Oleh Eugene Mahendra Duan
Guru SMP YPPK Santo Antonius Nabire, Papua Tengah
SETIAP tanggal 21 April, bangsa Indonesia memperingati Hari Kartini dengan semarak. Di ruang-ruang kelas hingga panggung perayaan resmi, sosok Raden Ajeng Kartini diangkat sebagai ikon perjuangan emansipasi perempuan. Namun, narasi sejarah yang dominan itu menyisakan sebuah ironi besar: perempuan Papua —yang di tanahnya sendiri disebut mama-mama Papua— nyaris tak pernah hadir dalam diskursus nasional mengenai peran perempuan dalam perjuangan dan pembangunan bangsa.
Padahal, dalam lanskap sosial Papua yang sarat ketimpangan, mama-mama Papua menjalankan peran strategis sebagai penopang ekonomi rakyat, penjaga nilai budaya, sekaligus penyintas dalam situasi sosial-politik yang tidak ramah. Mereka adalah figur-figur perjuangan yang hidup dalam ketakberdayaan sistemik, namun tetap bertahan dan melawan dalam diam.
Marginalisasi sistemik
Perempuan Papua, sebagaimana ditunjukkan dalam laporan Komnas Perempuan (2023), menghadapi berbagai bentuk kekerasan berbasis gender yang tinggi, termasuk kekerasan seksual dan intimidasi dari aparat keamanan. Minimnya akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan perlindungan hukum semakin memperparah kondisi tersebut, terutama di wilayah pedalaman yang sulit dijangkau infrastruktur negara.
Realitas ini menunjukkan bahwa mama-mama Papua tidak sekadar menghadapi tantangan sebagai perempuan dalam masyarakat patriarkal, tetapi juga sebagai bagian dari komunitas yang telah lama mengalami marginalisasi struktural. Dalam banyak kasus, mereka berada dalam posisi rentan akibat kombinasi dari diskriminasi rasial, ketimpangan pembangunan, dan keterputusan dari sistem keadilan negara.
Di tengah ketimpangan tersebut, mama-mama Papua memainkan peran sentral dalam kehidupan ekonomi lokal. Di pasar tradisional, di pinggir jalan kota-kota kecil, hingga di lorong-lorong kampung, mereka menjajakan hasil bumi, ikan hingga kerajinan tangan lainnya. Meski sering terpinggirkan dari perencanaan kota dan regulasi ekonomi formal, kehadiran mereka terbukti menjadi fondasi atau tulang punggung bagi ketahanan ekonomi keluarga dan komunitas.
Sejumlah studi, seperti yang dilakukan LIPI dan Yayasan Pusaka (2019), menunjukkan bahwa ekonomi pasar tradisional di Papua sangat ditopang oleh aktivitas mama-mama. Namun sayangnya, mereka kerap menjadi korban penggusuran dan razia atas nama “penertiban kota”. Alih-alih diberdayakan, keberadaan mereka justru sering dianggap sebagai gangguan tata ruang.
Pola pikir negara yang melihat sektor informal sebagai hambatan pembangunan mengabaikan fakta bahwa mama-mama Papua adalah bagian dari jaringan ekonomi lokal yang organik dan berkelanjutan. Di tengah gempuran pasar modern dan korporasi besar, mereka justru menyuarakan bentuk ekonomi alternatif yang berbasis solidaritas, keberlanjutan, dan kemandirian.
Kartini dalam noken
Salah satu akar persoalan yang menyebabkan invisibilitas mama-mama Papua dalam sejarah nasional adalah dominasi narasi Jawa-sentris dalam penulisan sejarah Indonesia. Figur perempuan pejuang sering kali dipilih berdasarkan standar tertentu: terpelajar dalam sistem pendidikan kolonial, memiliki akses pada kekuasaan, serta mampu menyuarakan gagasan dalam bahasa elite.
Kartini, tentu, adalah simbol penting dalam sejarah emansipasi. Namun, menjadikan ia satu-satunya referensi atas perjuangan perempuan justru menyempitkan keragaman bentuk perlawanan dan ketangguhan perempuan dari wilayah lain. Mama-mama Papua tidak menulis surat kepada Belanda, tetapi mereka menulis sejarahnya melalui ladang, pasar, dan aksi bertahan dalam ketimpangan.
Mereka adalah Kartini dalam noken, bukan kebaya. Mereka tak berdiri di panggung-panggung seremoni, tetapi menyatu dengan denyut kehidupan komunitasnya. Mereka tidak punya ruang di buku pelajaran, tetapi membangun ruang hidup melalui kerja keras dan pengorbanan sehari-hari.
Perjuangan mama-mama Papua adalah bentuk emansipasi yang nyata dan kontekstual. Mengabaikannya berarti mengulang kekerasan epistemik: meminggirkan pengetahuan dan pengalaman perempuan dari wilayah yang tidak memenuhi standar narasi dominan. Padahal, keragaman bentuk perjuangan adalah kenyataan sejarah Indonesia yang plural dan kompleks.
Rekognisi terhadap mama-mama Papua bukan sekadar simbolik, tetapi merupakan tuntutan atas keadilan historis. Artinya, pengakuan terhadap mereka harus diwujudkan dalam kebijakan yang berpihak: pemberdayaan ekonomi yang inklusif, akses terhadap layanan dasar, serta perlindungan hukum yang tegas terhadap kekerasan berbasis gender.
Lebih dari itu, pendidikan nasional perlu membuka ruang bagi sejarah-sejarah lokal yang selama ini terpinggirkan. Kurikulum harus memasukkan kisah-kisah perempuan dari berbagai daerah, termasuk Papua, sebagai bagian dari narasi kolektif bangsa.
Suara dari timur
Hari Kartini seharusnya bukan sekadar seremoni budaya atau peragaan busana kebaya. Ia harus menjadi momen refleksi kritis tentang siapa yang kita anggap “pahlawan” dan siapa yang selama ini kita abaikan. Dalam konteks itu, mama-mama Papua menghadirkan tantangan moral bagi bangsa ini: apakah kita bersedia melihat perjuangan dari luar lingkar pusat kekuasaan?
Suara perempuan Papua memang lirih, kadang nyaris tak terdengar di panggung nasional. Namun dari balik pasar-pasar kecil, dari kebun-kebun yang mereka tanami, dan dari trotoar-trotoar tempat mereka berjualan, mereka terus berbicara tentang hidup, tentang perlawanan, dan tentang harapan.
Sudah saatnya kita mendengar suara dari timur. Suara yang selama ini dilupakan, tetapi justru menyimpan makna terdalam tentang apa arti sesungguhnya menjadi perempuan pejuang di negeri ini. Mereka adalah Kartini sejati dalam balutan noken, dengan mata lelah namun tetap menyala. Selamat Hari Kartini Tahun 2025.









