ISRAEL telah kehilangan kendali. Dalam satu minggu awal September 2025, enam negara menjadi sasaran: Palestina, Lebanon, Suriah, Tunisia, Qatar, dan Yaman. Enam negara dalam hitungan hari! Inilah bukti nyata bahwa Israel tidak lagi sekadar membela diri, melainkan dengan sengaja memamerkan kekuatan militer dan menegakkan dominasinya atas kawasan Arab — bahkan atas dunia.
Gaza kembali dihantam, ribuan warga sipil tak berdaya. Rudal melesat ke Lebanon, Suriah digempur, dan Tunisia ikut merasakan amukan bom. Qatar pun diserang pada 9 September 2025, hanya karena dituding menjadi tempat persembunyian tokoh Hamas. Yaman tak luput dari sasaran, seolah penderitaan panjang rakyat negeri itu masih kurang. Israel menebar teror lintas batas, menabur api perang dari Timur Tengah hingga Afrika Utara.
Ini bukan lagi konflik terbatas, ini pameran arogansi. Israel ingin dunia tahu: mereka bisa menghantam siapa saja, kapan saja, tanpa peduli hukum internasional. Konvensi Jenewa? Hak asasi manusia? Semua diterabas. Israel menertawakan aturan global sambil menunjukkan bahwa kekuatan ada di tangan mereka, bukan di tangan PBB atau lembaga internasional mana pun.
Dan ironinya, dunia hanya bisa bersuara. Amerika Serikat menutup mata, bahkan memberi payung perlindungan politik bagi setiap rudal yang dijatuhkan Israel. Negara-negara Arab hanya bisa berteriak dari mimbar diplomasi, sementara jet-jet tempur Israel terus menyalakan langit dengan bom dan rudal. Dunia Barat, secara terang-terangan atau diam-diam, tetap mengakui: Israel adalah kekuatan besar yang tak mudah dijinakkan.
Kenyataan pahit ini telanjang di depan mata. Resolusi Majelis Umum PBB yang didukung 142 negara untuk mengakui Palestina merdeka hanyalah kertas kosong ketika Israel dengan pongah memperluas medan perang. Serangan ke enam negara adalah pesan keras: “Kami penguasa kawasan, dan dunia tidak bisa menghentikan kami.”
Israel menggila. Mereka tidak hanya berperang, mereka sedang mendominasi. Mereka menunjukkan kehebatan militer bukan hanya untuk menaklukkan bangsa Arab, tapi juga untuk menantang seluruh dunia. Pertanyaannya kini: sampai kapan dunia mau menjadi penonton dari kegilaan yang terang-terangan ini? (Editor)