Oleh Paskalis Kossay
Mantan Anggota DPR RI
PADA tanggal 6 Agustus 2025 akan dilaksanakan Pemilihan Suara Ulang (PSU) Gubernur dan Wakil Gubernur Papua menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia pada 25 Februari 2025. Sejak itu MK memerintahkan kepada pihak termohon Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Papua untuk melaksanakan PSU Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Papua.
Selain memerintahkan pemungutan suara ulang, MK juga mendiskualifikasi calon Wakil Gubernur pasangan calon nomor urut 1 atas nama Yermias Bisai. Kekosongan posisi Yermias Bisai, kemudian digantikan oleh drh. Costan Karma mendampingi Benhur Tommy Mano sebagai calon Gubernur pasangan nomor urut 1.
Momentum Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Papua saat ini memiliki makna penting dan strategis. Mengapa penting, karena provinsi papua sebagai provinsi induk masih merupakan barometer dinamika politik papua sampai dengan hari ini.
Selain itu posisi geopolitik wilayah papua demikian strategis jika dipandang dari sudut pengaruh politik global. Persaingan politik global memang semakin terfokus di kawasan Asia Pasifik didalamnya ada wilayah Papua. Terutama akibat rivalitas antara Amerika Serikat dan Tiongkok.
Kawasan ini menjadi perhatian karena potensi pengembangan ekonomi yang cukup menjanjikan, potensi sumber daya alam yang melimpah, dan pengaruh geopolitik yang strategis. Maka dinamika geopolitik global mengalami pergeseran, dengan pusat perhatian sebelumnya berada di Heartland (Eurasia), kini beralih ke Asia Pasifik.
Sebagai bagian dari kawasan Asia Pasifik, Papua juga merasakan dampak dari persaingan global ini, baik dari peluang maupun tantangan. Selain persaingan Amerika Serikat dan Tiongkok, isu-isu seperti ketegangan di laut Cina Selatan, masalah nuklir di semenanjung Korea, perluasan pakta pertahanan Rusia dan Amerika Serikat serta isu Papua, juga menambah kompleksitas dinamika keamanan di kawasan ini.
Dalam menghadapi peluang dan tantangan global sebagaimana tersebut diatas, perlu adanya kepemimpinan yang kuat yang selaras dengan kepemimpinan nasional. Karena itu posisi seorang Gubernur Papua sangat strategis dalam mengelola kepemimpinan yang kolaboratif bersama enam gubernur lainnya di tanah Papua dalam memelihara stabilitas politik dan keamanan di kawasan ini tetap kondusif dalam kendali kepentingan nasional.
Selain memelihara stabilitas politik dan keamanan di kawasan Asia Pasifik, seorang Gubernur Papua juga diharapkan menjadi gubernur senior dalam mengendalikan kepemimpinan kolektif enam provinsi dalam mengimplementasikan amanat otonomi khusus tentang perlindungan dan pemberdayaan orang asli Papua.
Kita sering berwacana bahwa dalam konteks sosial budaya dan ekonomi, orang Papua tetap menjadi satu kesatuan. Namun dalam kenyataannya, orang Papua sudah terpecah belah masuk dalam lingkup primordialisme sempit berdasarkan batas administrasi pemerintahan provinsi dan kabupaten/kota. Kebersamaan emosional orang papua semakin hilang.
Dampaknya berpengaruh kepada kesenjangan pertumbuhan pembangunan daerah. Ada daerah tertentu pertumbuhannya lebih pesat didukung oleh kelimpahan sumber daya alam misalnya, dari pada daerah lain yang minim sumber daya alam.
Padahal, Otonomi Khusus (Otsus) Papua hanya satu berlaku untuk ke enam provinsi seluruh Papua. Mestinya otsus yang menjadi payung menaungi seluruh provinsi menjadi satu kesatuan dalam memajukan masyarakat orang asli Papua.
Oleh karena itu peran sentral dalam pengendalian amanat otsus diharapkan tetap dipegang oleh provinsi induk. Maka gubernur provinsi induk memiliki peran lebih kuat dalam pengelolaan pemerintahan dan pembangunan di tanah Papua dalam kerangka otonomi khusus.
Sementara peran provinsi pemekaran hanya suplemen memperkuat peran provinsi induk dalam menjalankan dan mengkoordinasi serta sinkronisasi kepentingan bersama.










