain bersifat sekuensialis. Artinya, ada yang menjadi sebab, ada pula membawa akibat yang ditimbulkan oleh sebab bagi yang lain.
Akibatnya bisa dua kemungkinan, yakni akibat yang melanggengkan proses kehidupan atau akibat yang merusak, bahkan menghentikan dinamika kehidupan itu. Akibat pertama terjadi kalau mekanisme hidup masing-masing biota dalam alam berjalan sesuai dengan hukumnya (state of nature). Sedangkan dampak kedua terjadi ketika ada gangguan terhadap mekanisme dan hukum alamiah organisme itu.
Karena itu pula benar seperti dikatakan A Sonny Keraf bahwa alam semesta merupakan sebuah sistem kehidupan. Sebagai sebuah sistem kehidupan organisme, relasi yang terjadi dalam alam bersifat menyeluruh dan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan.
Sistem tersebut ditandai dengan sinergitas dan saling mendukung dalam perkembangan setiap organisme di dalamnya. Karena itu ciri setiap organisme hanya bisa dipahami dalam keseluruhan sistem pula. Sederhananya, setiap organisme memiliki andil dalam mendukung kehidupan organisme yang lain dengan baik.
Terkait dengan ini benar pula apa yang dikatakan oleh Fritjop Capra bahwa berpikir dalam sistem adalah berpikir memahami konteks dalam kerangka lingkungan sekitar. Capra mengistilahkannya dengan contextual thinking, yang tentunya juga enviromental thinking, berpikir dalam konteks lingkungan hidup secara keseluruhan sebagai sistem berpikir yang berlaku.
Malapetaka ekologi adalah buah nyata dari rusaknya jaring-jaring kehidupan oleh ulah manusia serakah dan tak bertanggung jawab, serta abainya pengakuan adanya korelasi dan koeksistensi antar organisme kehidupan di dalam alam. Seperti sudah disinggung di atas tentang pandangan Capra, kehidupan dalam alam merupakan jaring-jaring, saling terkait antara satu elemen biota dengan biota yang lain.
Korelasi erat justru menjadikan organisme bersifat koeksistensial. Karena sifat ini, terjadi simbiosis mutualis antara satu organisme dengan organisme yang lain. Ketika hubungan antarorganisme diputus, maka ekosistem terganggu, dan ancaman kehidupanpun akan hadir nyata.
Salah satu hal yang mengancam dan mengganggu ekosistem adalah penebangan pohon secara membabi buta, akibat keserakahan manusia. Naluri destruktif berbasis kapitalistik itu justru mengancam kehidupan, bahkan menghancurkannya. Dan subjek yang paling merasakan itu jelas manusia juga.
Faktisitas Ketidakjujuran Manusia
Kedua adalah kejujuran. Sebagai sebuah sistem, sesungguhnya alam tidak bisa berbohong dan tidak pula bisa dibohongi. Alam akan berjalan sesuai dengan hukumnya secara otomatis, karena itulah bagian prinsip dasarnya. Jika dikaitkan dengan etika, alam sesungguhnya memperlihatkan etika deontologi, yakni mendasarkan diri pada prinsip, lepas dari motivasi atau maksud di belakangnya.
Ini sangat bertolak belakang dengan tindakan perusak hutan dan aparat yang menajalankan etika utilitarianistik yang memberi ijin atas alasan kepentingan hingga membuka peluang perusakan alam. Gelondongan kayu yang bertumpuk-tumpuk sesungguhnya mengajarkan pada manusia bermakna etika deontologis, bahwa kejujuran itu sendiri harus dipraktikkan, bukan hanya diomongkan.
Bahkan dari faktisitas natural terlihat dengan jelas bahwa kejujuran alam jauh lebih nyata dibandingkan dengan kejujuran manusia, dalam hal ini adalah aparat negara yang bergerak di dalamnya dan pembalak hutan.
Dapat dibaca dengan komparatif kondisional bahwa jika kedua oknum tersebut lebih cenderung melakukan manipulasi demi kepentingan tertentu atau menutupi bobroknya sendiri (baca: menyalahkan iklim), alam justru memperlihatkan fakta yang sebenarnya. Ia berjalan apa adanya, atau panta rhei, kata Yunani.
Faktisitas bagi alam adalah hal yang nyata. Berbeda dengan dua pihak yang disebutkan, termasuk pembela perusak alam. Ketika para pihak itu menyalahkan cuaca sebagai penyebab bencana banjir bandang dan tanah longsor, alam justru berkata yang sebenarnya.
Melalui banjir bandang dan tanah longsor alam sesungguhnya ingin mengatakan kepada oknum itu kalimat-kalimat ini, “Hei Anda itu pembohong. Kami menunjukkan apa adanya. Jangan salahkan kami. Kami punya mekanisme sendiri. Anda merusak sistem kami, karena itu kami harus membalas itu”.
Di balik teguran suara ekologi itu sesungguhnya terkuak pesan praktik etika deontologi alam, dan ketidaberesan, termasuk nihilnya tanggung jawab moral dan tidak dijalankannya berbagai aturan yang terkait dengan itu. Misalnya dalam Undang-undang Lingkungan Hidup Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam Pasal 46-49 dinyatakan bahwa perlunya audit lingkungan terhadap kegiatan usaha lingkungan.
Namun perlu dipertanyakan apakah hal ini berjalan atau abai? Jika berjalan dengan baik tentunya kegiatan penggundulan hutan tidak akan terjadi dengan kuantitas seluas yang digambarkan oleh google maps. Minusnya kontrol dan pengawasan melekat, apalagi mudahnya penyimpangan dalam prosedur pemberian ijin, membuat para pembalak hutan merasa di atas angin.
Kondisi ini justru membuka peluang besar bagi perusahaan untuk mengeksploitasi hasil alam sebesar-besarnya. Soal tanggung jawab pada dampaknya itu bukan urusan mereka. Jadi, para pejabat terkait sesungguhnya lebih dikuasai oleh pola pikir utilitarianistik, lalu mematikan pola pikir etika deontologi, padahal mereka sesungguhnya digaji untuk tugas itu.
Jadi, kondisi rapi potongan gelondongan kayu-kayu tersebut sesungguhnya mematahkan argumen bahwa terjadinya banjir bandang dan tanah longsor yang mengguncang dahsyat itu, adalah karena iklim ekstrim, tetapi akibat langsung dari penebangan pohon yang begitu marak.
Arah ke Depan
Melihat dampak buruk begitu besar tragedi ekologi 25-26 November 2025, minimal ada empat hal yang perlu dipikirkan ke depan dalam menata kehidupan yang lebih baik dan demi masa depan generasi manusia yang akan datang.
Pertama, menggaungkan kesadaran tentang nilai humanitas ekologi. Henryk Skolimowski dalam Filsafat Lingkungan (2004) menyatakan bahwa manusia sebagai salah satu organisme kehidupan alam tidak bisa memisahkan diri dari tanggung jawab terhadap alam. Dasar Henryk mengatakan demikian adalah hubungan manusia dengan alam bersifat eksistensial dan ontologis manusia.
Sifat eksistensial dan ontologis ini mengisyaratkan apa yang disebutkan oleh Immanuel Kant dengan imperatif kategoris. Artinya, manusia memiliki kewajiban moral untuk merawat alam. Dasar argumen kewajiban ini adalah relasi ontologis itu.
Merawat bumi bukan hanya demi kehidupan alam, tetapi lebih-lebih demi kelangsungan kehidupan manusia itu sendiri baik generasi sekarang maupun generasi masa depan. Karena itulah nilai humanitas ekologi ini perlu diangkat ke kesadaran masyarakat.
Kedua, terkait dengan butir pertama, pendidikan ekologi/lingkungan hidup semakin relevan, walaupun kesannya lebih pada aksi kuratif daripada preventif. Pendidikan ini seyogianya tidak saja diarahkan kepada anak-anak didik, melainkan kepada seluruh warga masyarakat Indonesia.
Perlu ada gerakan kesadaran ekologi bersama dalam masyarakat. Gerakan ini perlu bersasaran untuk menumbuhkan kepedulian masyarakat terhadap mereka yang merusak hutan dan merawat bumi. Negara harus terus mensosialisasikan dan menerapkan UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup terlebih terkait dengan peran masyarakat pada Bab XI tentang Peran Masyarakat.
Ketiga, evaluasi pemberian ijin bagi pebisnis yang menjadikan hasil alam sebagai sasaran keuntungannya, bahkan pemerintah perlu melakukan moratorium di seluruh Indonesia. Mendukung ini, pola pikir pemerintah perlu berubah, yakni dari pola pikir yang menempatkan alam dalam bayang-bayang komoditas bisnis ke pola pikir yang menempatkan alam dalam bingkai kehidupan koeksistensi dan korelasional antara manusia dengan alam.
Karena itu apa yang digagaskan oleh A Sonny Keraf dalam bukunya Filsafat Lingkungan Hidup: Alam sebagai Sebuah Sitem Kehidupan (2014) tentang bioregionalisme menjadi ide alternatif yang perlu dihidupkan dalam benak pemerintah. Yang dimaksudkan bioregionalisme adalah perhatian pada kehidupan berbasis pada wilayah, tanah, habitat tempat tinggal.
Dengan kata lain dapat dikatakan, bioregionalisme adalah ajaran tentang hidup sesuai dengan kekhasan wilayah setempat. Jadi meminjam Karl Polanyi di sana ada embadded ecology, ekologi yang berakar pada nilai-nilai setempat. Jadi, perlu gerakan bioregionalisme baik dalam pemikiran maupun dalam aksi.
Keempat, pemulihan menyeluruh atas kondisi psikologis sosial anak-anak yang terdampak bencana alam, dan penataan lanscape kampung, kota yang rusak segera dan secepat mungkin. Selain punya kekuatan menghentikan perusakan hutan, pemerintah perlu mengerahkan kekuatan untuk penataan tersebut, lebih-lebih menjelang perayaan keagamaan 2025, yakni Hari Raya Natal dan Tahun Baru 2026.
Kesadaran Baru
Dari paparan di atas sangat jelas bahwa perlu ada kesadaran baru untuk memperlakukan alam sesuai dengan hakikat yang sebenarnya. Paling jelas alam memiliki hukum kausalitasnya sendiri. Di dalamnya ada prinsip independensi, dalam hal mana tidak bisa digantikan dan diubah oleh manusia. Alam bergerak sesuai dengan hukumnya sendiri. Alam juga menuntut keseimbangan dan dinamikanya dihargai oleh manusia.
Keserakahan manusia terhadap alam secara alamiah telah membuat alam murka terhadap manusia. Dan paling menyedihkan adalah mereka yang tidak terkait dengan perusakan alam justru menjadi korban dan merasakan dampak yang paling buruk dari kemarahan alam.
Sangat tidak adil bahwa mereka yang merusak alam karena naluri buasnya tetap menikmati hasil alam dari kejauhan, sementara masyarakat yang tidak tahu apa-apa tentang perusakan itu, dan tidak berdaya untuk menghentikan perusakan itu, harus meregang nyata.
Manusia, khususnya aparat dan perusak ekologi seyogianya belajar kejujuran dari alam. Alam jelas sudah memperlihatkan bahwa kalau manusia tidak jujur, maka alam sendiri akan menunjukkan kejujurannya. Itulah pesan moral dari gelondongan kayu-kayu itu. Jadi, cuaca ekstrim bukanlah kambing hitam. Manusia yang tidak jujurlah penyebabnya.
Seperti dikatakan Maeve Mackowen dalam With Power Comes Responsibility (2024), kejujuran setiap pihak, lebih-lebih aparat pemerintah sudah harus hadir, dan keberanian untuk membela biofilia (kehidupan) dan menghentikan nekrofilia (kesengsaraan, bahkan kematian rakyat), meminjam istilah Erich Fromm dengan menghentikan perusakan hutan. Keberanian ini adalah bentuk tanggung jawabnya paling nyata dan buah kejujuran pejabat yang sangat diharapkan masyarakat sekarang ini.










