ULMWP Desak Dewan HAM PBB Bentuk Tim Pencari Fakta Kasus Pelanggaran HAM di Tanah Papua - Odiyaiwuu.com | Membahagiakan Kehidupan
DAERAH  

ULMWP Desak Dewan HAM PBB Bentuk Tim Pencari Fakta Kasus Pelanggaran HAM di Tanah Papua

Presiden Eksekutif United Liberation Movement for West Papua Menase Tabuni. Foto: Istimewa

Loading

JAYAPURA, ODIYAIWUU.com — Pihak United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) mendesak Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (HAM PBB) agar segera membentuk tim pencari fakta guna melakukan penyelidikan berbagai kasus pelanggaran HAM di tanah Papua alias West Papua.

ULMWP juga meminta PBB meninjau kembali keanggotaan Indonesia dalam badan dunia tersebut karena selama ini tidak menghargai instrumen hukum humaniter internasional. Tim itu diperlukan karena situasi di tanah Papua dinilai sungguh terabaikan pihak nasional dan internasional.

“Pemerintah Indonesia segera membuka akses kepada Perdana Menteri Papua Nugini James Marape dan PM Fiji Sitiveni Rabuka sejalan dengan hasil komunike pacifik pada November 2023 di Cook Islands untuk berkunjung ke Indonesia guna melakukan dialog dengan Pemerintah Indonesia terkait masalah konflik di tanah Papua,” ujar Presiden Eksekutif ULMWP Menase Tabuni melalui keterangan tertulis yang diperoleh Odiyaiwuu.com di Jakarta, Senin (10/6).

Pihak ULMWP juga menyerukan para pemimpin Melanesia, Pacifik, Afrika, dan komunitas internasional mengambil tindakan dan langkah-langkah tegas dan nyata dalam menyelamatkan bangsa Papua dari tiga fakta ancaman besar yaitu slow motion genosida, etnosida, dan ekosida oleh Indonesia di tanah Papua.

“Lembaga dan mitra strategis ULMWP terus meningkatkan kerja sama dalam rangka mendorong advokasi penyelesaian masalah tanah Papua secara damai dan bermartabat,” kata Tabuni.

Korban pelanggaran HAM dan rakyat West Papua, kata Tabuni, wajib berhati-hati dengan gagasan KKR yang didorong Komnas HAM dan berbagai institusi lokal lainnya karena bertujuan meredam kampanye dan advokasi isu HAM Papua di tingkat regional dan internasional.

Desakan tersebut muncul setelah pihak ULMWP menilai, situasi di tanah Papua sungguh terabaikan pihak nasional dan internasional. Konflik dan kekerasan sudah berlangsung sejak pendudukan Indonesia selama 61 tahun, mulai Mei 1963 hingga 2024, masih terus terjadi dan tidak mengalami perubahan signifikan.

“Penolakan dan perlawanan hukum atas ancaman ekosida di tengah suku Awyu, Boven Digoel dan Mappi serta rencana penanaman perkebunan tebu dua juta hektar di Kabupaten Merauke telah mendapat penolakan berbagai pihak. Kampanye penolakan bertema All Eyes on Papua telah mendapat perhatian luas di tanah Papua, Indonesia, dan komunitas internasional,” ujar Tabuni.

Menurut Tabuni, kurun waktu 61 tahun hingga saat ini, orang Papua sedang mengalami slow motion genosida (pemusnahan perlahan manusia), etnosida (pemusnahan etnis) dan ekosida (pemusnahan sumber daya alam).

Presiden Joko Widodo dan kabinetnya, ujar Tabuni, menggadaikan kekayaan alam milik bangsa Papua untuk melakukan pinjaman kepada lembaga dan negara donor internasional serta untuk membayar utang Pemerintah Indonesia yang kini mencapai Rp 8.338 triliun.

“Sehubungan konflik di tanah Papua, Perwakilan Komnas HAM Papua melaporkan bahwa sejak Januari hingga Mei 2024 telah terjadi 41 insiden. Komnas HAM Papua mengklaim bahwa insiden kekerasan tersebut telah mengakibatkan 32 orang meninggal dunia dan 21 orang terluka,” ujar Tabuni.

Menurut Tabuni, selama ini Pemerintah Indonesia aktif menyerukan perdamaian di tingkat internasional namun tidak memiliki peta jalan penyelesaian konflik. Pemerintah juga selalu menggunakan argumen bahwa Papua diberikan status otonomi khusus jilid pertama yang dinilai gagal. Kemudian memaksakan otsus jilid kedua sejak 2021 hingga kini di bawah kontrol ketat pemerintah pusat.

“Argumen lain adalah dengan menerapkan pemekaran wilayah administrasi pemerintahan baik provinsi maupun kabupaten yang secara langsung akan diikuti dengan penambahan markas TNI maupun Polri,” ujar Tabuni.

Hingga Desember 2023, lanjut Tabuni, Indonesia telah menempatkan 47.261 personil militer di Papua, di mana sekitar 24 ribu personil dimobilisasi ke titik konflik yang masih bergolak. Pemekaran wilayah administrasi di tanah Papua merupakan proyek politik mempercepat proses pemusnahan orang Papua di atas tanah leluhurnya sendiri.

Sejauh ini belum terlihat model pendekatan komprehensif yang dilakukan pemerintah Indonesia dalam menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM di tanah Papua. Komnas HAM dan beberapa jaringan kerja di tanah Papua, katanya, lebih cenderung mendorong pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, KKR dengan berlandaskan pada regulasi otsus.

Tabuni berpandangan, pembentukan KKR merupakan upaya terselubung untuk menyembunyikan kasus pelanggaran HAM Papua dari pengawasan internasional. Hal itu merupakan cara untuk menyembunyikan kasus Papua dari perhatian internasional.

“KKR buat orang Papua yang menjadi korban pelanggaran HAM hanya dibayar dengan uang, sementara tidak ada keadilan yang diberikan. Sudah terbukti kasus Abepura 2000 dan Paniai 2014 yang dibawa ke pengadilan HAM tetapi pelakunya divonis bebas. Orang Papua tidak akan pernah mendapat keadilan di dalam sistem hukum Republik Indonesia,” ujar Tabuni. (Ansel Deri/Odiyaiwuu.com)

Tinggalkan Komentar Anda :