Stop Rasisme terhadap Orang Papua!

Stop Rasisme terhadap Orang Papua! Gambar ilustrasi: Odiyaiwuu.com

Loading

RASISME terhadap orang Papua kembali menorehkan luka mendalam. Pada 16–18 September 2025, Yalimo, Papua Pegunungan, menjadi saksi betapa kata-kata hinaan bisa berubah menjadi tragedi. Ujaran rasis yang berawal di sebuah sekolah menyalakan api kebencian, lalu menjalar menjadi kerusuhan. Rumah-rumah terbakar, ratusan orang mengungsi, dan nyawa manusia melayang sia-sia. Semua ini bukan sekadar konflik pelajar, melainkan wajah telanjang dari rasisme yang terus menggerogoti bangsa ini dan menodai rasa kemanusiaan kita.

Kita tidak boleh memoles fakta. Peristiwa Yalimo adalah bukti nyata bahwa rasisme terhadap orang Papua masih hidup, menekan, dan membunuh. Sama seperti di Surabaya tahun 2019, ketika mahasiswa Papua dihina dengan sebutan “monyet”, rasisme kembali merendahkan martabat manusia Papua. Bedanya, kali ini ia menelan korban jiwa. Rasisme bukan insiden sepele, melainkan racun yang menghancurkan persatuan dan keadilan. Dan seperti racun, jika dibiarkan, ia akan menjalar ke seluruh tubuh bangsa, melumpuhkan sendi-sendi persaudaraan, lalu menghancurkan Indonesia dari dalam.

Orang Papua adalah manusia seutuhnya. Mereka warga negara yang sah, yang martabatnya tidak bisa ditawar. Setiap ucapan rasis adalah penyangkalan terhadap kemanusiaan mereka. Setiap tindakan diskriminatif adalah pengkhianatan terhadap prinsip persatuan. Dan setiap pembiaran oleh negara adalah dosa politik yang akan terus membesar menjadi api kebencian. Kita tidak bisa lagi menutup mata dan telinga. Setiap kali orang Papua diperlakukan dengan hinaan, seluruh bangsa sedang dipermalukan.

Sudah terlalu lama orang Papua diperlakukan seakan berbeda, dipandang dengan curiga, dan dilecehkan dengan kata-kata kotor. Luka Surabaya 2019 belum sembuh, kini Yalimo menambah deretan duka. Dari kota ke kota, dari kampus ke jalan, diskriminasi dan stigma terus menghantui. Sampai kapan orang Papua harus menjadi korban penghinaan? Sampai kapan negara terus menutup mata terhadap rasisme yang nyata di depan wajahnya? Setiap menit keterlambatan untuk bertindak adalah pembiaran terhadap kejahatan kemanusiaan.

Kecaman keras harus diarahkan pada setiap bentuk rasisme terhadap orang Papua. Tindakan tegas wajib diambil: usut tuntas ujaran rasis, adili pelaku, dan pulihkan martabat korban. Jangan ada lagi alasan. Jangan ada lagi janji kosong. Hukum harus ditegakkan, keadilan harus hadir, dan rasisme harus dipatahkan. Inilah ujian sesungguhnya bagi negara: apakah ia berani berdiri di pihak yang lemah dan terhina, atau terus menjadi mesin yang membiarkan diskriminasi berlangsung. Negara yang membiarkan rasisme berarti negara yang membiarkan warganya dihancurkan oleh kebencian.

Jika negara terus membiarkan rasisme terhadap orang Papua tumbuh, jangan salahkan bila kepercayaan rakyat Papua runtuh. Jangan salahkan bila mereka merasa Indonesia hanya sekadar nama, bukan rumah bersama. Rasisme adalah musuh persatuan, musuh kemanusiaan, dan musuh keadilan. Tidak ada alasan, tidak ada pembenaran, tidak ada kompromi untuk kebencian rasial. Membiarkan rasisme sama dengan menusuk jantung persatuan bangsa.

Hari ini bangsa Indonesia ditantang untuk memilih: tetap diam atau bersuara. Diam berarti ikut melanggengkan kebencian. Bersuaralah berarti melawan rasisme. Kita harus memilih yang kedua, demi keadilan, demi persatuan, dan demi kemanusiaan. Suara solidaritas harus datang tidak hanya dari Papua, tetapi juga dari Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara, dan Maluku. Seluruh rakyat Indonesia harus berdiri tegak menyatakan: rasisme terhadap orang Papua adalah musuh bersama.

Stop rasisme terhadap orang Papua! Sekarang juga! (Editor)