Oleh Frans Maniagasi
Pengamat sosial politik lokal Papua
VELIX Vernando Wanggai sejak dilantik 13 November 2023 Mendagri Tito Karnavian sebagai Penjabat Gubernur Provinsi Papua Pegunungan (UU Nomor 16 Tahun 2022) telah berupaya menjangkau masyarakat dan wilayah-wilayah yang selama ini kurang tersentuh pelayanan pemerintah di delapan kabupaten di wilayah ini.
Delapan kabupaten itu adalah Kabupaten Jayawijaya, Tolikara, Mamberamo Tengah, Lanny Jaya, Yalimo, Yahukimo, Nduga, dan Pegunungan Bintang. Suatu tour of duty yang nyaris tak dijangkau oleh seorang Gubernur Papua (provinsi induk) dari Jayapura sebelum dilakukan pemekaran provinsi.
Selain mendatangi wilayah-wilayah yang tidak terjangkau juga menjangkau kelompok masyarakat yang kurang memperoleh perhatian pemerintah. Bahkan berupaya berkomunikasi dan berinteraksi dengan masyarakat pinggiran.
Keberadaan Provinsi Papua Pegunungan produk pemekaran dan keberadaan seorang Velix sebagai Penjabat Gubernur di Wamena (Jayawijaya) menandai babak baru bagi masyarakat Papua di wilayah ini.
Velix mencoba memainkan peranan dirumah besar honai Provinsi Papua Pegunungan setidaknya menangkap dan merekam aspirasi, kepentingan dan kebutuhan yang paling mendesak yang selama ini menjadi pergulatan masyarakatnya.
Menurut pendapat saya, salah satu peran kunci yang dilakoninya adalah melakukan komunikasi dan “sambung rasa” (hati) dengan penduduk di wilayah wilayah itu.
Mengingat kendala alam, geografis dan keterisolasian sosial kultural, dan perhubungan atau transportasi merupakan faktor-faktor yang signifikan berpengaruh terhadap komunikasi dan interaksi sosial guna membangun dan meletakkan relasi interaktif antara masyarakat dan pemerintah.
Sehingga ketiadaan komunikasi dan interaksi sosial menunjukkan masyarakat Papua di pegunungan ini nyaris terlupakan dari jangkauan pelayanan pemerintah dan pembangunan.
Hambatan komunikasi dan relasi interaktif dengan masyarakat mengakibatkan tersumbatnya saluran aspirasi, suara rakyat. Eksesnya tidak dapat disangkal kalau kemudian rakyat merasakan dan mengalami bahwa mereka diperlakukan seperti “anak tiri” dalam republik ini.
Dalam perspektif masyarakat hal ini merupakan reaksi dari ketakberdayaan mereka sehingga muncul dalam bentuk perlawanan atas penderitaan yang mengekanginya. Hal ini secara teknis dan substantif tidak hanya melanggar fundamental terhadap nilai-nilai kemanusiaan tapi juga pelanggaran serius terhadap konstitusi.
Pada tataran seperti itu perasaan ketidakpuasan terhadap negara atas pengabaian ini menimbulkan pengalaman yang sulit untuk dibantah. Kebencian tersebut dikompensasi dari paling bentuk yang sederhana seperti mengisolasikan dirinya dari dunia luar, kecurigaan terhadap kehadiran orang lain di daerahnya, penolakan terhadap program pembangunan dan yang paling ekstrim muncul pikiran pendek melakukan perlawanan terhadap pemerintah. Apalagi memperoleh asupan anasir Papua merdeka.
Hybrid community
Terlepas dari itu semua kehadiran dan keberadaan seorang Penjabat Gubernur Velix Wanggai di luar tugas pokok dan fungsi (tupoksi) adalah meletakkan basis komunikasi dan interaksi serta relasi sosial dengan masyarakat di provinsi ini.
Saya teringat menjelang beberapa hari sebelum diundang oleh Mendagri Tito Karnavian kami berdua berdiskusi di ruang kerjanya, Kantor Sekretariat Wapres, saya berpesan yang mesti diletakkan adalah komunikasi dan interaksi sosial guna menciptakan relasi antara masyarakat dan pemerintah. Bagaimana merajut membangun apa yang disebut sebagai hybrid community.
Hybrid community menunjuk pada kehendak individu-individu dan kelompok-kelompok sosial untuk mengintegrasikan ke dalam hidup bersama norma-norma dan nilai-nilai kultural yang dapat diterima bersama dan melalui cara-cara yang bermakna dan respectful.
Hybrid community inilah yang sukses telah diawali sejak para misionaris dan pekabar Injil telah mengawalinya. Hidup bersama masyarakat, membangun kebersamaan sebagai value dalam norma-norma kultural mereka. Sehingga kehidupan itu bermakna. Membangun kesadaran akan setiap kebudayaan dimana terdapat inteligensi lokal yang hidup.
Oleh karenanya perjumpaan antar kebudayaan mereka yang terdapat inteligensi lokal dengan budaya pemerintah terjadi saling belajar, saling memahami, bukan budaya yang satu mendominasi budaya yang lain. Jika keduanya dapat diharmonisasikan, maka pelaksanaan program pemerintah akan mudah dicerna dalam konteks inteligensia lokalnya.
Dalam komunitas ini, nilai dan norma bukan menjadi milik individu atau kelompok tertentu saja, melainkan menjadi bagian integral komunitas di dalamnya. Di dalamnya termaktub visi dan perspektif tentang dunianya (weltanschauung). Dengan kata lain melalui komunitas-komunitas sosialnya menjadi serupa titik temu (melting pot) di mana produksi dan diseminasi kebudayaan baru semakin memungkinkan.
Pada konteks itu kehadiran seorang Velix Wanggai selama setahun lebih dalam kapasitas sebagai Penjabat Gubernur di Provinsi Papua Pegunungan hendak saya letakkan bukan pada hal pembangunan dan pelayanan fisik belaka dengan program yang telah ditetapkan dalam tupoksinya.
Namun lebih jauh yang digaris bawahi dalam aspek meletakkan komunikasi dan interaksi sosial dengan hybrid community untuk mengangkat masyarakat yang selama ini kurang disentuh atau menjangkau yang tidak terjangkau.