PADA 20–21 September 2025, Papua kembali berdarah. Di Distrik Seradala, Kabupaten Yahukimo, kelompok bersenjata Tentara Pembebasan Nasional Organisasi Papua Merdeka (TPN-OPM) menembak lima pendulang emas dalam dua hari berturut-turut. Sebagian tewas di tempat, lainnya luka parah. Aparat TNI-Polri yang hendak mengevakuasi korban pun ditembaki. Peristiwa ini menambah panjang daftar tragedi kemanusiaan di Papua, yang selalu meninggalkan jejak darah, duka, dan ketakutan. Pola lama kembali terulang: serangan mendadak, aparat bergerak, negara berjanji menindak tegas, tetapi akar masalahnya tetap dibiarkan membusuk.
Bagi TPN-OPM, para pendulang emas bukan sekadar warga sipil yang mencari nafkah. Mereka dianggap bagian dari kolonisasi baru, simbol eksploitasi kekayaan alam Papua oleh pihak luar. Tanah digali, emas diangkut keluar, sementara orang Papua tetap miskin di kampung halamannya. Narasi mereka keras: negara dan para migran bukan tamu, melainkan penjajah yang merampas hak milik bangsa Papua. Dari sinilah lahir justifikasi atas aksi kekerasan, meski tetap tidak dapat dibenarkan karena mengorbankan nyawa manusia yang sama sekali tak bersalah. Namun, di balik peluru dan darah itu, ada pesan politik yang jelas: Papua menuntut jawaban atas persoalan yang paling mendasar.
Jika ditarik lebih dalam, akar dari semua tragedi seperti Yahukimo bukanlah sekadar soal tambang emas, migrasi penduduk, atau operasi aparat. Semua bermuara pada status politik Papua dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sejak integrasi pada 1960-an yang sarat kontroversi, sebagian orang Papua merasa mereka tidak pernah benar-benar diberi kesempatan menentukan nasib sendiri secara bebas dan adil. Trauma sejarah inilah yang diwariskan lintas generasi, membentuk keyakinan bahwa Papua adalah bangsa yang dijajah di tanahnya sendiri.
Pembangunan yang digembar-gemborkan negara pun tidak mampu menghapus luka itu. Jalan, jembatan, gedung, dan bandara bisa berdiri megah, tetapi bagi banyak orang Papua itu hanya kosmetik di atas luka lama. Pertanyaan yang menggantung tetap sama: apakah Papua sungguh bagian sah dari Indonesia? Selama pertanyaan ini tidak dijawab dengan cara yang meyakinkan dan bermartabat, ketidakpuasan akan terus berbuah pada perlawanan. Itulah sebabnya konflik tak pernah padam, meski miliaran rupiah digelontorkan dan ribuan aparat diturunkan.
Insiden Yahukimo pada 20–21 September 2025 harus dibaca sebagai alarm keras bagi Jakarta. Menganggap Papua selesai hanya karena ada infrastruktur dan dana Otsus adalah ilusi. Kekerasan demi kekerasan adalah bukti nyata bahwa integrasi Papua masih digugat. Selama akar persoalan ini terus diabaikan, tragedi serupa akan berulang di Yahukimo, Intan Jaya, Nduga, Paniai, Puncak, Pegunungan Bintang, dan daerah lainnya. Papua akan tetap menjadi bara dalam sekam yang sewaktu-waktu meledak, merenggut nyawa, dan mempermalukan negara di mata dunia.
Karena itu, solusinya bukan lagi sekadar operasi militer, bukan lagi proyek pembangunan, dan bukan lagi jargon politik murahan. Yang harus dihadapi adalah akar masalah Papua itu sendiri. Status politik Papua yang menjadi sumber konflik tidak boleh terus dipendam. Dialog politik yang jujur, terbuka, dan bermartabat antara Jakarta dan Papua adalah jalan yang tidak bisa dihindari. Jika bangsa ini serius ingin Papua benar-benar damai, maka persoalan inti itu harus diselesaikan. Tanpa itu, Papua akan terus berdarah, dan Indonesia akan terus gagal menutup luka yang sudah terlalu lama dibiarkan bernanah. (Editor)










