OPINI  

Dilarang Kampanye Negatif dalam PSU Pilgub Papua

Yakobus Dumupa, Orang asli Papua, tinggal di Nabire, Tanah Papua. Foto: Dok. Odiyaiwuu.com

Oleh: Yakobus Dumupa
Anggota Majelis Rakyat Papua (2012-2016) dan Bupati Dogiyai (2017-2022)

PEMUNGUTAN Suara Ulang (PSU) Pemilihan Gubernur Papua yang saat ini sedang berlangsung adalah momentum penting bagi rakyat Papua. Ini bukan sekadar pengulangan proses demokrasi, tetapi kesempatan emas untuk memperbaiki kualitas pemilihan, memperkuat legitimasi kepemimpinan daerah, dan mengembalikan kepercayaan publik terhadap sistem demokrasi.

Namun, sangat disayangkan bahwa proses yang seharusnya dijalankan dengan penuh kedewasaan politik ini justru tercemar oleh maraknya kampanye negatif. Ruang publik, baik di lapangan maupun di media sosial, dipenuhi dengan ujaran kebencian, fitnah, kabar bohong, dan serangan personal yang menjatuhkan martabat lawan politik. Fenomena ini bukan hanya mencederai proses pemilu, tetapi juga membahayakan kohesi sosial dan kedamaian di Tanah Papua.

Kampanye negatif adalah bentuk kekerasan verbal yang menebarkan luka. Fitnah yang dilempar hari ini akan meninggalkan jejak panjang dalam relasi sosial masyarakat. Ia menciptakan dendam, memperdalam polarisasi, dan berpotensi memicu konflik horizontal, bahkan kekerasan fisik. Bukan tidak mungkin, keluarga terpecah, komunitas terbelah, dan rakyat dikorbankan demi ambisi kekuasaan yang menutup mata terhadap etika politik.

Padahal, Papua adalah tanah yang masih menyimpan banyak luka sejarah. Karena itu, praktik-praktik adu domba dalam politik harus dihentikan. PSU bukan ajang saling menjatuhkan, tetapi arena adu gagasan dan visi untuk membangun Papua yang damai dan sejahtera. Demokrasi sejati hanya dapat tumbuh dalam iklim persaingan yang sehat dan saling menghormati.

Undang-undang telah tegas melarang kampanye bermuatan fitnah, hoaks, dan ujaran kebencian. KPU dan Bawaslu harus bertindak tegas terhadap semua pelanggaran. Namun lebih dari itu, kita membutuhkan keteladanan moral dari para calon pemimpin, tim sukses, simpatisan, dan para tokoh masyarakat. Kampanye yang santun adalah cermin kedewasaan dan kualitas kepemimpinan.

Budaya Papua adalah budaya yang menjunjung tinggi persaudaraan. Dalam falsafah hidup orang Papua, honai bukan tempat menanam dendam, tetapi tempat berkumpul dan berdialog sebagai saudara. Nilai-nilai ini perlu dibawa masuk ke dalam ruang politik agar demokrasi di Papua tumbuh dari akar budaya sendiri—bukan sekadar meniru praktik politik dari luar yang penuh intrik dan manipulasi.

PSU adalah ujian integritas dan kedewasaan berdemokrasi. Jika kita ingin Papua yang damai dan rakyat yang bahagia, maka kampanye harus diisi dengan narasi harapan, bukan kebencian. Pemimpin yang baik tidak perlu menjatuhkan lawan untuk berdiri tegak. Ia akan berdiri dengan gagasan, bukan dengan caci maki. Ia akan membangun kepercayaan, bukan memperdagangkan kebohongan.

Mari kita jaga PSU sebagai pesta demokrasi yang bermartabat. Jangan wariskan kepada generasi muda Papua budaya politik yang penuh racun dan kebencian. Hentikan kampanye negatif. Menangkan hati rakyat dengan kejujuran, ketulusan, dan kasih terhadap sesama. Hanya dengan itulah Papua bisa melangkah ke masa depan yang lebih adil, damai, dan bermartabat bagi semua.