Bencana Alam: Allah Tidak Berdaya? - Odiyaiwuu.com | Membahagiakan Kehidupan
OPINI  

Bencana Alam: Allah Tidak Berdaya?

Ben Senang Galus, penulis buku: Gereja, Kapitalisme, dan Penyaliban Kaum Lemah; tinggal di Yogyakarta. Foto: Istimewa

Loading

Oleh Ben Senang Galus

Penulis buku Gereja, Kapitalisme, dan Penyaliban Kaum Lemah; tinggal di Yogyakarta

INDONESIA adalah “negeri bencana”. Itulah ungkapan yang paling tepat untuk menggambarkan kondisi kita saat ini. Betapa tidak! Serangkaian tragedi bencana alam seperti: kekeringan, banjir pada musim hujan, gunung meletus, gempa bumi, tanah longsor, pesawat jatuh, kapal tenggelam, dan bencana sosial lainnya seperti kelaparan, kekurangan gizi, korupsi, dan sebagainya yang mendatangkan ratusan korban jiwa. Rangkaian bencana ini kemudian dipahami tidak saja sebagai persoalan sosial-ekonomi dan politik (human error, management error), namun menjadi pertanyaan teologis bagi agama-agama.

Tidak dapat dipungkiri bahwa timbulnya bencana selalu diikuti serangkaian pertanyaan baik filosofis-kosmologis maupun teologis. Pemikiran filosofis-kosmologis berusaha untuk mengaitkan berbagai fenomena alam dunia dengan “amarah para dewa” sebagai akibat dari ketidakseimbangan dalam tatanan kosmos. Mengingat bahwa setiap bencana alam selalu dipahami dan dijelaskan dalam kerangka berpikir semacam ini, maka tertutup kemungkinan bagi manusia untuk melihat bencana dari perspektif lain.

Sementara itu, di pihak lainnya secara teologis kekristenan lebih banyak melihatnya dari persoalan penyelenggaraan kekuasaan Ilahi yang tak terbatas (teodice), yang dalam teologi Islam disebut “takdir atau keputusan ilahi berdasarkan kemahakuasaanNya” atau “cobaan dari Allah” dan oleh karenanya harus diterima dengan penuh keikhlasan serta kepasrahan hati. Sementara itu, Hinduisme memahami bencana sebagai bagian dari proses menjadi tanpa akhir (samsara); Budhisme memahaminya sebagai dukkha, “bagian dari lingkaran kehidupan manusia: penderitaan, kehendak, perbuatan, akibat, yang dikenal sebagai “Empat Kebenaran Agung” yang merupakan struktur dasar dari penderitaan umat manusia. Dan supaya manusia dilepaskan dari penderitaan, maka ia harus dilepaskan dari kehendak yang akarnya terletak dalam eksistensi manusia. Masalahnya terletak di sini: bahwa paradigma berpikir serta keyakinan semacam ini secara umum menempati posisi yang sentral dalam komunitas sosial maupun agama menghadapi posisi dilematis sekaligus memengaruhi sikap dan perilaku terhadap bencana.

Ada sejumlah tema krusial yang perlu untuk ditelaah secara proporsional dan tentunya dapat dipertanggungjawabkan baik secara teologis maupun dari perspektif ilmu pengetahuan empiris. Pertama, Allah yang berdaulat namun yang “tidak berdaya” mengatasi bencana? Dan kedua, bencana adalah bukti dari “ke-alam-an” alam-semesta. Ambivalensi, atau lebih tepatnya dialektika berpikir semacam ini, memberikan implikasi yang bersifat imperatif  bagi agama-agama, yakni tuntutan adanya pemahaman yang bertanggung jawab mengenai teologi agama-agama pada satu pihak, serta kearifan lokal (kontekstual) pada pihak lainnya, bagi usaha-usaha merekonstruksi teologi dialektis tentang bencana.

Dengan kata lain, bahwa teologi bencana yang kita maksudkan mesti direkonstruksi dalam kerangka dialektika ini. Kendatipun  pendekatan dialektis  ini bukan merupakan solusi akhir, namun menurut saya, setidak-tidaknya menolong kita untuk   tidak terlalu gegabah  menghakimi  Allah atau sebaliknya manusia saja sebagai penyebab segala bencana. Dengan pendekatan dialektis ini pun, teologi dan agama-agama diajak untuk memahami sebab-musabab dan implikasi dari bencana secara lebih proporsional dan seimbang.

Allah tidak berdaya?

Pertama-tama mesti ditegaskan bahwa sudah menjadi kelaziman, hakikat Allah selalu dilihat dari dua perspektif, yakni Allah Pencipta yang berdaulat atas segala ciptaan, namun demikian pada saat yang sama Allah dikesankan sebagai yang membiarkan penderitaan menimpa umat manusia. Hal tersebut memperoleh penekanan yang sedemikian kuat dalam pandangan beberapa teolog yang secara sadar mengangkat kembali pertanyaan-pertanyaan: Jika Allah itu Mahakuasa, maka persoalannya adalah mengapa dalam kemahakuasaan-Nya, Allah justru sama sekali tidak berdaya untuk mengatasi penderitaan atau setidak-tidaknya meluputkan manusia dari bencana?

Dalam kekristenan, para teolog selalu bertolak dari peristiwa penyaliban Yesus sebagai puncak penderitaan Allah sekaligus bukti ketidakberdayaan Allah untuk menyelamatkan diri-Nya sendiri. Rujukan yang paling pas menganatomi persoalan dialektis ini ialah Hendrik Berkhoff dan Kazoh Kitamori. Berangkat dari kata-kata Yesus Eli, Eli, lama sabachtani, Berkhoff, misalnya, menyatakan bahwa kedaulatan Allah adalah sebuah fakta iman yang tak terbantahkan, namun serentak dengan itu kata-kata itu sesungguhnya hendak mengungkapkan ketidakberdayaan dari pihak Allah untuk menolong Putra-Nya sendiri.

Peristiwa salib, menurut Berkhoff secara jelas telah membuktikan bahwa Allah yang Mahakuasa menjadi Pribadi yang sama sekali tidak berdaya ketika menyaksikan PutraNya disalibkan. Namun ia melanjutkan bahwa justru di sinilah Allah yang Mahakuasa mengidentifikasikan diriNya dengan manusia yang tidak berdaya untuk membebaskan dirinya dari berbagai macam penderitaan.

Sementara teolog Jepang Kitamori, yang mengemukakan gagasannya mengenai Allah yang menderita, mengutip kata-kata Luther da strydet Gott mit Gott (di sanalah Allah bergumul dengan Allah). Menurutnya peristiwa Salib —di mana Anak Allah mati— bukanlah sesuatu yang terjadi di luar kehendak Allah. Menurut Kitamori, justru pada salib, Allah mematikan diriNya dengan demikian menyelesaikan masalah kematian kita. Mengacu pada teks Ibrani 2:10, ia berpendapat bahwa penderitaan memang sesuai (Yun: eprepen) dengan hakikat Allah sendiri dan yang sekaligus memberikan kepada kita kunci, kendatipun sifatnya ajaib dan misterius, untuk memahami bahwa penderitaan adalah bagian dari hakikat Allah. Penderitaan di salib, menurut Kitamori adalah bagian dari keberadaan-Nya yang kekal.

Dari perspektif inilah perlu disimak juga pandangan teolog India MM Thomas. Ia memahami Allah sebagai pribadi yang hadir dalam kesusahan dan kesengsaraan manusia melalui wajah Kristus yang menangis. Thomas dengan keras menolak gagasan mengenai pemahaman statis tentang Providentia Dei (Pemeliharaan Allah —yang menganggap manusia bahwa Allah telah menentukan nasib manusia sekali untuk selama-lamanya— serta himbauannya akan suatu gagasan Providentia yang dinamis, haruslah dipandang dalam kerangka “Allah yang mengikutsertakan diri-Nya dalam penderitaan manusia”). Dengan demikian, maka benang merah dari keseluruhan gagasan di atas ialah bahwa  Allah adalah Dia yang turut serta mengambil bagian dalam penderitaan manusia; itulah hakikat ke-Allah-an-Nya, sebab jika tidak demikian, maka Dia bukan Allah.

Teologi rekonstruktif

Apakah betul semua bencana; gempa, tsunami, banjir, tanah longsor, dan busung lapar merupakan siksaan Tuhan akibat perbuatan maksiat yang telah dilakukan oleh masyarakat Indonesia? Tentu saja konsepsi teologis seperti ini tidak bisa menjelaskan sepenuhnya tentang adanya keterkaitan bencana dengan siksaan, meskipun konsepsi ini pernah terjadi pada masa Nabi Nuh yang menyiksa umatnya dengan banjir, Nabi Luth yang menghancurkan umatnya dengan hujan batu, dan Nabi Musa yang menghukum Fir’aun dan pengikutnya diterjang gelombang laut. Itulah sejarah Nabi-nabi yang menghukum umatnya dengan kebinasaan akibat mereka tidak mau mengikuti seruan para Tuhan.

Jadi, teologi yang selama ini berkembang di masyarakat lebih cenderung menyalahkan diri mereka sendiri yang tidak diimbangi dengan pertimbangan rasional tentang apa sesungguhnya yang menyebabkan terjadinya bencana dan bagaimana melakukan pencegahan terhadap banyaknya korban atas setiap bencana. Memang, introspeksi dalam ajaran agama adalah sesuatu yang sangat dianjurkan, tetapi instrospeksi itu harus diimbangi dengan pertimbangan rasional agar tidak cenderung menyalahkan diri sendiri, yang berakibat pada proses recovery sosial tidak berjalan dengan baik.

Karena itulah, teologi yang mesti dibangun setelah sekian banyak bencana yang terjadi adalah teologi rekonstruktif, yang mencoba memahami gejala alam sebagai sesuatu yang berjalan di dalam hukum alam sekaligus mencoba memahami apa kehendak Tuhan. Kombinasi antara pertimbangan rasional dengan teologis inilah yang nantinya akan melahirkan sikap instrospeksi terhadap apa yang terjadi sekaligus mencari jalan keluar atas terjadinya masalah.

Inilah yang seharusnya menjadi pijakan dalam memahami peristiwa demi peristiwa yang melahirkan rasa pedih, penderitaan, dan kesedihan akibat bencana yang amat dahsyat. Maka, teologi sekarang ini mesti dibangun kembali (rekonstruksi) dalam konteks yang lebih komperehensif sehingga dapat menjawab problem umat manusia dalam bingkai  yang lebih manusiawi dan konstruktif. Rumusan teologis seperti ini dapat menjadi rancangan bagi masa depan umat manusia yang terhindar dari malapetaka dan bencana.

Dalam konteks bangsa Indonesia yang telah dilanda berbagai bencana, teologi rekonstruksi juga menyediakan argumen-argumen teologis untuk bangkit kembali dari keterpurukan untuk menatap masa depan yang baru. Bukankah masa depan kita tidak akan diserahkan kepada orang-orang lain? Sebab, masa depan kita justru sangat ditentukan oleh kegigihan untuk bangkit, melupakan masa lalu demi menyongsong masa depan yang lebih baik.

Sudah bisa diduga, dalam bencana besar keterangan para ahli  tidak dianggap memadai untuk memuaskan dahaga keingintahuan manusia untuk tahu lebih dalam tentang penyebab bencana.  Pada titik inilah spekulasi-spekulasi teologis berlangsung dengan begitu liarnya. Intinya, telah muncul rumusan teologi tentang bencana alam (tidak murni buatan manusia)) yang pada akhirnya tetap terjebak di dalam dua perangkap teologis yang mengharukan: entah mengambinghitamkan korban bencana sendiri ataupun menyalahkan Tuhan yang dianggap sebagai pihak yang tak pandang ampun dan tak kenal belas kasihan menghajar hamba-hamba-Nya.

Kecenderungan itu rupanya juga bagian dari pandangan teologi masyarakat kita yang cenderung fatalistik. Ketika rumusan teologis yang dikemukakan mengasumsi bahwa bencana alam di Indoensia adalah refleksi dari kemurkaan Tuhan, di situ secara eksplisit sudah terkandung nada-nada yang menyudutkan dan menyalahkan rakyat yang menjadi korban (blaming the victims). Sebaliknya, ketika bencana ini dianggap sebagai ujian Tuhan untuk umat manusia yang Dia cintai, sebagaimana yang dikatakan sejumlah kitab suci, secara implisit kita juga sedang terlibat dalam proses menyalahkan Tuhan (blaming God). Kedua kecenderungan tadi tentu bukanlah rumusan teologis yang bisa dianggap elegan dan ideal tentang bencana alam. Untuk itulah, kita diajak membuat rumusan teologis yang tidak gegabah dan potensial menambah luka dan duka rakyat Indonesia yang mengalami bencana, sekaligus berpandangan fair terhadap Tuhan sendiri. (Bagian pertama dari dua tulisan)

Tinggalkan Komentar Anda :