Pluralisme dan Politik Identitas - Odiyaiwuu.com | Membahagiakan Kehidupan
banner 728x250

Pluralisme dan Politik Identitas

  • Bagikan
Benidiktus Bame, mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Cenderawasih. Foto: Istimewa

 1,162 Total Pengunjung,  8 Pengunjung Hari Ini

Oleh Benidiktus Bame

Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Cenderawasih

TAHUN 1970-an, muncul politik identitas di Amerika Serikat. Isu itu menjadi daya tarik bagi ilmuwan sosial di negeri Paman Sam kala itu. Politik identitas melebur dalam masalah minoritas, jender, feminisme, ras, etnisitas, dan kelompok-kelompok sosial lain yang merasa terpinggirkan dan teraniaya. Dalam perkembangan selanjutnya cakupan politik identitas menyasar pula ruang privat lainnya seperti agama, kepercayaan, dan aneka ikatan kultural.

LA Kauffman, penulis dan jurnalis kenamaan kemudian menjelaskan dengan baik term hakikat politik identitas. Kauffman, penulis dan jurnalis kenamaan yang concern dengan sejarah dan isu gerakan hak-hak sipil mengendus muasal politik identitas pada gerakan mahasiswa anti-kekerasan yang dikenal dengan the Student Nonviolent Coordinating Committee (SNCC). SNCC merupakan sebuah organisasi gerakan hak-hak sipil di Amerika Serikat awal 1960-an.

Siapa sebenarnya yang pertama kali menciptakan istilah politik identitas, masih sumir. Politik identitas juga terlihat dalam gerakan Martin Luther King dan uskup-uskup Katolik di Amerika, yang lebih didorong oleh alasan atau argumen keadilan sosial, bukan urusan agama.

Dalam konteks Indonesia, politik identitas juga tak akan absen dalam realitas sosial mengingat merupakan negara kepulauan paling luas di muka bumi. Jumlah pulaunya lebih dari 17.000 buah, etnisitas, sub-kultur, dan bahasa lokalnya ratusan. Bahkan di Papua saja misalnya, tidak kurang dari 252 suku dengan bahasa khasnya masing-masing. Dari sisi keragaman budaya, jika Indonesia mampu bertahan dalam tempo lama merupakan mujizat sejarah yang bernilai tinggi.

Nalar historis

Dalam pandangan penulis, apa yang disebut sebagai politik identitas yang sering muncul ke permukaan sejarah modern Indonesia harus ditangani dengan bijak. Ia (politik identitas) selain ditangani dengan bijak oleh nalar historis, perlu pula dipahami dengan ruang batin bening dan cerdas.

Saat Proklamasi, jumlah penduduk Indonesia adalah sekitar 70 juta. Saat ini, di awal Abad ke-21 sudah menyentuh sekitar 235 juta. Melambung tiga kali lipat sejak 1945 dan muncul sebagai bangsa terbesar keempat di dunia sesudah Cina, India, dan Amerika Serikat.

Demokrasi di Indonesia sendiri pada dasarnya terus berdinamika dengan persoalan keanekaragaman yang kerap menjadi pemicu disharmoni antar kelompok. Perbedaan atas dasar keragaman telah tercatat dalam sejarah sebagai faktor utama munculnya konflik, terutama konflik beraroma suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).

Konflik-konflik tersebut semakin berkembang bukan saja sebagai konflik antar satu identitas. Konflik bahkan telah memasuki babak baru antar identitas. Perluasan konflik antar identitas tersebut seringkali kita jumpai sebagai bagian dari proses demokratisasi, termasuk “demokrasi liar” sekalipun.

Oleh karena itu, tahun 2024 mulai tercium melalui media, komunikasi dan diskusi yang sering ditemui bersama generasi melenial di sejumlah kota di tanah Papua Jayapura menjelang Pemilu 2024, pesta demokrasi paling akbar dalam perjalanan sejarah bangsa.

Pada momentum itu, para politisi dan rakyat menentukan sikap politik atas pemimpin politik yang akan mengabdi tak hanya di bidang eksekutif tetapi juga legislatif setelah kekuasaan ada dalam genggamannya. Karena itu, jauh-jauh hari, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Polhukam) Prof  Mahfud Md mengingatkan bahwa dalam politik tak ada lawan dan kawan yang abadi.

Dalam politik hanya kepentingan yang abadi. Demokrasi sudah pasti memberikan kesempatan sepenuhnya kepada rakyat untuk menentukan hak politiknya. Tak ada pihak atau siapapun yang mengintervensi tiap orientasi pilihan rakyat orang per orang maupun kelompok menentukan pemimpinnya.

Politik identitas menjelang Pemilu 2024 suka atau tidak suka, sudah terasa di tanah Papua. Perbedaan pendapat, egoisme, dan skenario konflik di mana-mana terjadi dengan munculnya politik identitas. Rakyat jadi korban politik identitas.

Suara rakyat yang merupakan suara Tuhan (vox populi vox Dei) masih jadi jauh. Para politisi di tanah Papua harus sadar dan berefleksi bahwa cara kotor memainkan politik identitas merebut kekuasaan bakal membelenggu rakyatnya.

Mencegah terburuk

Dalam pandangan pengajar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara (STF) Prof Franz Magnis Suseno, SJ, Pemilu bukan untuk memilih yang terbaik, tetapi untuk mencegah yang terburuk berkuasa.

Indonesianis asal Jerman ini menegaskan, pemimpin terburuk jangan berkuasa karena mereka tidak akan memajukan negeri ini. Karena itu, rakyat wajib mencegah yang terburuk bekuasa lalu beralih untuk ke pemimpin yang bersih dan sungguh melayani rakyat secara adil dan bermartabat.

Politik identitas sudah menjadi strategi jitu yang dimainkan segelintir elit politik di Papua yang sedang berkuasa dalam memecah bela persaudaran yang sudah lama dirawat dan dibangun secara kolektif melalui budaya dan agama. Tahapan kehancuran sudah terlihat melalui konflik di Papua.

Sepintas, damai di Bumi Cenderawasih sedang hilang akibat konflik tanpa henti. Gelisah, resah, takut, dan trauma masih mengisi ruang batin sebagian anak bangsa di tanah Papua. Menjelang Pemilu 2024 adalah waktu yang tepat mengetuk batin elit dan politisi agar ada empati dalam ruang batinnya.

Empati itu perlu dan wajib ada mengingat di sebagian kampung dan distrik di berbagai kabupaten masih ada saudaranya yang tengah mengungsi. Mari, arahkan mata hati ke Intan Jaya, Aifat Timur, Nduga, Yahukimo, dan Pegunugan Bintang lalu ingat saudara dan saudarimu yang tengah mengungsi akibat konflik.

Karena itu, politik identitas sejauh mungkin dihindari. Hal ini didasari sejumlah hal. Pertama, untuk menjaga keberlangsungan Pemilu yang bermartabat di Papua, para politisi harus menihilkan isu suku, agama, ras, dan antargolongan.

Kedua, generasi milenial di tanah Papua harus terlibat untuk ikut menjaga keamanan saat Pemilu berlangsung. Juga mendorong ide-ide kreatif bagi para penyelengara negara bekerja sesuai regulasi demi suksesnya Pemilu di tanah Papua secara bermartabat.

Ketiga, semua elemen perlu menjaga keutuhan dan rasa solidaritas sesama anak bangsa di tanah Papua meski berbeda pilihan partai maupun kiblat politik. Mengabaikan persaudaraan dan alpa menjegal politik identitas tak produktif lalu menggantinya dengan politik yang bermuara pada kebaikan umum, senjakala wajah politik di antara sesama anak honai bakal muncul di tanah Papua, potongan surga yang jatuh ke bumi.

Tinggalkan Komentar Anda :

banner 336x280
  • Bagikan