Aktivis HAM Layangkan Surat Terbuka Kepada Gubernur Meki Nawipa Ihwal Konflik Kapiraya

Gubernur Provinsi Papua Tengah Meki Fritz Nawipa, SH. Sumber foto: Istimewa

NABIRE, ODIYAIWUU.com — Aktivis hak asasi manusia (HAM) Papua Selpius Bobii, Selasa (25/11) melayangkan surat terbuka kepada Gubernur Provinsi Papua Tengah Meki Fritz Nawipa, SH.

Surat terbuka dengan perihal Segera Tangani Konflik Berdarah di Kapiraya ditujukan juga kepada Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi (DPRP) Papua Tengah, Majelis Rakyat Papua (MRP) Provinsi Papua Tengah, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Deiyai, Dogiyai, dan Mimika.

“Melalui surat ini kami mendesak para petinggi di Provinsi Papua Tengah dan Pemda Deiyai, Dogiyai serta Mimika segera menangani konflik berdarah di Kapiraya,” ujar Selpius Bobii di Nabire, kota Provinsi Papua Tengah, Selasa (25/11).

Dalam surat tersebut, Selpius yang juga Koordinator Jaringan Doa Rekonsiliasi untuk Pemulihan Papua (JDRP2) melaporkan kondisi terkini di Kapiraya. Beberapa hari lalu, kata Selpius, masyarakat Kampung Wakiya, Distrik Mogodagi, Kabupaten Dogiyai menyerang warga Kampung Mogodagi, Distrik Kapiraya, Deiyai.

“Akibat serangan itu beberapa orang di pihak warga Mogodagi terluka. Pada tanggal 24 November 2025 gabungan warga Wakiya di bawah pimpinan kepala kampung Wakia menyerang warga Mogodagi,” kata Selpius lebih lanjut.

Akibatnya, beberapa orang di pihak warga Mogodagi terluka, satu orang ditikam hingga dibakar bersama dengan rumahnya. Rumah rumah warga di Mogodagi dibakar.

“Penyebab konflik karena belum adanya tapal batas yang jelas antara suku Mee dan Komoro serta perebutan lahan tambang emas di Kapiraya,” kata Selpius, bekas tahanan politik (tapol) Papua.

Selpius mengatakan, jalan keluar atau solusi konflik yaitu segera mendamaikan konflik berdarah di Kapiraya. Para pelaku harus ditangkap dan diproses hukum.

“Segera tentukan tapal batas antara suku Kamoro (Mimika) dan suku Mee (Dogiyai). Kemudian, segera tentukan tapal batas pemerintah daerah antara Kabupaten Deiyai, Dogiyai, dan Mimika,” ujar Selpius.

Intelektual muda Papua Tengah Natalis Edowai, SE, MM sebelumnya menyarankan Bupati Mimika John Rettob dan Bupati Deiyai Melkianus Mote memediasi tokoh adat dan tokoh masyarakat pemilik ulayat membicarakan sekaligus menyelesaikan tapal batas Mimika dan Deiyai di Jalan Trans Timika – Deiyai di Distrik Bouwobado.

“Persoalan tapal batas antara Mimika dan Deiyai belakangan sedikit memanas dan menjadi polemik kedua kabupaten. Saya sarankan kedua bupati mengundang para pemilik ulayat dan memediasi guna memastikan tapal batas yang jelas,” ujar Natalis Edowai di Timika, Papua Tengah, Kamis (30/10).

Menurut Natalis, saat mediasi kedua bupati memberikan kesempatan para pemilik ulayat di tapal batas menjernihkan duduk soal yang benar. Dengan demikian, di kemudian hari tidak terjadi lain klaim kepemilikan satu sama lain yang ujungnya bisa saja tak selesai atau mandeg.

“Jangan biarkan masing-masing pihak turun ke tapal batas lalu mengklaim status kepemilikan di lokasi yang sama. Selain itu saya mengharapkan kedua bupati bersama tim tidak turun ke lokasi terlebih dahulu di waktu berbeda karena malah menambah rumit persoalan klaim kepemilikan para pemangku ulayat di tapal batas,” kata Natalis lebih lanjut.

Pihaknya juga meminta jajaran pemerintah kedua kabupaten mengambil langkah bijak menyelesaikan persoalan status tapal batas. Masyarakat kedua belah pihak sama-sama perlu didengar bagaimana cara menyelesaikan sengketa tapal batas dengan kearifan lokal yang diwariskan para tokoh pendahulunya.

“Sekali lagi, Bupati Mimika dan Bupati Deiyai perlu segera mengundang dan memediasi para tokoh kedua wilayah khususnya pemilik ulayat agar mereka bicara menyelesaikan dengan kepala dingin sehingga pemerintah tinggal membuat berita acara yang ditandatangani kedua belah pihak beserta pemerintah sebagai mediator dan saksi,” katanya.

Intelektual muda Papua Tengah dari Deiyai Petrus Badokapa menuding klaim sepihak Pemkab Mimika terkait tapal batas Mimika dengan Deiyai di wilayah Ogeiye, Kapiraya, dan Bouwobado.

Menurut Badokapa, klaim tapal batas di wilayah tersebut sama sekali tidak mendasar atau memiliki alas legal formal maupun kultural. Realitas menunjukkan, sebelum Mimika menjadi daerah otonom baru kabupaten, masyarakat dan pembangunan di tiga wilayah itu tak pernah disentuh Pemkab Mimika.

“Kami masyarakat baru merasakan sentuhan pembangunan di tapal batas setelah Deiyai menjadi kabupaten definitif. Ini fakta yang tidak dapat diperdebatkan. Pemkab Deiyai mulai memperhatikan pelayanan sosial kemasyarakatan dan pembangunan di wilayah seperti Ogeiye, Kapiraya, dan Bouwobado setelah resmi menjadi kabupaten baru,” ujar Badokapa di Waghete, kota Kabupaten Deiyai, Kamis (13/11).

Badokapa juga mengingatkan Pemkab Mimika menyadari diri dan mengkalim sepihak tapal batas kedua kabupaten dengan versinya sendiri. Apalagi sekadar klaim atas dasar kepentingan ekonomi sehingga mau mencaplok daerah milik Deiyai di tapal batas kedua kabupaten itu.

“Kami putra daerah dari Kapiraya dan Bouwobado menegaskan Pemerintah Mimika perlu mengambil langkah hati-hati dan dengan bijak. Jangan mencaplok daerah di tapal batas yang merupakan milik Kabupaten Deiyai,” kata Badokapa, mantan Ketua Asosiasi DPRD Kabupaten se-Provinsi Papua Tengah.

Menurut Badokapa, mantan Ketua DPRD Deiyai tahun 2019-2024, tahun 2021 seluruh utusan kabupaten dan kota di tanah Papua pernah dikumpulkan di Jayapura untuk menyelesaikan tapal batas di daerahnya masing-masing.

“Saat di Jayapura, kami menunggu selama seminggu lebih Wakil Bupati Mimika Bapak John Rettob (saat ini Bupati Mimika) beserta jajaran Pemkab Mimika. Kami sudah hadirkan masyarakat adat dari Bouwobado dan Kapiraya, baik dari suku Mee, Moni, dan Kamoro. Namun, beliau beserta jajaran Pemkab Mimika tidak pernah hadir,” kata Badokapa. (*)