Oleh Suriel Semuel Mofu
Kepala Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi Wilayah XIV Papua dan Papua Barat
PERNYATAAN Menteri Transmigrasi Republik Indonesia soal pemerintah tidak akan mendatangkan orang luar Papua masuk ke Papua melalui program transmigrasi akan sulit dilaksanakan karena beberapa alasan.
Pertama, peraturan nasional yang mengatur soal transmigrasi tidak mengenal program transmigrasi untuk masyarakat lokal. Artinya tidak ada dasar hukum secara nasional untuk dilakukan transmigrasi penduduk antar daerah di Tanah Papua.
Kedua, program transmigrasi di tanah Papua yang telah berlangsung sejak tahun 1964 sampai 1999 dengan data terakhir 78.000 kepala keluarga (KK) dihentikan sementara pasca diberlakukan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua yang telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, karena harus diakomodir ke dalam Perdasi.
Pertanyaannya adalah apakah program transmigrasi ke Papua ini masih perlu dilanjutkan? Apa dampak positifnya? Program transmigrasi di tanah Papua tetap dapat dilanjutkan. Akan tetapi fokus programnya ditujukan bagi warga masyarakat Indonesia di tanah Papua.
Warga masyarakat Indonesia di tanah Papua ini adalah yang berlatar belakang lulusan pendidikan tinggi (baik orang asli Papua maupun non orang asli Papua yang lahir dan besar di Papua) untuk didayagunakan pemerintah dalam rangka menggerakan pembangunan di pedesaan dan di daerah-daerah terpencil di seluruh tanah Papua.
Nama program transmigrasi ini diusulkan menggunakan nama program yang dengan mudah dapat diterima oleh masyarakat luas di Papua. Penulis mengusulkan program transmigrasi lokal di Papua dinamakan Program Sarjana Masuk Kampung Menggerakkan Pembangunan di Pedesaan.
Dampak dan solusi
Apakah ada dampak negatif dari transmigrasi dan apa solusinya? Dampak negatif transmigrasi bagi masyarakat asli Papua saat ini adalah bahwa otonomi khusus yang diberlakukan bagi Provinsi Papua telah memberikan peluang terhadap munculnya sikap sentimen primordial maupun etnosentrisme.
Demokrasi dan hak-hak sosial dikapling berdasarkan status kepribumian dan asal-usul geneologis. Masuknya transmigrasi dari luar tanah Papua yang dilabeli non OAP oleh masyarakat asli Papua dapat memicu munculnya gejolak sosial. Gejolak sosial ini pada saat tertentu akan mengarah pada perpecahan karena konflik antar suku yang mengarah pada disintegrasi bangsa.
Solusi untuk mengatasi masalah tersebut di atas adalah dengan menyiapkan program khusus transmigrasi lokal Papua yang dikemas dengan nama Program Sarjana Masuk Kampung Menggerakkan Pembangunan di Pedesaan.
Mengapa muncul usulan agar program transmigrasi lokal di Papua diberi nama lain dengan tidak menggunakan kata transmigrasi tetapi dengan nama Program Sarjana Masuk Kampung Menggerakkan Pembangunan di Pedesaan?
Selain alasan negatif yang telah disebutkan di atas, juga ada dua alasan utama lainnya. Pertama, “transmigrasi” telah menjadi kata yang memiliki konotasi negatif di kalangan masyarakat asli Papua.
Warga transmigrasi dari luar Papua yang disebut non OAP (non Orang Asli Papua) dianggap akan bersaing dengan OAP dalam merebut berbagai bidang lapangan pekerjaan yang tersedia. Ketika warga non OAP mendapatkan kesempatan lebih baik dari warga OAP, akan timbul kecemburuan sosial yang tinggi.
Kedua, tanah Papua saat ini memiliki 92935 lulusan perguruan tinggi negeri (PTN) dan perguruan tinggi swasta (PTS) yang belum terserap dalam dunia kerja baik sektor formal maupun non-formal karena terbatasnya lapangan pekerjaan di tanah Papua.
Data Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi Wilayah XIV yang saya pimpin menunjukkan, dalam tujuh tahun terakhir sejak 2017-2024 terdapat sejumlah 92935 orang sarjana yang dihasilkan oleh PTN dan PTS di tanah Papua.
Rinciannya, sarjana pendidikan 19315 orang, sarjana kesehatan 7901 orang, sarjana teknik dan komputer 12733 orang, sarjana sains dan IPA 10225 orang, sarjana ilmu-ilmu sosial dan humaniora 40176 orang dan sisanya sarjana ilmu-ilmu filsafat dan agama.
Lulusan perguruan tinggi di tanah Papua yang jumlahnya sangat banyak ini berdomisili di pusat-pusat kota provinsi, kabupaten dan kota di tanah Papua. Puluhan ribu sarjana hasil keluaran perguruan tinggi negeri dan swasta di tanah Papua, dapat diberdayakan sebagai sarjana penggerak pembangunan di pedesaan.
Dengan pembekalan yang cukup oleh pemerintah, mereka ditempatkan di pelosok-pelosok tanah Papua dan bekerja melayani masyarakat dengan ilmu dan keterampilan yang dimilikinya. Dalam jangka panjang mereka akan menjadi penduduk lokal yang menjadi dinamisator, motivator, dan katalisator penggerak perubahan di daerah-daerah terpencil di tanah Papua.
Dengan memberdayakan para lulusan PTN dan PTS yang saat ini tersedia sangat banyak di Papua untuk dikirim sebagai “transmigrasi lokal” dalam program pemerintah yang dinamakan Sarjana Masuk Kampung Menggerakkan Pembangunan di Pedesaan.
Kehadiran mereka untuk mengabdi di berbagai daerah pedesaan yang terpencil di tanah Papua dengan dukungan penuh pemerintah. Dengan demikian, dapat dipastikan perubahan peningkatan kesejahteraan masyarakat di kampung-kampung di seluruh tanah Papua akan mulai bergeliat karena ada tenaga-tenaga berpendidikan tinggi yang hidup di tengah masyarakat yang mendampingi mereka dalam jangka waktu yang panjang.










