KEKERASAN negara di Papua telah menjelma menjadi pola kejahatan yang berulang. Setiap kali warga sipil tewas dalam operasi keamanan, narasi resmi TNI dan Polri nyaris selalu sama: “anggota KKB tewas dalam kontak tembak.” Klaim itu lalu disebar luas lewat media arus utama, sementara fakta di lapangan sering kali menunjukkan sebaliknya—korban adalah warga biasa, bukan anggota TPNPB/OPM. Label “KKB” telah menjadi senjata paling efektif untuk melegitimasi pembunuhan, menghapus jejak kejahatan, dan menutup ruang pertanggungjawaban.
Laporan-laporan independen menguatkan tudingan ini. Lembaga pemantau HAM internasional mencatat peningkatan signifikan jumlah korban sipil dalam operasi keamanan di pegunungan tengah Papua sepanjang 2024–2025. Serangan udara menggunakan drone dan bom dilakukan di kawasan berpenduduk. Aparat keamanan gagal—atau sengaja mengabaikan—pembedaan antara kombatan dan warga sipil. Kasus pembunuhan di Soanggama, Intan Jaya, yang menewaskan 14 orang, memperlihatkan pola itu: aparat menyebut semua korban anggota KKB, sementara warga dan lembaga HAM menyatakan sebagian besar korban adalah penduduk sipil tak bersenjata.
Yang lebih mengerikan: pola ini sistemik dan mekanis. Begitu ada korban, label KKB langsung disematkan, penyelidikan independen tidak pernah dilakukan serius, dan media dibatasi aksesnya. Negara menciptakan narasi tunggal, menutup semua suara yang berbeda. Setiap operasi keamanan berjalan di atas logika “bunuh dulu, beri label kemudian.” Dalam konstruksi seperti ini, warga sipil bukan korban salah tembak—mereka dijadikan target sah oleh negara melalui label politik.
Dalam situasi ini, negara bukan lagi pelindung, melainkan pelaku kekerasan. Republik ini sedang memberi lisensi kepada aparatnya untuk membunuh tanpa rasa bersalah dan tanpa konsekuensi hukum. Komnas HAM, gereja, dan kelompok masyarakat sipil sudah berkali-kali menyerukan penghentian operasi militer brutal di wilayah sipil, tetapi suara mereka dibungkam oleh jargon keamanan nasional. Impunitas dibiarkan tumbuh subur, menelan korban baru setiap bulan.
Editorial ini menegaskan: pemerintah pusat, Panglima TNI, dan Kapolri sedang menandatangani cek kosong untuk kekerasan negara. Label KKB bukan lagi istilah keamanan, melainkan topeng kejahatan kemanusiaan. Jika negara sungguh menjunjung hukum, maka hentikan operasi brutal yang membunuh warga sipil, buka akses bagi jurnalis dan pemantau HAM, bentuk tim penyelidikan independen dengan kewenangan penuh, dan adili aparat pelaku kejahatan.
Warga Papua bukan objek operasi. Mereka manusia, warga negara Indonesia, yang hak hidupnya dijamin konstitusi. Negara yang membiarkan aparatnya membunuh dengan label, sedang membusukkan legitimasinya sendiri. Sejarah akan mencatat, dan suara korban akan terus menuntut: keadilan atau kehancuran moral negara. (Editor)