Pelajar dan Mahasiswa Papua Selatan di Yogyakarta Tolak Perusahaan yang Beroperasi di Wilayah Adat Auyu - Odiyaiwuu.com | Membahagiakan Kehidupan
DAERAH  

Pelajar dan Mahasiswa Papua Selatan di Yogyakarta Tolak Perusahaan yang Beroperasi di Wilayah Adat Auyu

Para pelajar dan mahasiswa asal wilayah adat Anim-Ha, Provinsi Papua Selatan kota studi Yogyakarta usai menyatakan sikap mendukung Frengky Woro dan masyarakat adat menolak kehadiran berbagai korporasi raksasa yang melakukan aktivitas di wilayah hutan adat Auyu, Papua Selatan. Foto: Istimewa

Loading

YOGYAKARTA, ODIYAIWUU.com — Para pelajar dan mahasiswa asal wilayah adat Anim-Ha baik dari Kabupaten Merauke, Boven Digoel, Asmat, dan Mappi, Provinsi Papua Selatan yang tengah menimba ilmu di Yogyakarta menyatakan sikap mendukung Hendrikus Frengky Woro dan masyarakat adat menolak kehadiran PT Indo Asiana Lestari (IAL) melakukan aktivitas di wilayah hutan adat Auyu.

“Kami pelajar dan mahasiswa kota studi Yogyakarta wilayah adat Anim-Ha menolak perusahaan-perusahaan yang beroperasi di wilayah adat Anim-Ha,” ujar Koordinator Pelajar dan Mahasiswa Wilayah Adat Anim-Ha kota Studi Yogyakarta Esau Kaize dan Wilhelmus Kerok melalui keterangan tertulis yang diterima Odiyaiwuu.com dari Yogyakarta, Sabtu (15/7).

Para mahasiswa dan pelajar juga meminta berbagai pihak untuk menghentikan kriminalisasi terhadap masyarakat adat, aktivis lingkungan maupun kegiatan kemanusiaan. Termasuk menghentikan segala bentuk perampasan tanah adat di wilayah adat Anim-Ha.

Para mahasiswa dan pelajar menyebut, perjuangan Frengky, Kepala Marga Woro sekaligus pemilik tanah adat Suku Auyu dan masyarakat adat Auyu menolak kehadiran perusahaan sawit melakukan aktivitas di wilayah hutan adat tersebut tergolong lama.

Sejak 2013, gelombang penolakan sudah dilakukan warga masyarakat adat saat perusahaan Tujuh Menara menerabas kawasan adat di Kampung Anggai, Distrik Jair, Kabupaten Boven Digoel. Sikap penolakan terkait kehadiran sejumlah korporasi raksasa tersebut berlanjut hingga saat ini.

Melalui organisasi masyarakat adat Auyu yang dibentuk warga menggelar aksi perlawanan terhadap sejumlah korporasi perusahaan yang masuk di wilayah adat mereka. Penolakan warga mulai muncul saat pihak IAL masuk dan melakukan sosialisasi di Kampung Ampera, Distrik Mandobo, Boven Digoel pada (19/8 2017).

Tahun 2022, Frengky mendatangi Kantor Dinas Lingkungan Hidup dan Pertanahan Boven Digoel guna menanyakan izin-izin apa saja yang telah dikeluarkan untuk perusahaan tersebut. Namun, dinas tersebut beralasan, yang memiliki wewenang mengeluarkan izin adalah Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PMPTSP) Provinsi Papua.

Frengky didampingi kuasa hukumnya, menyambangi DPMPTSP Papua. Namun, usahanya tak menemui titik terang. Frengky kemudian menggugat Kepala Dinas PMPTSP Papua melalui Pengadilan Tata Usaha Negara.

Alasannya, terbitnya SK Kepala Dinas DPMPTSP Papua Tengah Nomor 82 Tahun 2021 tentang Kelayakan Lingkungan Hidup Rencana Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit dan Pabrik Pengolahan Kelapa Sawit berkapasitas 90 Ton TBS/jam seluas 36.096,4 hektar oleh IAL di Distrik Mandobo dan Fofi, Boven Digoel pada 2 November 2021.

Gugatan dilayangkan dengan alasan Frengky, selaku pemilik tanah yang mendiami hutan adat di Kali Mappi, Surat Keputusan Kepala Dinas DPMPTSP Papua selaku tergugat berbenturan dengan peraturan perundang-undangan.

Surat Keputusan tersebut juga dipandang menabrak serta mengabaikan hak masyarakat adat untuk memberikan persetujuan bebas sejak kelahiran Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus (Otsus) Provinsi Papua.

Alasan lain yaitu objek gugatan menggunakan izin lokasi kadaluarsa, menggunakan dokumen analisis dampak lingkungan (amdal) bermasalah karena tanpa melibatkan marga Woro dan masyarakat luas dan berpotensi mengancam hilangnya hak masyarakat adat atas sumber kehidupannya.

Para pelajar dan mahasiswa juga menegaskan, pada 17 Mei 2023, Yayasan Pusaka Bentala Rakyat dan Walhi mengajukan gugatan intervensi di PTUN Jayapura dalam perkara Frenky melawan Kepala Dinas PMPTSP Papua atas terbitnya Nomor 82 Tahun 2021.

“Kami mendesak hakim untuk melihat secara jelih alat bukti yang dihadirkan masyarakat adat Auyu sebagai bukti valid dari masyarakat adat. Kami juga mendesak Pemerintah Provinsi Papua melalui dinas terkait transparans terkait semua perijinan yang telah dikeluarkan perusahaan-perusahaan kelapa sawit di tanah Papua. Dokumen itu bukan rahasia tetapi milik publik,” ujar Kaize dan Kerok.

Para pelajar dan mahasiswa juga mengingatkan Pemprov Papua dan Pemprov Papua Selatan tidak menerbitkan ijin secara sepihak terhadap korporasi yang berniat masuk dan beroperasi di atas tanah adat masyarakat Papua. Mereka juga mendesak Keuskupan Agung Merauke menghentikan seluruh bentuk kerja sama dengan perusahaan yang berpotensi merusak alam dan lingkungan di tanah adat Anim-Ha. (Ansel Deri/Odiyaiwuu.com)

Tinggalkan Komentar Anda :