Buku versus Media Sosial - Odiyaiwuu.com | Membahagiakan Kehidupan

Buku versus Media Sosial

Buku versus Media Sosial. Gambar Ilustrasi: Istimewa

Loading

DI ERA digital yang serba cepat ini, anak muda dan masyarakat pada umumnya hidup dalam persimpangan dua dunia: dunia buku dan dunia media sosial. Keduanya menawarkan informasi, hiburan, dan pengaruh yang luas. Namun, dampaknya terhadap cara berpikir, perilaku, dan kualitas pribadi sangat berbeda. Perbedaan ini bukan hanya soal preferensi, tetapi soal kualitas asupan yang membentuk pola pikir dan karakter seseorang.

Membaca buku adalah kegiatan yang menuntut kesabaran, konsentrasi, dan keinginan untuk memahami sesuatu secara mendalam. Buku mengajak pembacanya masuk ke dalam alur berpikir yang runtut dan terstruktur. Proses membaca mengasah kemampuan berpikir kritis, memperluas wawasan, dan menumbuhkan empati. Tidak heran jika orang yang rajin membaca buku cenderung memiliki pandangan yang tajam, tidak mudah terpancing emosi, dan mampu melihat suatu persoalan dari berbagai sudut pandang.

Sementara itu, media sosial hadir sebagai wadah informasi yang cepat, padat, dan serba instan. Di balik kemudahannya, media sosial sering kali menyajikan informasi yang bersifat dangkal, tidak terverifikasi, bahkan menyesatkan. Orang yang terbiasa mengandalkan media sosial sebagai sumber utama informasi cenderung memiliki perhatian yang pendek, mudah terpengaruh opini orang lain, dan kurang kritis dalam menyikapi isu-isu yang kompleks. Interaksi di media sosial juga kerap memicu emosi sesaat, seperti marah, iri, atau cemas, yang akhirnya memengaruhi kestabilan mental penggunanya.

Perbedaan mencolok lainnya terlihat pada pola komunikasi. Orang yang banyak membaca buku cenderung lebih tenang dalam berdiskusi, tidak mudah menyerang pribadi lawan bicara, dan lebih fokus pada isi argumen. Di sisi lain, interaksi di media sosial sering kali didominasi komentar singkat, sarkasme, bahkan serangan personal. Kebebasan berekspresi yang tidak diimbangi dengan kedalaman berpikir justru melahirkan ruang publik yang bising namun miskin makna.

Kita tentu tidak bisa menolak kehadiran media sosial. Dalam banyak hal, platform digital ini memudahkan komunikasi, memperluas jaringan, dan membuka peluang kreatif. Namun, jika media sosial menjadi satu-satunya konsumsi harian, maka kita sedang membangun masyarakat yang reaktif, rentan, dan dangkal. Di sinilah pentingnya menjadikan buku sebagai fondasi intelektual dan emosional. Buku mengajarkan konsistensi, kedalaman, dan kebijaksanaan—nilai-nilai yang tidak bisa ditemukan dalam alur cepat media sosial.

Masyarakat yang gemar membaca buku adalah masyarakat yang berpikir sebelum berbicara, memahami sebelum menghakimi, dan mencari kebenaran sebelum mengambil sikap. Maka, meski media sosial akan terus berkembang, buku tetap harus menjadi sahabat setia dalam membentuk generasi yang tangguh, cerdas, dan berkarakter. (Editor)

Tinggalkan Komentar Anda :