577 Total Pengunjung, 4 Pengunjung Hari Ini
Oleh Fidelis Regi Waton
Pengajar Filsafat di Sankt Augustin, Jerman
DENGAN langgam sarkastis, Winston Churchill menandaskan: ”democracy is the worst form of government—except for all the others that have been tried” (demokrasi adalah bentuk pemerintahan terburuk, kecuali untuk segala hal lain yang telah dicoba). Sinismenya dilatarbelakangi kekecewaan pribadi.
Sebagai perdana menteri Britania Raya, ia dilengserkan beberapa bulan setelah Inggris dan sekutunya memenangi Perang Dunia II. Churchill sangat terpukul. Baginya, demokrasi tak respek terhadap prestasi masa lalu dan reputasi figur. Di seberang pengalaman pahit, pernyataan Churchill bisa dieksplorasi lebih substansial.
Demokrasi bukanlah sistem politik sempurna, tetapi alternatifnya tak lebih baik hingga kini. Tentu saja demokrasi terperangkap interpretasi majemuk dan diametral, bahkan paradoksal. Menurut konstitusi sosialisnya, China merupakan kediktatoran demokrasi rakyat. Vladimir Putin nakhoda demokrasi terpimpin. Pihak berhaluan radikal, otoriter, dan populis acap menampilkan diri sebagai pembaru demokrasi.
Dalam negara berpayung demokrasi, belum lenyap praktik main hakim sendiri, slogan rasistis-diskriminatif dan represi atas kelompok minoritas. Di hadapan demokrasi, setiap tindakan kekerasan adalah kejahatan. Segala instrumen hukum dan keamanan wajib dikerahkan untuk menangkal. Penegakan stabilitas dengan menebar ketakutan bukan iklim kondusif bagi pertumbuhan dan kesejahteraan.
Aroma demokrasi juga dikeruhkan tabiat korupsi dan parpol yang dikendalikan dinasti (finansial dan keluarga). Demokrasi berubah jadi arena konglomerat dan oligarki. Dari sana sangat sulit diproduksikan kebijakan politik dengan legitimasi demokrasi otentik.
Demokrasi tampil bagaikan agen interes partikular, ditunggangi lobi kepentingan ekonomi. Warga dibungkam secara halus berupa donasi. Pertanyaan sentral muncul: mengapa sistem demokrasi kehilangan taring untuk mengeliminasi parasit dan kekeruhan ini?
Demokrasi bukan sebatas implementasi hak memilih dan dipilih serta konstruksi trisula kewenangan (eksekutif, legislatif, yudikatif). Bagian intrinsik demokrasi mencakup supremasi hukum, perlindungan minoritas, parpol yang kuat dan independen, kebebasan pers dan berpendapat, peran masyarakat sipil, dan pemberantasan korupsi. Membangun demokrasi butuh waktu. Inggris didera perang saudara yang berpuncak pada eksekusi raja oleh parlemen. Perancis melewati revolusi berdarah pemenggalan para aristokrat.
Fakta tragis menuju demokrasi ini tak boleh diteladani. Ia memaparkan bahwa demokrasi tidak jatuh dari langit. Demokrasi bukan peristiwa, lebih sebagai proses dengan aneka gundukan sepanjang jalan. Efektivitas dan adekuasi demokrasi terus melewati pisau triar and error.
Paham dan sikap demokratis bukanlah bawaan sejak lahir. Prinsip demokrasi harus dipelajari. Demokrasi mesti diajarkan dan dialami, baik di ruang privat maupun publik. Pendidikan politik dan kewarganegaraan di rumah, lembaga pendidikan, dan masyarakat, menyadarkan generasi muda akan struktur dan tata sosial- demokratis. Demokrasi akan mati jika warga hanya berperan sebagai pengunjung pasar dan konsumen.
Demokratisasi komprehensif
Filsuf AS, John Dewey, termasuk pengkritik demokrasi representatif. Menurut Dewey, demokrasi politik hanyalah mesin institusional yang tak cukup mengakomodasi esensi demokrasi. Dewey hendak mengegolkan gagasan demokrasi sebagai way of life (cara hidup). Baginya, konsep demokrasi bukanlah soal bentuk pemerintahan, melainkan pengakuan sadar akan kesetaraan sosial dan kebebasan.
Pandangan demokrasinya berakar pada humanisme sosial, yang mengasumsikan penentuan nasib sendiri dan perjuangan kepentingan umum.
Ia mengampanyekan demokratisasi menyeluruh dan komprehensif di semua bidang kehidupan. Demokrasi wajib dialami dalam kehidupan sehari-hari. Proses pembelajaran demokrasi niscaya dengan latihan praktis dalam solidaritas dan partisipasi kooperatif.
Koeksistensi dan interaksi sosial mencerminkan apakah demokrasi diterima dan dihayati. Demokrasi tidak hanya diekspresikan di bibir, tapi harus tecermin dalam kesediaan berpikir dan bertindak demokratis. Demokrasi didasarkan pada cara hidup manusia dan perwujudan politiknya.
Dalam karyanya, Democracy and Education (1916), Dewey memetakan korelasi strategis pengalaman pedagogis dan demokrasi. Fondasi demokrasi terletak pada pendidikan yang berkualitas. Pendidikan berkontribusi besar dalam membudayakan demokrasi. Lembaga pendidikan merupakan filter menuju masyarakat yang lebih baik dan dicerahkan. Hidup bersama di masyarakat dan pertukaran publik tak mungkin tanpa warga yang berpendidikan.
Demokrasi tidak hanya diekspresikan di bibir, tapi harus tecermin dalam kesediaan berpikir dan bertindak demokratis. Atas tesis ini, patut dicari model dan tujuan pendidikan publik dalam demokrasi. Pendidikan tradisional dengan jalan satu arah tanpa kolaborasi aktif peserta didik sungguh kontraproduktif. Pendidikan yang dipahami sebagai hafalan pengetahuan abstrak dan norma-norma justru menghalangi pengakaran demokrasi.
Pendidikan mesti berkorespondensi dengan kehidupan konkret. Belajar formal dan informal harus proporsional. Kemandirian berpikir dan keterlibatan inovatif para murid dalam memecahkan persoalan mesti digalakkan. Pendidikan bukan hanya melayani demokrasi. Ia harus demokratis. Demokrasi mesti dipromosikan dan dihidupkan agar bisa bertumbuh budaya demokrasi. Pendidikan demokrasi bukan sebatas pengetahuan tentang teori demokrasi.
Demokrasi hanya hidup melalui belajar berdemokrasi di segala pranata sosial juga pada waktu luang. Dewey bervisikan democracy is radical, berakar dalam cara dan sikap hidup. Demokrasi membutuhkan insan demokrat.
Sumber: Kompas, 1 Maret 2023