JAYAPURA, ODIYAIWUU.com — Pihak Dewan Gereja Papua (DGP) dan para imam Katolik asli Papua mengungkapkan keprihatinan atas kasus yang terjadi di tanah Papua.
Dua kasus tersebut yaitu pelemparan bom molotov di depan Kantor Redaksi Jubi dan sikap aparat keamanan yang represif dalam menghadapi aksi unjuk rasa damai terkait penolakan transmigrasi di bumi Cenderawasih.
Pada pekan kedua November lalu, pihak Dewan Gereja Papua dan para imam Katolik putra asli Papua juga sempat membagikan suka duka dan kegelisahan umat. Para anggota Dewan Gereja Papua dan imam Katolik asli juga menyampaikan terima kasih kami kepada semua pihak yang terus mendoakan tanah Papua.
“Kasus peledakan bom molotov di depan kantor Redaksi Jubi tanggal 16 Oktober lalu, belum diungkap hingga saat ini. Peristiwa ini bukan baru. Jubi ini sudah lama jadi sasaran teror,” ujar Moderator Dewan Gereja Papua Pendeta Dr Benny Giay dan anggota Dewan Gereja Papua Pendeta Dorman Wandikbo melalui keterangan tertulis kepada Odiyaiwuu.com dari Jayapura, Papua, Sabtu (23/11).
Menurut Benny dan Dorman, pihak Dewan Gereja Papua dan para imam Katolik putra asli Papua juga tidak tahu apa motif dan apakah bom itu dalam rangka membungkam Jubi untuk jujur bicara dalam pemberitaannya.
Dorman menyebut, sebelumnya wartawan Jubi sudah pernah mengalami teror serupa dua laki berturut-turut. Teror pertama terjadi pada 21 April 2021. Teror kedua terjadi pada 23 Juni 2023 yang diarahkan ke pimpinan Jubi Victor Mambor yang saat itu berada di rumahnya. Namun, upaya mengungkap motif di balik teror itu masih misteri hingga saat ini.
Masalah lainnya adalah penanganan aparat keamanan terhadap para aktivis yang menggelar aksi unjuk rasa pada Jumat (15/11) memprotes program transmigrasi di Nabire atau di kota lain , terkesan sangat kasar.
Di Jayapura, kata Benny dan Dorman, Yohanes Agapa, Alex Youw dan Daud Degei ditahan. 11 orang lainnya dipukul. Mobil komando dan megaphone, speaker dan toa yang dipakai pengunjuk rasa ditahan aparat keamanan. Sementara di Nabire 4 orang kena gas air mata dan peluru serta 14 orang ditahan.
“Seorang bayi berusia dua tahun dan seorang nenek yang sedang sakit, sempat dilarikan ke Rumah Sakit Umum Daerah Abepura akibat terkena tembakan gas air mata saat aparat memukul mundur aksi damai KNPB menolak transmigrasi di Lingkaran Abepura, Kota Jayapura pada Jumat 15 November,” ujar Benny dan Dorman.
Sejumlah warga yang tidak terlibat aksi, katanya, menyesalkan tindakan anggota polisi karena terkena gas air mata saat aparat melepaskan. Beberapa warga sangat marah kepada aparat keamanan atas peristiwa itu.
Selain itu, ada warga berusaha menyirami wajah dengan air untuk menghilangkan perih matanya. Gas air mata menyebar hingga ke tempat tinggal warga di sekitar lingkaran Abepura. Rumah mereka dipenuhi asap dari gas air mata dan menyebabkan mata terasa perih dan sulit bernafas.
“Kami lihat perlakuan terhadap aktivis yang memprotes transmigrasi dan Jubi yang sudah lama menjadi sasaran teror hingga kini belum diungkap aparat kepolisian,” katanya.
Saat kasus bom molotov di depan Redaksi Jubi belum terungkap terjadi peristiwa penembakan terhadap advokat senior Yan Christian Warinussy pada 17 Juli 2024. Kasus-kasus itu bagian kegelisahan bersama Anggota Dewan Gereja Papua dan para imam Katolik putra asli Papua.
“Belakangan kasus kekerasan lebih sebagai bagian dari strategi keamanan yang disertai kekerasan yang diadopsi apara sejak tahun 2018-2019. Strategi keamanan disertai kekerasan tersebut berdampak pada kehidupan masyarakat terutama penerapan hukum, kebebasan berpendapat dan berkumpul, demokrasi, kependudukan serta komunikasi dan informasi,” katanya.
Dewan Gereja Papua dan para imam Katolik asli Papua meminta Muspida, DPRP dan MRP mengambil peran aktif dalam menciptakan Papua yang damai untuk semua dengan menerima para aktivis sebagaimana yang dilakukan DPRD Kabupaten Sorong dan Penjabat Gubernur Papua Barat.
Benny dan Dorman juga menambahkan, bagi orang asli Papua, ke depan Papua baik atau tidak hal itu berada di tangan orang asli Papua sendiri. Karena itu keduanya mengajak mulai belajar membaca tanda-tanda zaman atau keadaan.
Selain itu, orang asli Papua segera mengambil posisi, bangkit memberdayakan diri, keluar dari jebakan para pihak yang terus menciptakan scenario ‘meradikalisasi separatisme’ yang terus dirancang untuk menjerat orang asli Papua dengan pasal makar dalam rangka pemusnahan.
Hal ini yang sama dan sejalan gereja Papua yang terus menyebar janji ‘dunia bahagia’ di akhirat tanpa pikir bagaimana mengambil dan mengurus diri di tanah ini.
“Kepada umat kami ucapkan selamat membaca keadaan, mengambil posisi dan bangkit memacu diri mengurus keluarga masing-masing,” ujar Benny dan Dorman. (Ansel Deri/Odiyaiwuu.com)