OPINI  

Keamanan yang Retak

Eugene Mahendra Duan, Guru SMP YPPK Santo Antonius Nabire, Papua Tengah. Foto: Istimewa

Oleh Eugene Mahendra Duan

Guru SMP YPPK Santo Antonius Nabire, Papua Tengah

KEAMANAN adalah prasyarat dasar bagi berlangsungnya kehidupan sosial yang sehat. Ia bukan sekadar kondisi fisik yang bebas dari ancaman, tetapi juga modal psikologis yang membentuk rasa percaya antarwarga dan legitimasi terhadap negara.

Namun, dalam beberapa tahun terakhir, keamanan di Nabire menunjukkan gejala keretakan yang semakin nyata. Fenomena meningkatnya aksi begal, perampasan motor, dan teror jalanan telah mengguncang fondasi rasa aman masyarakat. Retaknya keamanan ini bukan hanya soal meningkatnya kejahatan, melainkan cerminan kompleksitas sosial yang selama ini luput dari perhatian serius.

Kisah-kisih warga Nabire yang menjadi korban begal tersebar luas, baik melalui percakapan sehari-hari maupun unggahan media sosial. Masyarakat menceritakan pelaku yang beroperasi berkelompok, memanfaatkan jalan lengang, memaksa korban menyerahkan motor dan barang berharga, bahkan terkadang melakukan kekerasan fisik.

Perspektif Kriminologi

Dalam perspektif kriminologi, pola ini disebut opportunistic street crime —kejahatan yang memanfaatkan lemahnya pengawasan dan rapuhnya sistem kontrol sosial. Ketika peluang terbuka, pelaku bertindak tanpa merasa takut pada konsekuensi hukum.

Fenomena ini mengingatkan kita pada pandangan Emile Durkheim tentang anomie, konsep yang pertama kali ia kemukakan dalam The Division of Labour in Society (1893) dan diperdalam lagi pada Suicide (1897). Durkheim menjelaskan bahwa anomie muncul ketika masyarakat mengalami perubahan sosial yang cepat tanpa penyesuaian norma yang memadai.

Dalam konteks Nabire, perubahan ekonomi, urbanisasi, dan pergeseran demografis berlangsung begitu cepat sehingga norma sosial dan mekanisme kontrol masyarakat tidak berkembang dengan kecepatan yang sama.

Namun, menyalahkan satu pihak saja tentu tidak adil. Persoalan keamanan tidak pernah berdiri sendiri; ia selalu terhubung dengan kondisi ekonomi, ketimpangan sosial, dinamika penduduk, hingga struktur kesempatan kriminal.

Beberapa penelitian di kota-kota berkembang lain di Indonesia —seperti Manado, Kupang, dan Merauke— menunjukkan bahwa pertumbuhan kota yang tidak disertai tata kelola keamanan adaptif akan memunculkan peningkatan kejahatan jalanan. Nabire kini berada pada pola yang sama: urbanisasi berlangsung cepat, tetapi kapasitas infrastruktur keamanan —baik personel, sarana, maupun sistem respons cepat— tidak berkembang setara.

Peneliti keamanan lokal pun menyoroti bahwa wilayah dengan pengawasan minim dan penerangan jalan buruk menjadi ruang aman bagi pelaku kejahatan. Kawasan seperti ini berkembang menjadi hotspot kriminal, di mana peluang bertindak bagi pelaku lebih besar daripada risiko untuk ditangkap.

Ketika masyarakat harus melintas dengan rasa was-was di titik-titik tersebut, sesungguhnya negara sedang kehilangan salah satu fungsi paling mendasarnya: melindungi warganya.

Retaknya keamanan juga mengguncang aspek psikologis yang lebih dalam. Masyarakat menjadi hiperwaspada. Pergerakan malam hari dibatasi. Orang tua melarang anak keluar rumah.

Aktivitas ekonomi seperti pedagang malam, tukang ojek, hingga pemilik kedai pun ikut merasakan dampaknya. Dalam teori ekonomi keamanan, kondisi seperti ini disebut biaya sosial keamanan —kerugian yang muncul akibat hilangnya rasa aman, meski masyarakat tidak menjadi korban langsung.

Di titik inilah kita perlu memandang persoalan keamanan Nabire dengan kerangka komprehensif. Tindakan represif semata —seperti razia dan penangkapan— tidak akan cukup tanpa pembenahan sistem pengawasan, peningkatan kapasitas aparat, dan penguatan partisipasi masyarakat.

Sejumlah kota di Indonesia telah berhasil menekan angka kejahatan melalui community policing, sebuah pendekatan yang memposisikan masyarakat sebagai mitra aktif dalam menjaga keamanan lingkungan.

Model ini mendorong terbentuknya pos kamling modern, sistem pelaporan cepat, serta hubungan yang lebih dekat antara warga dan aparat. Nabire dapat belajar dari keberhasilan praktik-praktik tersebut.

Selain itu, pemerintah daerah perlu meninjau ulang tata ruang keamanan kota. Penerangan jalan harus diperluas, titik rawan dipetakan ulang, dan kamera pengawas dipasang di lokasi strategis. Kebijakan ini bukan sekadar infrastruktur teknis, tetapi wujud nyata kehadiran negara dalam memulihkan rasa aman warga.

Di sisi lain, penguatan ekonomi masyarakat tidak boleh dikesampingkan. Banyak penelitian menunjukkan bahwa kejahatan jalanan meningkat ketika kesempatan ekonomi menurun.

Dengan demikian, intervensi sosial seperti pemberdayaan pemuda berisiko, penciptaan lapangan kerja, dan pendampingan komunitas perlu menjadi bagian dari strategi jangka panjang. Keamanan tidak dapat dipisahkan dari kesejahteraan sosial.

Pendekatan Kolektif

Pandangan tokoh gereja, akademisi, dan pemimpin adat Nabire juga memperkuat perlunya pendekatan kolektif. Mereka menekankan bahwa keamanan bukan hanya urusan aparat, tetapi tanggung jawab bersama.

Kriminalitas sering kali tumbuh dari lingkungan sosial yang longgar, di mana keluarga, komunitas, dan masyarakat tidak lagi menjalankan peran sebagai penjaga nilai. Pandangan ini sejalan dengan teori sosial klasik yang menyatakan bahwa komunitas kuat merupakan tembok pertama yang mencegah kriminalitas sebelum negara bekerja melalui mekanisme hukumnya.

Maka, retaknya keamanan di Nabire harus dibaca sebagai alarm keras bagi semua pihak. Kita tidak sedang menghadapi persoalan insidental; kita menghadapi krisis kepercayaan terhadap sistem keamanan yang selama ini dianggap mampu melindungi masyarakat.

Kepercayaan publik tidak akan pulih hanya dengan janji penertiban. Ia membutuhkan bukti konkret: hadirnya aparat di titik rawan, respons cepat terhadap laporan warga, penyelesaian kasus secara transparan, dan kebijakan pencegahan yang dapat dievaluasi.

Pada akhirnya, keamanan adalah kerja bersama. Negara wajib hadir, masyarakat wajib terlibat, dan struktur sosial wajib diperkuat. Jika semua pihak bergerak secara harmonis, retakan keamanan yang kini menganga dapat perlahan diperbaiki.

Nabire membutuhkan itu —bukan hanya untuk mengusir para pelaku kejahatan dari jalanan, tetapi untuk mengembalikan ruang publik sebagai tempat hidup yang aman, layak, dan manusiawi.

Keamanan yang retak harus diperbaiki sebelum berubah menjadi jurang. Warga berhak atas rasa aman, dan negara wajib memastikan itu. Pada titik ini, kita semua dituntut bukan hanya untuk waspada, tetapi juga untuk terlibat aktif membangun kembali keamanan sebagai fondasi kehidupan bersama.