Oleh Moksen Sirfefa
Pegiat Otonomi Khusus Papua
ORANG Asli Papua (OAP) adalah akronim yang melekat pada “orang yang berasal dari rumpun ras Melanesia yang terdiri dari suku-suku asli di provinsi Papua dan/atau orang yang diterima dan diakui sebagai orang asli Papua oleh masyarakat adat Papua”. (Pasal 1 huruf t Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua; jo Pasal 1 angka 22 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua).
Status OAP itu mencuat kembali dan menjadi wacana publik di Papua ketika rakyat hendak memilih calon kepala daerahnya, baik gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, walikota/wakil walikota di masa pemilihan kepala daerah serentak di bulan Oktober 2024. Menurut ketentuan undang-undang, syarat OAP hanya berlaku bagi gubernur/wakil gubernur saja, sedangkan bupati/wakil bupati, walikota/wakil walikota tidak dibatasi alias bebas OAP maupun non-OAP.
Tentang status OAP bagi kepala daerah di level kabupaten/kota, meskipun sampai saat ini masih menjadi perdebatan di level masyarakat kabupaten/kota, hal itu belum menjadi konsen konstitusional bagi MRP untuk menyatakan keseriusannya. Justru MRP serius membahas status OAP di level pemilihan kepala daerah provinsi alias pemilihan gubernur dan wakil gubernur.
Pada bulan Mei 2024, Asosiasi MRP se-Tanah Papua bertemu di Mimika membahas draft akademik syarat OAP bagi bakal calon gubernur dan syarat bakal calon wakil gubernur lalu diputuskan pada rapat tanggal 2-3 Mei 2004 di Manokwari yang mengeluarkan keputusan tentang syarat bakal calon gubernur dan syarat bakal calon wakil gubernur Papua melalui keputusan bersama MRP Nomor 3 Tahun 2024. Hasil keputusan itu kemudian dibawa menghadap Presiden Joko Widodo di Istana Negara pada tanggal 12 Juni 2024.
Saya mengapresiasi semangat Asosiasi MRP se-Tanah Papua yang telah mengambil langkah cepat membuat keputusan tentang syarat bakal calon gubernur dan bakal calon wakil gubernur Papua yang mensyaratkan harus Orang Asli Papua (OAP). Penggunaan kata Gubernur Papua dan Provinsi Papua di sini (sesuai Undang-Undang Nomor 21/2001; jo Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021) adalah mencakup seluruh gubernur/wakil gubernur dan seluruh provinsi se-Tanah Papua.
Di atas penghormatan saya terhadap MRP selaku representasi kultural Papua, saya menilai keputusan Asosiasi MRP se-Tanah Papua itu biasa-biasa saja bahkan menyalahi tertib administrasi.
Pertama, syarat bakal calon gubernur dan syarat bakal calon wakil gubernur Papua harus OAP sudah tercantum di dalam pasal 12 huruf a Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001. Tidak ada hal baru dari keputusan Asosiasi MRP tersebut.
Jika disebutkan bahwa bakal calon gubernur dan bakal calon wakil gubernur bersangkutan wajib membuktikan dirinya memiliki hubungan genealogis patrilineal OAP, memiliki hak ulayat di Papua, memiliki bahasa daerah Papua dan memiliki adat dan budaya Papua, maka siapakah yang berhak menilai dan memverifikasi hal itu? Apakah MRP?
Jawabnya tidak. Sebab, baik di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2004 maupun Tata Tertib MRP se-Tanah Papua, tidak terdapat mandat kewenangan kepada MRP untuk menetapkan keabsahan seseorang sebagai OAP. Kalau bukan MRP, apakah dewan adat atau lembaga adat Papua yang berwenang tentang hal itu?
Tidak juga, karena tidak ada aturan perundang-undangan di dalam Otonomi Khusus yang mengatur tugas dan wewenang lembaga adat. Sebuah problema hukum yang patut dipikirkan ke depan untuk mengatasi kesemrawutan pelaksanaan Otonomi Khusus Papua.
Kedua, Keputusan Asosiasi MRP di atas bukan merupakan Peraturan Daerah Khusus (Perdasus), sehingga tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Keputusan Asosiasi MRP tersebut hanya bagian dari tugas konstitusional MRP memberi pertimbangan semata.
Ketiga, Keputusan Asosiasi MRP itu menyalahi kaidah administrasi karena (i) secara praktek, terkesan dipaksa untuk menjadi dasar hukum, padahal hanya sebagai pertimbangan yang bisa diterima dan/atau bisa diabaikan; (ii) kepala surat hanya memuat logo MRP Papua dan logo MRP Papua Barat, sedangkan logo MRP Papua Tengah, logo MRP Papua Selatan, logo MRP Papua Pegunungan dan logo MRP Papua Barat Daya tidak diikutsertakan; (iii) stempel yang digunakan tidak seragam, ada yang menggunakan “MRP Provinsi,” ada yang menggunakan “Ketua”, termasuk tulisan melingkar yang tidak seragam. Saya menghimbau Kementerian Dalam Negeri, dalam hal ini Ditjen Otda untuk mengatasi kekacauan administrasi ini.
Rekomendasi saya terkait status OAP ini adalah Asosiasi MRP se-Tanah Papua harus segera duduk bersama-sama DPRP dan pemerintah provinsi merumuskan Rancangan Perdasus (yang selanjutnya menjadi Perdasus) tentang OAP sehingga ke depan tidak terjadi kesemrawutan “tiba masa tiba akal” seperti yang kita saksikan saat ini.
Rasanya sudah cukup lama wacana tentang status OAP menggantung karena masih banyak problem definisi yang belum tuntas. Apalagi terdapat kajian-kajian antropologis mutakhir bahwa ras Melanesia bukan hanya ada di Papua, tetapi ada juga di Maluku, Nusa Tenggara, Sulawesi Utara dan Mindanao.
Pun, di Papua banyak suku Papua yang tidak termasuk ras Melanesia, tetapi ras Papua seperti halnya penduduk asli Papua yang mendiami kawasan pegunungan tengah. Ini belum termasuk kajian DNA orang Papua yang diketahui berafiliasi dengan Siberia dan Formosa.
Dengan penyoalan ini, secara substansi maupun secara administrasi, Keputusan Asosiasi MRP tersebut cacat dan tidak dapat digunakan sebagai dasar hukum bagi penetapan bakal calon gubernur dan bakal calon wakil gubernur Papua sebagai calon gubernur dan calon wakil gubernur Papua yang akan mengikuti pemilihan kepala daerah provinsi Papua tahun 2024.