Oleh Markus Haluk
Sekretaris Eksekutif Sekretaris Eksekutif United Liberation Movement for West Papua
NASIB orang Amungme digantungkan kembali dalam kebijakan yang bebas tanpa tanggungjawab yang pasti dari institusi yang sesungguhnya bertanggung jawab. Freeportlah yang harus dan wajib bertanggung jawab bukan melempar tanggung jawab kepada pihak ketiga. Masalah Nemangkawi dan Freeport adalah masalah kedua bela pihak selaku pemilik lahan (land owners) dan pemilik perusahaan (company owners).
Pasal 5, masyarakat setempat telah bersedia dan memperbolehkan dilanjutkannya panambangan di Ertsberg, Tenggoma (Tsinga) dan tempat-tempat lai termasuk Tembagapura dan sekitarnya yang semua itu dilandasi dan tidak bertentangan dengan ketentuan umum dalam perjanjian Freeport Indonesia Inc. dengan Pemerintah Pusat Republik Indonesia.
Isi pasal 5 ini kontradiktif dengan fakta dari peta wilayah proyek Freeport. Dalam peta tersebut dengan jelas daerah Tsinga, Niponogong, Nosolandop, Arwanop dan Opitawak yang letaknya di atas kampung Banti tidak masuk dalam peta proyek yang dibuat oleh Freeport sendiri. Sementara dalam pasal 5 dengan mudah Freeport menyatakan, “masyarakat setempat telah bersedia dan memperbolehkan dilanjutkannya penambangan di Tenggoma (Tsinga)”.
Dalam pasal ini pun dengan mudah Freeport menyatakan “dan tempat-tempat lain Tembagapura dan sekitarnya”. Freeport tidak menjelaskan dengan detail yang maksud dengan tempat-tempat lain Tembagapura. Seakan Freeport beranggapan tempat lain yang dimaksud tidak bernama dan bertuan. Seakan wilayah sekitar Tembagapura tidak di huni oleh penduduk Amungme.
Pasal 5 dengan jelas Freeport’ melakukan pembodohan dan pembohongan terhadap penduduk Amungme. Kata “bersedia dan memperbolehkan” yang sesungguhnya tidak mengandung makna setuju. Kata “bersedia” tidak dimaknai sebagai kata “setuju”, dan kata “diperbolehkan” tidak bermakna sebagai kata “diperuntukan”.
Permainan redaksi dalam pasal 5 ini merupakan bagian dari pembodohan hukum yang mendangkalkan inti sari dari sebuah produk perjanjian yang menggunakan bahasa Indonesia. Ini bagian dari skema perampasan tanah ulayat suku Amungme.
Pasal 6, hal-hal yang menyangkut keamanan dan ketertiban di wilayah Freeport sepenuhnya menjadi tanggung jawab Pos Polisi Republik Indonesia di Tembagapura terutama daerah- daerah tempat kerja dan tempat tinggal Freeport tidak boleh dilanggar oleh penduduk setempat.
Bagian penting dari pasal 6 ini adalah pernyataan “tempat kerja dan tempat tinggal Freeport tidak boleh dilanggar oleh masyarakat setempat.” Artinya, Freeport berniat membatasi ruang gerak orang-orang Amungme, yang notabene wilayah itu dilewati oleh orang Amungme ketika berpergian keluarmasuk lemba Waa dan Banti.
Orang Amungme dari Banti lazimnya berpergian ke Tsinga dan Nosolandop harus melewati Tembagapura dan selanjutnya menyusuri belantara Nemangkawi. Demikian halnya dahulu ketika berpergian berburu sampai di Mile 50 dekat perbatasan rendah Mimika.
Setidaknya memang jika dilarang maka harus Freeport membangun jalan darat tersendiri untuk orang Amungme yang melintas dari Tembagapura hingga Mimika. Freeport dengan terang-terangan mengisolasi orang Amungme di atas tanah ulayatnya.
Pasal 7, ketentuan-ketentuan yang merupakan materi perjanjian ini dipandang sebagai langkah pertama dalam rangka penyelesaian persoalan yang timbul antara Freeport Indonesia Inc. dengan masyarakat. Langkah berikutnya akan dilanjutkan pembicaraan langsung antara Pimpinan Pemerintah Daerah Propinsi Irian Jaya dengan Pimpinan Freeport Indonesia Inc.
Uraian pasal 7 ini menyatakan bahwa “perjanjian ini merupakan perjanjian awal serta masalah sengketa tanah ulayat kembali dilimpahkan kepada pemerintah Propinsi Irian jaya”.
Memang benar bahwa Nemangkawi dicuri tanpa persetujuan orang Amungme selaku pemilik sulung gunung Nemangkawi pada saat Kontrak Karya pertama ditandatangani oleh Pemerintah Indonesia dan Amerika, tanpa melibatkan orang Amungme sebagai pemilik tanah ulayat Nemangkawi.
Pasal 8, perjanjian ini disertai lampiran-lampiran yang dipandang sebagai rangkaian Naskah Perjanjian yang tidak dipisahpisahkan. Pasal 9, perjanjian ini berlaku sejak tanggal ditandatangani pihakpihak yang berkepentingan.Apa tujuan utama dari perjanjian January Agreement ini?
Perjanjian itu bagian upaya Freeport menyelamatkan diri dari tuntutan hukum internasional terhadap kejahatan kemanusiaan yang dilakukan Freeport kepada orang-orang Amungme. Freeport, melalui perjanjian ini, berhasil memaksa orang-orang
Amungme untuk memberikan izin atas pemanfaatan tanah untuk operasi penambangan. Dengan surat perjanjian ini, Freeport menunjukkan orang Amungme menyetujui operasi tambang dilakukan, padahal orang Amungme merasakan penderitaan dan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan Freeport dengan dukungan Pemerintah RI dan militer.
Mulai dari penggantar dan uraian dari isi perjanjian January Agreement tahun 1974, pasal 1 sampai dengan pasal 9, sama sekali Freeport dan Pemerintah Indonesia tidak menjabarkan subjek dari arti masyarakat yang dimaksud. Semestinya dinyatakan dengan jelas bahwa masyarakat yang dimaksud adalah Suku Amungme, pemilik tanah.
Artinya Freeport dan Pemerintah Indonesia menyatakan bahwa Gunung Nemangkawi yang sedang ditambang merupakan wilayah tanpa penghuni, padahal di sana orang-orang Amungme menjadi penduduk asli yang tinggal dan hidup di wilayah Nemangkawi. Siapa saja yang turut menandatangani perjanjian January Agreement?
Berikut daftar penandatangan January Agreement: Pihak PT. Freeport; R.L.West (Vice President/ Freeport General Manager); dan Pihak Pemilik Tanah Amungme. Pihak Amungme ditandatangani oleh 6 orang kepala suku dan dalam naskah tidak ditandatangani tetapi mereka semua cap jempol, yaitu Tuarek Narkime (Kepala Suku), Naimun Narkime (Kepala Suku), Arek Beanal (Kepala Suku), Pitaragome Beanal (Kepala Suku), Paulus Magali (Kepala Suku), dan Kawal Beanal (Kepala Suku).
Para Saksi Unsur Pemerintah yaitu A.W.Darwis, SH. (Kepala Direktorat khusus Pemerintah Khusus Propinsi Irian Jaya/Ketua Tim Pemerintah). Suratman, (Letkol Polisi As.5/ Binmas Komdak XXI/Irian Jaya); Mampioper, (Wakil Kepala Direktorat Ketertiban Umum Propinsi Irian Jaya); Drs. S.Wanma, (Kepala Sub Direktorat I/Tata Praja Dit Pemprop Irian Jaya); Iz. Manufandu, (BA Camat Mimika Barat); Costan Anggaibak, (Mahasiswa APDN Jayapura); Tom Beanal, (Anggota DPRD Pemerintah Tk.II Kabupaten Fak-Fak); dan Yos P.N. Renwarin, (Staf Kantor kecamatan Mimika Barat).
Para Saksi Unsur Freeport yaitu TL Vandegrift, H.H. Butt, J. Harsono, dan Ir Rorimpandey. Kemudian para Saksi Unsur Amungme yaitu Kagalwagol Beanal (Kelapa Suku Amungme), Arek Beanal (Kelapa Suku Amungme), Namumora Jamang (Kelapa Suku Amungme), dan Tuarek Narkime (Kelapa Suku Amungme).
Kemudian Tetdai Omaleng (Kelapa Suku Amungme), Naimun Narkime (Kelapa Suku Amungme), Pitarogome Beanal (Kelapa Suku Amungme), Emolegabi Bugaleng (Kelapa Suku Amungme), Nenembale Janampa (Kelapa Suku Amungme), dan Nigaki Narkime (Kelapa Suku Amungme).
Dalam salinan asli memperlihatkan bahwa para saksi hanya hadir pada tanggal 6 dan 7 Januari tahun 1974, sementara penandatanganan perjanjian January Agreement tercantum pada 8 Januari tahun 1974 yang ditandatangani pihak pertama Freeport dan pihak kedua Amungme. Sementara isi dari lampiran III tentang penjelasan pasal 4 naskah perjanjian ditandatangani pada 9 Januari tahun 1974. Lebih aneh lagi isi lampiran IV tentang penjelasan sebagai realisasi pasal 5 dan 6 naskah perjanjian keluar pada 11 Januari 1974 di Tembagapura.
Setelah naskah perjanjian January Agreement ditandatangani, Freeport menekan kembali dengan larangan. Naskah January Agreement ibarat surat BAP (Berita Acara Pemeriksaan) dan Lampiran IV sama dengan surat pernyataan tidak berbuat lagi tindakan kriminal atau sejenisnya. Lebih aneh lagi pada bagian lampiran IV dari naskah perjanjian hanya di cap jempol oleh pemilik gunung Nemangkawi, suku Amungme.
Masyarakat Amungme sesungguhnya memiliki kemampuan menghidupi dirinya sendiri dengan dukungan sumber daya alamnya. Tetapi, orang-orang Amungme tak bisa berbuat banyak ketika sumber daya alam dikuasai oleh Freeport, begitu juga Pemerintah Indonesia yang mengeruk hasil tambang ke pusat. Orang-orang Amungme menjadi korban kerakusan dan ketamakan penguasa Freeport dan pemerintah.
Sesungguhnya alam mestinya menjadi berkah bagi manusia, seperti orang-orang Amungme yang tinggal di atasnya, juga seluruh bangsa Papua, namun puluhan tahun Freeport beroperasi tak memberikan kesejahteraan dan kebaikan bagi kehidupan bangsa Papua. Bahkan, orang-orang Amungme terus menjadi korban penderitaan atas Freeport dan Pemerintah yang mengeksploitas kekayaan alam Papua.
Seorang tokoh Amungme yang pernah bertemu petinggi Freeport, almarhum Tuarek Narkime mengatakan, “Ado anakanak buah pandang yang di depan itorei (sebutan rumah adat laki-laki bagi suku Amungme) ini, saya jaga sejak belum berbuah. Setelah puluhan tahun buah pandan ini berbuah dan saat buahnya tua dan musim panen, saya selalu jaga di bawah pohon buah pandan ini namun, tidak pernah buah yang tua jatuh dibawah tanah dekat pohon pandan, saya tidak tahu kenapa dan sungguh aneh, karena itu, anak-anak mungkin. buah pandan yang tua ini buahnya jauh keatas ka?”
Ungkapan almarhum Tuarek Narkime menjadi cerita yang nyata hari ini dialami oleh Suku Amungme sebagai pemilik sulung Nemangkawi. Memang benar bahwa pada akhirnya semua hasil emas, tembaga, perak, uranium dan kapur dari tanah Amungsa dan hasilnya pun tidak pernah diketahui dengan pasti oleh suku Amungme terutama marga besar Magal dan Nartkime.
Tuarek Narkime memberikan gambaran masa depan generasi Amungme di atas hasil kekayaannya di tanah leluhurnya sendiri. Tepat bahwa, Amungme hanya mendapat hujan air mata darah bercampur debu batuan berlimbah di atas tanah emasnya namun hujan emas, perak, tembaga, uranium dan kapur terjadi di negeri asing/negeri orang. Selamat memperingati tragedi kejahatan pencaplokan hak ulayat suku Amungme-Mimike Bangsa Papua. (selesai)