PAPUA terus basah oleh darah. Hampir setiap pekan, peluru berdesing di Intan Jaya, Puncak, Yahukimo, hingga Asmat. TNI–Polri dan TPN OPM saling membunuh, dan rakyat sipil—baik orang asli Papua maupun para migran—menjadi korban. Namun di tengah derita kemanusiaan ini, Presiden Prabowo Subianto tetap bungkam. Tidak ada kata, tidak ada sikap, tidak ada empati. Seolah-olah Papua hanyalah ruang kosong yang tidak layak diperhatikan.
Faktanya, hingga Agustus 2025, Human Rights Monitor mencatat lebih dari 97.700 warga Papua mengungsi akibat operasi militer dan konflik bersenjata. Di Kabupaten Puncak sendiri, 48.000 jiwa terpaksa lari meninggalkan rumah. ACAPS melaporkan lonjakan pengungsi dari 86 ribu pada Maret menjadi hampir 98 ribu pada Juni. Ini bukan sekadar angka—ini wajah manusia yang kehilangan rumah, sekolah, pasar, dan masa depan.
Korban jiwa pun tak terhitung. TPNPB mengklaim sepanjang 2025 sudah ada 43 orang tewas, termasuk 37 warga sipil. Tragedi Yahukimo, April 2025, merenggut 15 nyawa pendulang emas. Dan baru-baru ini, pada Sabtu, 27 September 2025, seorang warga sipil bernama Iranius Samkakai ditembak mati oleh anggota TNI di Agats, Kabupaten Asmat. Insiden itu memicu kemarahan warga, hingga pos TNI dibakar massa sebagai bentuk protes. Bukankah ini bukti nyata bahwa Papua masih terus berdarah?
Pertanyaan besar menggantung di udara: apakah pemerintah benar-benar berniat mengakhiri kekerasan di Papua, atau justru sengaja memeliharanya? Diamnya presiden adalah tanda restu senyap. Setiap hari tanpa perintah penghentian operasi, tanpa instruksi penyelidikan pelanggaran HAM, tanpa langkah politik menuju dialog, adalah pembiaran yang disengaja.
Lebih ironis lagi, Presiden Prabowo lebih lantang bicara soal Palestina dan Israel di panggung internasional daripada tentang Papua di rumah sendiri. Ia bersuara keras untuk penderitaan bangsa lain, tetapi menutup mata terhadap tangisan rakyatnya sendiri. Ini bukan sekadar ironi—ini pengkhianatan moral.
Papua bukan panggung eksperimen militer. Papua adalah tanah manusia yang berhak atas hidup damai. Selama presiden memilih bungkam, darah akan terus mengalir, pengungsi akan terus bertambah, dan bangsa ini tercatat dalam sejarah sebagai negara yang membiarkan sebagian rakyatnya mati perlahan.
Prabowo harus segera membuktikan bahwa dirinya bukan presiden yang hanya pandai berpidato di luar negeri. Hentikan operasi militer yang melukai rakyat, buka ruang dialog dengan semua pihak di Papua, bentuk tim independen penyelidik pelanggaran HAM, dan pulangkan para pengungsi dengan jaminan keamanan. Tanpa itu, diamnya presiden adalah stempel bahwa negara memang tak peduli pada Papua.
Papua berdarah. Papua menangis. Dan selama presiden tetap bungkam, maka setiap peluru yang ditembakkan di Papua juga ditembakkan ke jantung nurani bangsa ini. (Editor)