OPINI  

Wacana Pemekaran dan Posisi Masyarakat Adat di Papua Tengah

Sumber foto: ceposonline.com, Senin, 28 Oktober 2024/Theresia F Tekege

Oleh Elias Petege, S.HI

Pemerhati Masalah Politik, HAM, dan Pemilu di Papua

WACANA pemekaran delapan daerah otonom baru (DOB) kabupaten di Provinsi Papua Tengah belakangan ini kembali mencuat. Muncul pro-kontra di tengah masyarakat. Pemekaran diklaim sebagai bagian dari upaya percepatan pembangunan, pelayanan publik, dan pemerataan kesejahteraan.

Namun, bagi masyarakat adat Papua, terutama mereka yang mendiami wilayah pedalaman dan memiliki relasi kultural yang kuat dengan tanah leluhur, pemekaran bukan sekadar tentang batas administratif. Ia lebih dari itu terkait ancaman serius terhadap kelangsungan hidup masyarakat sebagai komunitas adat yang rentan.

Janji dan realitas sosial

Pemekaran DOB kerap dijustifikasi oleh pemerintah sebagai solusi atas persoalan keterisolasian wilayah, minimnya akses pelayanan dasar, dan lambatnya pembangunan infrastruktur. Namun, fakta di lapangan menunjukkan gelombang pemekaran di Papua selama dua dekade terakhir tidak otomatis menghadirkan keadilan sosial dan kesejahteraan yang dijanjikan.

Sebaliknya, pemekaran seringkali melahirkan struktur birokrasi baru tanpa memperkuat kapasitas pemerintahan lokal, serta menyuburkan konflik elit lokal yang bersaing untuk mendapatkan posisi politik dan akses sumber daya. Janji pemekaran masih jauh panggang dari api. Bahkan dipandang utopis. Janji dan realitas terpaut jauh realitas di tengah masyarakat.

Papua Tengah, provinsi baru hasil pemekaran dari Provinsi Papua pada 2022, kini sedang berjuang membangun fondasi kelembagaan, sistem pemerintahan, dan pelayanan publik. Dalam situasi yang masih penuh tantangan ini, wacana pemekaran delapan DOB kabupaten seperti bola panas.

Ada delapan calon DOB yang digadang-gadang yaitu Kabupaten Mapia Raya, Mimika Barat Jauh, Paniai Barat, Beoga, Ilu, Kemangdoga, dan lain-lain justru berisiko memperdalam persoalan yang belum terselesaikan selama ini.

Masyarakat adat Papua tidak hidup berdasarkan konsep administratif negara, melainkan berdasarkan wilayah adat, hubungan genealogi antarmarga serta nilai-nilai kultural yang diwariskan secara turun-temurun. 

Pemekaran wilayah yang tidak berbasis pada konsensus adat dapat memicu perpecahan internal, memunculkan klaim tumpang tindih atas wilayah ulayat bahkan memicu konflik antarkelompok yang sebelumnya hidup berdampingan secara damai.

Lebih dari itu, pemekaran seringkali menjadi pintu masuk bagi ekspansi negara ke dalam ruang hidup komunitas adat. Pos militer diperluas, kehadiran aparat keamanan ditingkatkan, dan akses perusahaan —baik pertambangan, perkebunan, maupun infrastruktur skala besar— dipermudah. 

Dalam banyak kasus, perluasan pos militer berjalan beriringan dengan ekspansi investasi atas nama “pengamanan pembangunan”. Sayangnya, pembangunan yang dimaksud seringkali dilakukan tanpa konsultasi mendalam dengan masyarakat adat yang terdampak langsung.

Konflik dan militerisasi wilayah adat

Tingginya kehadiran militer di wilayah-wilayah adat Papua telah menjadi sorotan nasional dan internasional. Militerisasi bukan sekadar urusan keamanan negara, tetapi juga tentang bagaimana kekuasaan hadir secara fisik dan simbolik di tanah adat. 

Di berbagai distrik di Papua Tengah, seperti di Intan Jaya, Mimika, Puncak, dan Paniai, pos-pos militer diperluas sejak 2016. Hal ini tidak lepas dari strategi negara dalam menanggulangi konflik bersenjata dengan kelompok pro-kemerdekaan. Namun, masyarakat sipil menjadi pihak yang paling terdampak.

Berbagai laporan lembaga HAM menunjukkan, konflik dan kekerasan meningkat seiring bertambahnya infrastruktur militer dan keamanan. Penembakan, penangkapan sewenang-wenang, dan pengungsian warga sipil menjadi fenomena yang berulang. 

Dalam konteks inilah, pemekaran bukan lagi wacana administratif, melainkan proses yang membuka ruang bagi militerisasi yang lebih luas atas ruang hidup masyarakat adat.

Pemekaran juga kerap digunakan sebagai pembuka jalan untuk ekspansi investasi. Sejumlah perusahaan besar —baik nasional maupun asing— melirik Papua sebagai frontier ekonomi baru. Tanah adat yang belum bersertifikat dianggap “tanah negara” dan diubah statusnya melalui berbagai skema hukum yang sering tidak dipahami masyarakat lokal.

Di Papua Tengah, berbagai rencana konsesi hutan, tambang, dan kebun sawit mulai muncul seiring wacana pemekaran. Perusahaan datang dengan iming-iming pembangunan dan lapangan kerja, namun kenyataannya lebih banyak mudarat. 

Laju deforestasi tak terbendung, degradasi lingkungan hingga tercemarnya sungai dan danau dipastikan menganga lebar, hilangnya akses masyarakat adat terhadap sumber daya alam hingga penghapusan identitas budaya yang terikat pada tanah. Itu adalah potret buram yang senantiasa berdampingan dengan masyarakat dan alamnya 

Penolakan masyarakat adat

Dalam berbagai pertemuan adat dan konsolidasi sipil, suara penolakan terhadap pemekaran terus digaungkan. Masyarakat adat menilai, kehadiran DOB tidak menjawab kebutuhan mendesak mereka, melainkan memperbesar kerentanan sosial, mempercepat perampasan tanah adat, dan memperluas kekuasaan birokrasi yang kerap tidak berpihak.

Penolakan ini juga didasarkan pada pengalaman masa lalu. Banyak kabupaten hasil pemekaran sebelumnya belum mampu membangun infrastruktur dasar, seperti rumah sakit, sekolah, jalan penghubung, dan akses telekomunikasi yang layak. Situasi ini membuat masyarakat bertanya: mengapa membentuk kabupaten baru jika yang lama saja belum mampu melayani?

Sudah saatnya pemerintah, baik pusat maupun daerah, mengevaluasi kembali pendekatan pembangunan di Papua. Alih-alih memperluas struktur administratif, fokus seharusnya diarahkan pada penguatan kapasitas pemerintah daerah yang sudah ada, realisasi visi dan misi gubernur dan bupati terpilih serta pembangunan berbasis kebutuhan lokal dan penghormatan terhadap hak-hak masyarakat adat.

Program prioritas selama lima tahun ke depan —termasuk pendidikan kontekstual, layanan kesehatan yang adil, perlindungan lingkungan, dan pengakuan wilayah adat— harus menjadi perhatian utama. Pemerintah daerah sebaiknya tidak terseret pada tarik-menarik elit dan kepentingan politik jangka pendek, tetapi menunjukkan komitmen serius terhadap keberlanjutan kehidupan masyarakat adat yang telah menjaga tanah ini jauh sebelum republik ini berdiri.

Pemekaran bukan solusi ajaib, sim salabim —mantra yang sering digunakan dalam trik sulap— bagi semua persoalan di Papua. Ia bisa menjadi berkah bila dirancang secara inklusif, partisipatif, dan berbasis kebutuhan riil. 

Namun, dalam konteks Papua Tengah saat ini, wacana pemekaran delapan kabupaten baru justru menghadirkan ancaman nyata terhadap keberlanjutan masyarakat adat, memperluas ruang kekerasan, dan membuka celah baru bagi eksploitasi sumber daya alam.

Karena itu, suara masyarakat adat yang menolak pemekaran harus didengar dan dihormati. Pemerintah mesti menghentikan segala bentuk rencana pemekaran di Papua Tengah hingga ada jaminan perlindungan hak asasi manusia (HAM), kepastian hukum atas tanah ulayat, dan kehadiran negara yang berpihak pada masyarakat adat. Bukan mengekor pada kepentingan elit dan nafsu besar pemodal. (*)Elias Petege, S.HI, Pemerhati Masalah Politik, HAM, dan Pemilu di Papua.