Judul: Memberdayakan Orang Papua
Penulis : Wartawan Suara Perempuan Papua
Pengantar & editor : Stanley
Desain & tata letak : Bimbim
Foto sampul : www.fragmentsphotography.co.uk
Foto isi : Dokumentasi Tabloid Suara Perempuan Papua
ISBN : 979 8933 52 4
Penerbit :
Suara Perempuan Papua &
Institut Arus Informasi
Jalan Utan Kayu No. 49
Jakarta, 13120
Cetakan 1 : Agustus 2006
Tebal : xxx + 398 hlm
ADA banyak anak miskin harus hidup di jalanan. Mereka menjadi korban eksploitasi dan kekerasan. Keluarga dan negara tak mengurus mereka. Angka menunjukkan, jumlah mereka terus membubung. Bagaimana negara seharusnya bertindak? Adakah hukum yang melindungi anak-anak jalanan? Sejauhmana upaya yang telah dilakukan? Apakah mereka adalah sebagian dari wajah buruk generasi masa depan Papua?
Deretan pertanyaan retoris dan penggalan paragraf pertama tersebut muncul paling awal artikel ‘Mereka yang Hidup di Jalanan’ dalam Memberdayakan Orang Papua: Laporan Utama Tabloid Suara Perempuan Papua 2004-2005. Buku itu terbit atas kerjasama tim Suara Perempuan Papua di Jayapura dan Institut Arus Informasi (ISAI) Jakarta.
Buku berisi laporan utama Suara Perempuan Papua tersebut meski terbit 16 tahun lalu, namun beragam isu dalam seluruh dimensi sosial di tanah Papua, masih menemukan ruangnya dan memerlukan keterlibatan semua elemen. Isu dan tema senantiasa menyertai dalam pawai dan dinamika pembangunan Papua —meminjam potongan syair Aku Papua, lagu yang dipopulerkan penyanyi legendaris Franky Sahilatua— surga kecil (yang) jatuh ke bumi.
Buku tersebut juga bukan sekadar kerja keras para jurnalis semisal Angel Flasy, Askari Mallawas, Cunding Levi, Oktovianus Madai, Yosiasi Wambraw dengan editor Kristian Ansaka dari tabloid tersebut mengendus tema tunggal. Aneka isu itu juga menjadi bagian tanggungjawab sosial pers sebagai salah satu pilar demokrasi.
Beragam isu tersebut serta merta mengingatkan arti penting tanggungjawab bersama pemerintah, baik pusat maupun daerah masyarakat, dan semua pemangku kepentingan melihat dan mencari alternatif solusi bersama sesuai bidang tugas dan tanggungjawab soaial. Apalagi, saat ini Papua mengoleksi tiga daerah otonom baru provinsi, yaitu Papua Selatan, Papua Pegunungan, dan Papua Tengah.
Malah lebih dari itu. Bidikan mata pena para kuli disket itu menyentuh soal melambungnya kasus pemerkosaan, pembangunan tanpa perspektif gender, aborsi, (posisi) perempuan dalam agama, Papua sebagai daerah merah HIV/AIDS, bisnis seks, perempuan korban pelanggaran HAM hingga janji surga calon kepala daerah, independensi Majelis Rakyat Papua (MRP), dan aneka tema krusial lainnya.
Tema-tema itu, sudah pasti mengalami perubahan seiring berjalannya waktu dan langkah pemerintah mengurainya dengan anggaran jumbo sesuai perintah Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. UU tersebut telah pula diubah menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.
Langkah cerdas Suara Perempuan Papua yang mengabadikan laporan para jurnalis mewujud buku hemat saya tentu juga berpihak pada pemahaman hakikat fungsi dasar pers sebagai pengolah, penyaji, dan penyebar informasi. Tentu muarahnya ialah memberi ingatan kepada pemegang mandat kekuasaan peka atas berbagai isu yang tengah dialami lalu bergerak meresponnya.
Papua dari dulu tak sekadar sebuah pulau paling timur Indonesia yang identik dengan pemandangan alam dan budaya mempesona. Papua juga menyimpan kekayaan sumber daya alam melimpah. Belum lagi flora dan fauna. Cendrawasih, misalnya, merupakan burung khas Papua. Nama burung langka ini diabadikan pula pada Universitas Cendrawasih, lembaga pendidikan tinggi yang sudah melahirkan banyak kaum cerdik pandai.
Papua juga menyimpan aneka destinasi wisata alam eksotik seperti pesona Danau Sentani, Paniai, Taage, air terjun Bihewa di Nabire yang kini menjadi pusat pemerintahan Provinsi Papua Tengah. Atau sekadar melangkah lebih jauh menukik hingga Kabupaten Nduga, pesona Taman Nasional Lorentz segera memanjakan mata.
Belum lagi kekayaan budaya dan seni seperti tarian khas, alat musik hingga tradisi atau adat istiadat di hampir semua komunitas masyarakat yang bermukim di lereng gunung, lembah, bibir sungai, hingga wilayah pesisir laut bahkan di kota-kota besar semisal Jayapura, Wamena, Merauke, Nabire, hingga Enarotali (sekadar menyebut beberapa di antaranya).
Hemat saya, buku ini layak dibaca semua kalangan sekadar menyelami anek wajah Papua dan dinamika yang menyertai bumi Cendrawasih kurun waktu 2004-2005 versi para juru kuli tinta Suara Perempuan Papua. Isu-isu utama dalam buku itu tentu sudah mengalami perubahan dari waktu ke waktu, namun pastinya sebagian dari itu akan menyertai dan mewarnai wajah Papua.
Dari mana dan bagaimana meretasnya, tentu saja bukan sekadar tugas profetis pers, namun juga semua pihak yang berkehendak baik ikut ambil bagian di dalamnya melalui bidang tugas masing-masing. Barangkali itulah salah satu cara —merujuk judul buku ini— memberdayakan orang Papua, termasuk memajukan ‘surga kecil yang jatuh ke bumi’ nun di timur Indonesia itu. Wa wa wa……..
Peresensi Ansel Deri
Wartawan Odiyaiwuu.com