Oleh Julia Jeckline Yaroseray
(Puteri Pariwisata Indonesia Persahabatan 2023)
SAYA menyaksikan sendiri bagaimana Benhur Tomi Mano menghadapi kenyataan pahit setelah Mahkamah Konstitusi membatalkan kemenangannya sebagai Gubernur Papua. Dalam situasi yang bisa membuat siapa pun marah, kecewa, atau bahkan menyerah, beliau justru tampil tenang, lapang dada, dan menunjukkan kebesaran jiwa yang jarang saya temukan dari seorang tokoh publik.
Ketika banyak orang mungkin memilih menyalahkan keadaan atau menarik diri dari panggung, Benhur Tomi Mano berkata dengan penuh keteguhan, “Kegagalan itu memang pahit, tetapi justru dari sanalah kita dilatih, bukan untuk dihancurkan.” Kalimat ini bukan sekadar penghiburan, tapi lahir dari pengalaman dan kebijaksanaan seorang pemimpin yang benar-benar mengerti makna jatuh dan bangkit.
Beliau tidak pernah takut gagal. Ia mengajarkan kepada saya—dan mungkin kepada kita semua—bahwa kegagalan bukanlah aib, tetapi ruang pembelajaran. Seperti katanya, “Saya tidak takut gagal, karena bagi saya, kegagalan adalah bagian dari proses latihan. Kesulitan itu membentuk jiwa. Tanpa tantangan, saya akan melemah. Gagal bukan akhir, tapi awal dari pembentukan diri.”
Saya sangat menghargai sikap beliau yang memilih untuk fokus pada hal-hal yang bisa dikendalikan. “Saya tidak bisa mengendalikan hasil, tapi saya bisa mengendalikan usaha dan sikap saya. Dan saya memilih untuk fokus pada itu,”katanya. Dari sana saya belajar bahwa dalam hidup, bukan soal hasil yang utama, tetapi soal ketulusan dan konsistensi dalam berusaha.
Yang paling menginspirasi saya adalah saat beliau menyebut kegagalan sebagai guru. Ia tidak menghindari kegagalan, tetapi memeluknya sebagai bagian dari pertumbuhan. “Kegagalan bukan musuh, melainkan guru terbaik. Saya memilih untuk belajar dari setiap jatuh, agar saya bisa melangkah lebih kuat ke depan,” ungkapnya.
Kini, meskipun keputusannya dibatalkan, Benhur Tomi Mano tidak goyah. Ia tetap berdiri dengan kepala tegak, menyatakan kesiapannya untuk kembali melangkah dalam Pemungutan Suara Ulang. Dan saya tahu, ia melangkah bukan demi ambisi pribadi, melainkan demi cita-cita besar untuk Papua dan rakyatnya.
Saya menulis kesaksian ini karena saya percaya, sikap seperti inilah yang perlu kita rawat dan dukung. Kepemimpinan bukan hanya soal kemenangan dalam politik, tetapi tentang bagaimana seseorang mampu menjaga martabat, keteguhan, dan ketulusan bahkan di tengah badai.
Dan saya percaya, dengan jiwa besar, sikap matang, serta semangat yang tak pernah padam, Benhur Tomi Mano bersama Costan Karma sedang menunjukkan kepada kita semua bahwa mereka bukan hanya siap untuk bertarung kembali, tapi juga layak untuk menang. Cara mereka bersikap adalah bukti kuat bahwa keduanya adalah pasangan pemimpin yang dibentuk oleh pengalaman, diuji oleh tantangan, dan dipersiapkan untuk menghadirkan perubahan nyata bagi Tanah Papua.
Benhur Tomi Mano telah mengajarkan kepada kita bahwa kalah dalam keputusan hukum belum tentu kalah dalam nilai dan kehormatan. Dan saya bersaksi, beliau adalah pemimpin yang sesungguhnya—pemimpin yang menang dalam kebesaran jiwa, dan bersama Costan Karma, siap memenangkan hati rakyat Papua dalam Pilkada yang akan datang.