Kepala Dinas Pendidikan Dogiyai David Goo: Tes Kemampuan Akademik Perlu Dievaluasi Kembali

Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga Kabupaten Dogiyai David Goo, S.Pd. Foto: Istimewa

MOWANEMANI, ODIYAIWUU.com — Tes Kemampuan Akademik (TKA) yang dilakukan serentak di Indonesia menjadi pengalaman pertama bagi kabupaten di Papua Tengah. TKA menimbulkan kegaduhan karena daerah belum siap.

“TKA tahun ini menjadi pengalaman pertama penuh kegaduan di daerah. Bukan siswanya tidak siap tetapi karena sistemnya malah belum siap. Kita tidak perlu mengatakan bahwa siswanya cengeng atau takut,” ujar Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga Kabupaten Dogiyai David Goo, S.Pd di Mowanemani, Papua Tengah, Rabu (19/11).

David menilai, pembuat kebijakan dan penyelenggara malah belum siap menganalisis aneka macam dampaknya ketimbangan kurikulum di berbagai daerah, termasuk satuan pendidikan. Padahal, tes kemampuan akademik sebenarnya tidak wajib, namun dibuat seolah wajib.

“Sekolah-sekolah ditakut-takuti oleh pembuat kebijakan dengan aneka alasan dan pertimbangan sehingga sekolah harus ikut. Bahkan muncul pungutan dengan berbagai alasan dan motif di lapangan. Mulai dari membeli laptop, membayar pengawas hingga biaya teknis yang tidak jelas,” kata David.

David menegaskan, bila alasan tes kemampuan akademik adalah untuk standarisasi nasional, seharusnya distandarkan terlebih dahulu itu bukan murid tetapi sekolah dan guru yang wajib dipersiapkan.

“Di Indonesia ini kualitas guru dan fasilitas sekolah antar daerah itu masin tumpang tindih dan timpang. Tetapi siswa diminta standar kualitasnya. Pengajaran antar daerah masih jauh dari setara. Bahkan integritas penyelenggara pendidikan juga belum seragam,” katanya.

Sedang di lain sisi kurikulum juga masih amburadul di setiap satuan pendidikan di Indonesia. Semua kondisi ini terlebih dahulu diutamakan dan mendesak untuk distandarkan. Tanpa membangun pondasi itu, lanjutnya, tes kemampuan akademik hanya menjadi alat ukur yang timpang, menekan yang lemah dan menguntungkan yang sudah siap.

David mengatakan, aspek lebih urgen adalah kurikulum mengingat Kurikulum Merdeka baru berjalan sebagai pengganti kurikulum sebelumnya. Banyak sekolah masih menerapkan Kurikulum K-13 dan Kurikulum Merdeka.

“Dari mana alat ukurnya? Soal yang keluar dari TKA belum diajarkan di sekolah. Bahkan diambil soalnya dari dari Kurikulum K13 dan Kurikulum Merdeka. Belum lagi kisi-kisi tidak didapatkan di setiap satuan pendidikan. Karena itu pertanyaan besar adalah apakah ini bukan evaluasi namanya? Evaluasi itu kan alat ukur hasil pembelajaran. Jadi kalau belum pernah belajar dari soal yang dikeluarkan, maka apa yang sesungguhnya diukur?,” kata David retoris.

David mengibaratkan siswa belajar menjahit tahun lalu di akhir tahun ketiga dievaluasi kemampuan memasak. Apakah ini kesiapan, proses dan outputnya layak dan kseinambungan dan atau seperti apa hasil yang diharapkan dari outpunya. Di sini dilemma besar tes kemampuan akademik yang diterapkan.

“Kita jangan salahkan siswanya belum siap dan mempertanyakan gurunya di sekolah. Sebab di sini pembuat kebijakan dan penyelenggaranya yang belum siap sehingga perlu dievaluasi,” ujar David.

Jadi, kata David, ini soal misaligment antara kurikulum dan assesmen. Tes itu menjadi tidak valid karena mengukur hal di luar yang pernah diajarkan. Hasilnya tidak menunjukkan kemampuan berpikir tetapi keberuntunganya atau kekuatan bimbingan belajar.

“Padahal kita sudah punya assesmen nasional yang mengukur hal yang lebih urgen, yaitu survey lingkungan belajar, karakter dan AKM yang mengukur literasi dan numerasi. Nah ini yang menurut saya harus distandarkan. Karakter, integritas, sekolah yang bersih dari kekerasaan, kekerasaan seksual atau perundungan, bullying. Ini yang penting distandarkan,” katanya.

Jangan karena ego atau gensi pribadi atau kepentingan kelompok seluruh generasi anak bangsa jadi dikorbankan. Karena itu, ujar David, tes kemampuan akademik perlu dievaluasi karena kalau sejak awal sudah diwarnai paksaan, pungli dan konflik kepentingan mulai dari Kemdikdasmen, Dinas Pendidikan, pihak sekolah hingga bimbingan belajar.

“Seharusnya yang distandarkan itu bukan kemampuan akademik siswa terlebih dahulu tetapi guru di setiap satuan pendidikan. Kemudian integritas pembuat kebijakan dipersiapkan. Ketika ketiga komponen ini dipersiapkkan baru layak mengevaluasi siswa,” ujar David. (*)