Puasa Politik 2024 - Odiyaiwuu.com | Membahagiakan Kehidupan
OPINI  

Puasa Politik 2024

Soleman Itlay, umat Katolik Dioses Jayapura. Foto: Istimewa

Loading

Oleh Soleman Itlay

Umat Katolik Papua

MEMILH untuk tidak memilih bukan golput. Bukan juga anti demokrasi politik praktis. Lebih daripada itu, dalam masa Paskah ini saya sebagai penganut Katolik menghayatinya sebagai puasa politik tahun 2024.

Secara khusus saya berpuasa politik atau dengan kata lain tidak memberikan dukungan kepada pasangan Ganjar-Mahfud, sebagaimana diarahkan oleh Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) dan para Uskup di Indonesia.

Pada November lalu, KWI dan para Uskup di Indonesia sepakat untuk mendukung Ganjar-Mahfud. Selama beberapa bulan mengajak dan mengarahkan untuk untuk memilih pasangan ini.

Talk saya tidak akan kompromi dengan pendekatan politik anti demokrasi. Dimana calon penguasa masuk melalui kekuasaan hirarki, kemudian memaksakan kehendak atas nama agama dan Katolik untuk memenangkan pasangan ini.

Dalam hal lain saya patut dan tunduk pada tahbisan Episkopal para Uskup. Tapi dalam politik praktis ini, saya menentang keras.

Silahkan umat dan biarawan serta karyawati lain mengikuti pemuka agamanya. Tapi saya menolak dengan tegas dan akan berpuasa atas ajakan KWI, termasuk para uskup di tanah Papua untuk memilih Ganjar-Mahfud.

Puasa, iya puasa demokrasi politik praktis, terutama terhadap calon presiden dan wakil presiden. Sebuah puasa politik dengan mengikuti suara hati nurani.

Puasa politik

Puasa politik, ini adalah puasa politik yang bebas berasaskan pada konstitusi hati nurani. Bukan konstitusi hukum negara yang terkesan absurd dan memiliki tendensi busuk.

Tentu bebas dari intervensi pihak manapun. Sebabnya, saya berusaha sekuat kesadaran politik, agar tidak ingin menghianati suara hati nurani saya kelak, yang berdampak juga pada orang-orang kecil yang sekarat dan senasib dengan saya di republik ini.

Saya tidak mau memberikan legalitas demokrasi dan kekuasaan politik luhur saya kepada penguasa salah. Tidak pantas legalitas demokrasi politik saya diserahkan kepada calon penguasa yang kelak akan menindas, dan membunuh orang Papua dengan beragam bentuk kekerasan dan kejahatan laten negara. Bahkan dengan cara tidak manusiawi, seperti binatang liar di hutan belantara.

Sekali-kali saya tidak mau, apalagi kompromi guna memberikan suara yang mengandung legitimasi hak kodrati politis saya yang mulia dan luhur kepada calon presiden dan wakil presiden yang kejam dan buta pada empati kemanusiaan.

Sekali lagi, saya tidak menyesal kelak karena salah memberikan legalitas kekuasaan demokrasi saya kepada penguasa yang berpotensi memperlakukan orang kulit hitam di Indonesia paling timur itu sebagai binatang buruan kelas z. Sebua kelas yang tak diperhitungkan sama sekali.

Sebagai jalan tengah dari kemungkinan besar yang paling terburuk, saya lebih memilih untuk berpuasa politik. Puasa politik pada pemilihan presiden dan wakil presiden.

Puasa politik saya kali ini merupakan puasa demokrasi politik yang bebas dan demokratis. Semata-mata demi kebaikan bersama (bonnum commune) yaitu untuk meminimalisir menghindari kemungkinan terburuk pada lima tahun besok terhadap semua orang yang hidup di tanah Papua.

Fakta telah menunjukkan secara eksplisit. Bahwa selama 60-an tahun orang Papua hidup di Indonesia, tapi sama saja. Artinya, selama ini tidak pernah satu pun kasus yang dapat diselesaikan baik dan sampai tuntas, yang membuat orang Papua, termasuk saya bisa percaya.

Janji

Presiden ganti presiden sama saja. Orang sekaliber Jokowi berkuasa dan berkunjung sampai masa jabatan mau kiamat juga, tidak ada perubahan. Yang ada adalah janji di atas janji.

Mau bilang munafik, ya boleh. Mau katakan kurang ajar juga, saya kira tidak jadi soal. Karena cukup lama membuat orang Papua sakit hati dan menderita karena janji-janji manis.

Saya terlalu percaya bahwa tidak ada masa depan orang Papua di tangan Indonesia, termasuk para calon penguasa ini. Tidak ada jaminan di atas kertas hitam putih. Semua janji liar berputar pada poros ambisi dan nafsu kekuasaan politik. Bukan pada empati kemanusiaan.

Saya sangat menghormati suara hati nurani saya yang mengatakan bahwa kalau besok mereka para calon penguasa ini berkuasa, tidak akan menyelesaikan masalah Papua, melainkan akan membuat Papua terus membara dan makin membara.

Saya tidak mau lima (5) tahun besok orang Papua mati di bawah ketiak kekuasaan Anis-Muhaimin, Ganjar-Mahfud dan Prabowo-Gibran yang sewenang-wenang dan tidak manusiawi di hadapan Allah dan orang Papua.

Karena itu, jauh sebelumnya saya memilih berpuasa politik dengan memilih langkah demokratis yang sangat terukur bagi saya. Bahkan suatu pilihan demokratis untuk menghindari korban jiwa, yang akan menjadi sasaran akibat kekuasaan dan kebijakan pemerintah yang sewenang-wenang.

Tentu saja saya hanya memilih anggota DPRD kabupaten atau kota, dan provinsi serta DPR maupun DPD RI yang saya anggap akan menyuarakan keluhan dan harapan orang Papua. Tetapi sekali lagi tidak memilih (puasa politik) presiden dan wakil presiden.

Saya sadar, bahwa siapapun yang berkuasa, tidak akan pernah membunuh kekerasan dan kejahatan di Tanah Papua. Malah akan meningkatkan skalasi tindak pelanggaran HAM di berbagai sektor.

Besok Rabu tanggal 14 Februari 2024 merupakan puncak perayaan demokrasi politik di Indonesia. Pilihan ini merupakan wujud puasa demokrasi politik yang bersifat konkrit pada masa Prapaskah dan paskah tahun ini.

Puasa politik ini sama saja upaya puasa untuk menghindari kekerasan dan kejahatan di Papua besok. Saya tidak mau salahkan kepada kekuasaan pemerintahan besok karena fakta kekerasan dan kejahatan di Papua.

Karena itu sejak dini saya mengambil keputusan demokrasi politik praktis saya demi menghindari hal-hal yang tidak diinginkan kelak, terutama untuk kebaikan hak, harkat, martabat, nasib dan masa depan orang Papua, baik pribumi maupun migran Papua-Indonesia (Papinndo).

Guru Besar STF Driyarkara Jakarta Prof Magnis Suseno berkata: “Pemilu bukan untuk memilih yang terbaik, tetapi menghindari yang terburuk berkuasa.”

Tetapi saya ingin mengatakan bahwa “memilih untuk tidak memilih bukanlah jalan terbaik, akan tetapi menghindari yang terburuk berkuasa.”

Sekali lagi menghindari yang terburuk berkuasa sejak dini, supaya tidak menimbulkan kemungkinan terburuk atas nama kekuasaan besok.

Saya tidak mau mempermasalahkan kekuasaan besok karena salah memilih penguasa, karena itu sejak awal saya saya tidak memilih agar tidak mempersoalkannya lagi.

Banyak cara untuk berpuasa. Misalnya, puasa akan makanan, minuman, ujaran kebencian, iri hati, cemburu, seks bebas, minuman keras, tindak kekerasan dan kejahatan, pelanggaran HAM, dan lain sebagainya.

Tapi setelah KWI mengubah Hari Rabu Abu demi politik praktis, saya merupakan salah satu orang yang menentang dan memilih mengartikan puasa itu dalam politik tahun ini.

Pokok intensi puasa saya adalah puasa politik. Puasa politik terhadap pemilihan presiden dan wakil presiden RI. Saya berpuasa politik demi keselamatan orang Papua dan tanah Papua pada lima tahun besok.

Tinggalkan Komentar Anda :