OPINI  

Dilema 1 Desember Bagi Pemerintah Indonesia

Paskalis Kossay, Mantan Anggota Komisi Intelijen DPR Republik Indonesia. Foto: Istimewa

Oleh Paskalis Kossay

Mantan Anggota Komisi Intelijen DPR RI

TANGGAL 1 Desember menimbulkan dilema bagi Pemerintah Indonesia. Mengapa? Tanggal tersebut diperingati oleh masyarakat Papua sebagai Hari Deklarasi Politik Kemerdekaan Bangsa Papua. Sementara bagi Pemerintah Indonesia, hari tersebut adalah Hari AIDS yang diperingati secara global oleh pemerhati AIDS.

Peringatan tanggal tersebut menimbulkan sudut pandang berbeda. Bagi masyarakat Papua, 1 Desember 1961 adalah momen penting. Sebagai penguasa saat itu Belanda mulai mempersiapkan kemerdekaan Papua, membentuk Dewan Nuguni, dan mempersiapkan segala atribut kenegaraan.

Selain itu, Belanda mengibarkan Bendera Bintang Kejora berdampingan dengan bendera Belanda sebagai bagian dari proses menuju kemerdekaan Papua yang diperkenalkan kepada dunia internasional. Oleh karena itu peringatan 1 Desember ini dianggap sebagai penanda sejarah pengakuan identitas politik Papua.

Bagi Pemerintah Indonesia, peringatan 1 Desember oleh masyarakat Papua dianggap sebagai kegiatan separatis atas klaim palsu kemerdekaan politik dan gerakan yang bertentangan dengan hukum nasional dan kedaulatan NKRI. Pemerintah Indonesia mendasarkan kedaulatannya atas Papua pada Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969 dan pengakuan internasional oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Dilema

Dilema yang dihadapi Pemerintah Indonesia secara factual dapat dilihat dalam beberapa aspek. Pertama, keamanan dan stabilitas. Menjelang 1 Desember sering terjadi peningkatan aktivitas politik dan serangan sporadis oleh Tentara Nasional Pembebasan Papua Barat, sayap militer Organisasi Papua Merdeka (TPNPB OPM) terhadap aparat keamanan (TNI-Polri).

Hal ini memaksa pemerintah untuk bertindak tegas dan meningkatkan pengamanan ekstra ketat, yang terkadang disoroti oleh komunitas internasional terkait dengan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dalam penanganannya. Kedua, kadang menjadi dilematis antara penegakan hukum, kedaulatan negara, dan penegakan HAM.

Pemerintah harus memilih jalan penegakan kedaulatan hukum demi kedaulatan negara terhadap gerakan politik terkait peringatan 1 Desember lebih utama. Namun, di sisi lain pemerintah juga lebih hati-hati dengan isu HAM dan kebebasan berekspresi warga Papua yang ingin merayakan atau melakukan aksi damai terkait peringatan 1 Desember.

Ketiga, peringatan 1 Desember ini sering kali menarik perhatian komunitas internasional dan organisasi HAM PBB. Perhatian ini dapat memberikan tekanan diplomatik atau sorotan negatif terhadap citra Indonesia di mata dunia ketika terjadi pendekatan represif terhadap aktivitas warga Papua dalam peringatan 1 Desember.

Keempat, dilema lain adalah siklus konflik di Papua yang bersifat multidimensional, melibatkan aspek ekonomi, politik, sosial, budaya, dan ideologis. Pemerintah berupaya menimalisir konflik tersebut dengan menerapkan pendekatan yang lebih humanis dan komprehensif seperti melalui otonomi khusus.

Namun dilema tetap muncul dalam menyeimbangkan solusi kesejahteraan dengan penanganan isu ideologis kemerdekaan papua yang terlampau bias dan tidak terkontrol baik.

Kelima, sebagai bagian dari sejumlah aspek dilema tersebut, pemerintah daerah di Papua telah menetapkan 1 Desember sebagai hari libur fakultatif untuk memasuki masa Advent bagi umat Kristiani.

Langkah itu menunjukkan adanya upaya mengakomodasi aspek budaya dan keagamaan lokal, meskipun bukan sebagai pengakuan politik terhadap klaim kemerdekaan Papua. Namun, secara politik menimbulkan multi tafsir yang bisa memperkuat posisi tawar bagi pergerakan isu papua merdeka.

Tahun 2025 eskalasi gerakan 1 Desember semakin meningkat, memaksa pemerintah harus meningkatkan kewaspadaan baik secara kekuatan militer dan diplomasi siber serta pendekatan kultural terhadap masyarakat Papua.

Pemerintah Indonesia menemukan solusi yang komprehensif untuk melemahkan dilema politik 1 Desember ini dengan kebijakan yang tepat sasaran, tidak ambigu menimbulkan keraguan, ketidakjelasan posisi kesejahteraan rakyat Papua dalam konteks berbangsa dan bernegara.