Transmigrasi dan Masalah Papua
OPINI  

Transmigrasi dan Masalah Papua

Marco Kasipdana, mahasiswa Magister Studi Pembangunan UKSW Salatiga asal Pegunungan Bintang, Papua Pegunungan. Foto: Istimewa

Loading

Oleh Marco Kasipdana

Mahasiswa Magister Studi Pembangunan UKSW Salatiga asal Pegunungan Bintang

PRESIDEN Prabowo Subianto melalui Kementerian Transmigrasi Republik Indonesia mendorong program transmigrasi ke wilayah Indonesia Timur, termasuk lagi di enam provinsi di tanah Papua. Rencana tersebut sebagai upaya mewujudkan pemerataan kesejahteraan daerah-daerah di Indonesia. 

Selain itu, transmigrasi dipandang sebagai langkah pengurangan kepadatan penduduk, peningkatan dan pembukaan lapangan pekerjaan, dan pengembangan sumber daya manusia (SDM). Namun maksud baik dan inisiatif program tersebut direspon beragam oleh masyarakat di tingkat lokal, termasuk anggota DPD RI asal tanah Papua, akademisi, politisi, akademisi, mahasiswa, dan elemen-elemen lainnya.

Suara pro-kontra muncul. Meski transmigrasi dianggap sebagai salah satu cara mewujudkan kesejahteraan namun di lain sisi mendapat penolakan. Di internal sebagian masyarakat tanah Papua, transmigrasi dikhawatirkan sebagai program yang akan mengancam keberadaan lahan dan tanah masyarakat dan komunitas adat.

Transmigrasi

Transmigrasi merupakan salah satu kebijakan pemerintah dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Transmigrasi juga merupakan program perpindahan penduduk dari daerah yang memiliki penduduk yang padat ke daerah yang jumlah penduduknya minim. 

Program ini merujuk Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2009 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 15 Tahun 1997 tentang Ketransmigrasian. Transmigrasi merupakan salah satu kebijakan di bidang kependudukan dan tentu tak lepas dari intervensi  pemerintahan daerah. 

Transmigrasi juga merupakan urusan pemerintahan yang di tingkat implementasi di bawah kendali pemerintah pusat. Kita tahu, dalam pelaksanaannya melibatkan pula pemerintah daerah. Program transmigrasi bersifat sukarela. 

Perpindahan penduduk dari satu wilayah ke wilayah lain memiliki manfaat baik oleh individu maupun masyarakat secara keseluruhan. Manfaat transmigrasi beragam. Pertama, ada peningkatan lapangan pekerjaan, pertumbuhan ekonomi, meningkatkan produktivitas dan inovasi baru, meningkatkan fasilitas umum serta menciptakan interaksi sosial yang lebih berkembang.

Kedua, pengurangan penduduk dari wilayah dengan jumlah penduduk padat ke penduduk kurang padat, peningkatan akses terhadap layanan publik lewat perhatian pemerintah pusat, keseimbangan populasi penduduk antar wilayah, perbaikan kualitas hidup warga transmigran, dan perluasan tanah pertanian melalui pemanfaatan sumber daya alam. 

Selain dampak positif, transmigrasi juga membawa dampak negatif. Pertama, pembukaan hutan dan lahan untuk pemukiman dan pertanian yang berujung terjadinya laju kerusakan hutan (deforestasi). Kedua, penggunaan bahan kimia yang merusak struktur dan mengurangi kesuburan tanah jangka panjang. 

Ketiga, tingkat kepadatan penduduk di daerah tujuan transmigrasi dapat menyebabkan kerusakan hutan dan pencemaran air, perubahan iklim lokal, dan kerusakan ekosistem yang berujung terancamnya berbagai spesies. Keempat, transmigrasi berpotensi menimbulkan konflik sosial antar warga pendatang dan asli akibat perebutan lahan. 

Proses sosial

Kebijakan pemerintah mendorong transmigrasi ke wilayah timur Indonesia, terutama tanah Papua memiliki wajah ganda. Di satu sisi, kebijakan tersebut dikebut atas nama kesejahteraan warga masyarakat. 

Namun, di sisi lain menjadi momok bahkan ancaman serius bagi masyarakat setempat. Transmigrasi dalam pandangan sejumlah ahli bukan saja berwajah ganda namun kompleks.

Antropolog Indonesia Koentjaraningrat dalam Pengantar Ilmu Antropologi (1985) berpendapat bahwa transmigrasi merupakan proses sosial yang kompleks, melibatkan interaksi antara budaya migran dan budaya lokal. 

Kebijakan ini (transmigrasi) berpotensi menimbulkan dampak buruk dan terjadi peminggiran budaya lokal, pengusiran komunitas lokal, dan tidakseimbang atau tumpang tindih pendapatan antar warga pendatang dan asli. 

Peneliti Harvard University Clifford Geertz dalam The Interpretation of Cultures (1973) juga menyebut, transmigrasi membawa serta simbol-simbol dan makna yang mendalam bagi individu. Geertz berargumen bahwa pemahaman tentang identitas dan tradisi sangat penting dalam menganalisis dampak transmigrasi terhadap masyarakat. 

Sedangkan antropolog budaya Inggris Victor Witter Turner dalam karyanya, The Ritual Process: Structure and Anti-Structure (1969) memperkenalkan konsep liminalitas. Konsep ini menguraikan bahwa migran berada dalam fase transisi. 

Fase ini memungkinkan migran untuk mengeksplorasi dan merumuskan kembali identitas mereka di tengah perubahan sosial yang cepat. Dengan demikian, mereka menguasai sistem sosial baru dan berusaha melakukan berbagai pendekatan untuk melihat sistem kebudayaan lokal pada posisi terendah bahkan bisa tidak diakui. 

Sedangkan Arjun Appadurai mengutip Cultural Dimensions of Globalization (1996) menyoroti bagaimana globalisasi mempengaruhi pengalaman migran, dengan arus informasi dan ide yang membentuk harapan serta aspirasi mereka. Transmigrasi menjadi proses yang dipengaruhi oleh banyak faktor global dan lokal. 

Kebijakan transmigrasi ke wilayah timur Indonesia terutama di tanah Papua harus dipertimbangkan pemerintah dengan matang. Psikologi masyarakat lokal dengan relasi sosial dan kearifan lokal yang terawat turun-temurun mesti menjadi pertimbangan serius sebelum program itu digelontorkan atas nama pemerataan kesejahteraan sosial.

Persis di sini tepat apa yang diingatkan Nancy Foner dalam From Ellis Island to JFK: New York’s Two Great Waves of Immigration (2000) bagaimana migran membangun kehidupan baru sambil tetap terhubung dengan komunitas asal mereka. 

Foner berpendapat, transmigrasi menciptakan jaringan sosial yang kompleks, mempengaruhi dinamika sosial di daerah tujuan. Ia menyimpulkan, transmigrasi adalah fenomena yang melibatkan interaksi budaya, perubahan identitas, dan dinamika sosial yang kompleks. 

Dampak negatif adalah bagian dari ancaman yang dianggap secara sistematis, terstruktur dan terprogram yang perlu diantisipasi dan jaga bersama di daerah yang menjadi sasaran transmigrasi. 

Konteks Papua

Luas Pulau Papua totalnya kurang lebih 786.000  km². Bentuk pulau yang menyerupai burung Cenderawasih ini menjadikan Papua pulau terbesar kedua di dunia setelah Greenland di Amerika Utara.  Papua juga daerah dengan area hutan lindung (primer) terluas di Indonesia. 

Papua juga merupakan habitat bagi 15.000-20.000 jenis tumbuhan (55 persen endemik), 602 jenis burung (52 persen endemik), 125 jenis mamalia (58 persen endemik), dan 223 jenis reptilia (35 persen endemik), dan tumbuhan endemik. 

Penduduk asli Papua disebut sebagai orang asli Papua atau OAP, terdiri dari beragam suku bangsa tersebar di seluruh wilayah Papua. Sebelumnya, Pulau Papua terbagi menjadi dua wilayah yaitu Provinsi Papua dan Papua Barat. Kini, Pulau Papua sudah mengoleksi enam daerah otonom baru (DOB) provinsi.

Papua sering disebut “paru-paru dunia” karena hutan hujan tropisnya sangat luas dan kaya dengan keanekaragaman hayati sekaligus memberikan penghidupan dan kehidupan bagi makhluk hidup, flora, fauna, laut, dan darat. Hutan-hutan di Papua memainkan peran penting dalam produksi oksigen dan penyerapan karbon dioksida, yang sangat vital dalam menghadapi pemanasan iklim global. 

Mendorong transmigrasi sebagai mewujudkan pemerataan kesejahteraan daerah-daerah kurang tepat. Masih ada sektor lain lebih urgen diurus pemerintah. Persis disampaikan dua anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Republik Indonesia asal tanah Papua DPD RI Eka Kristina Yeimo dan Lis Tabuni. 

Kata Eka, SDM masyarakat lokal mesti disiapkan terlebih dahulu sehingga tidak melahirkan kecemburuan sosial. Mendorong transmigrasi sebagai pintu masuk meraih kesejahteraan bagi masyarakat tanpa menyiapkan SDM memadai, kata Eka, tak lebih seperti menyimpan bara dalam sekam. Potensi konflik di tingkat lokal menganga lebar. 

Sedang Lis Tabuni mengatakan, ada sejumlah sektor utama lain yang lebih mendesak atau urgen dikerjakan pemerintah adalah terkait masalah pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan lain-lain. Transmigrasi berpotensi membuat masyarakat asli Papua teralienasi dari atas tanah leluhur bahkan terpinggirkan dalam usaha meraih kesejahteraan. 

Suara dua senator perempuan asli tanah Papua ini adalah aspirasi masyarakat bumi Cenderawasih. Mendorong transmigrasi tanpa melihat kebutuhan riil warga lokal —meminjam kata-kata Eka— ibarat menyimpan bara dalam sekam. Di sini hanya diperlukan kepekaan pemerintah. 

Tinggalkan Komentar Anda :