TIMIKA, ODIYAIWUU.com — Puluhan tahun konflik bersenjata terjadi di tanah Papua karena kepentingan investasi, eksploitasi sumber daya alam (SDA). Meski demikian, pertanyaan reflektif ialah apakah kita orang Katolik, orang Kristen yang merayakan Paskah sekadar perayaan seremonial.
“Apakah orang Katolik, orang Kristen berani bersuara seperti Yesus walaupun diperlakukan tidak adil dan dijatuhi hukuman penuh rekayasa? Memoria, kenangan akan penderitaan Kristus yang terjadi 2000-an tahun lalu saat ini masih aktual dalam kehidupan kita hari ini,” ujar Uskup terpilih Keuskupan Timika Mgr Dr Bernardus Bofitwos Baru dalam homilinya saat Misa Jumat Agung di Gereja Katedral Tiga Raja Timika, Jumat (18/4).
Dalam tayangan video yang diperoleh, Uskup Bernardus mengatakan, salib adalah penderitaan, kehinaan, kesakitan yang dipandang manusia. Manusia kadang menghalau salib hidupnya atau menghindarinya. Namun, bagi Allah salib adalah kebijaksanaan yang sudah ditulis Rasul Paulus. Salib bukanlah penghinaan, penderitaan tetapi salib adalah cinta utuh dan cinta sempurna Allah kepada manusia yang cenderung mencari kegelapan, hidup dalam gelap daripada terang.
“Kita manusia yang cenderung memilih kejahatan daripada kasih. Spiritualitas, memoria passionis pantas terus-menerus kita renungkan dalam hidup, dalam setiap peristiwa dan langkah hidup kita. Di sekitar kita banyak persoalan yang kita hadapi. Kita tidak hanya memikul salib kita sendiri namun Yesus Kristus mengharapkan kita berpartisipasi dalam memikul salib sesama,” kata Uskup Bernardus.
Uskup Bernardus menambahkan, salib sesama dimaksud yaitu salib sistem sosial yang menindas, yang tidak adil, yang merampas hak-hak sesama lain. Salib Kristus menuntut umat terlibat aktif memperjuangkan keadilan, kebenaran, dan keutuhan ciptaan ekologi. Salib juga menuntut manusia memiliki keberanian bersuara mewakili mereka yang tertindas, teraniaya, dan hak-hak mereka yang dirampas.
Dalam homilnya, Uskup Bernardus juga menyetir pandangan filsuf teologi pembebasan di Amerika Latin, Ignacio Ellacuría, SJ (1930-1989). Ellacuría menulis sebuah refleksi berjudul The Crucified People yang mengulas tentang situasi Amerika Latin. Crucified people adalah orang-orang atau masyarakat yang disalibkan oleh sistem kapitalisme, penuh penindasan, dan wajah ekonomi global penuh tipu daya sehingga hak-hak mereka dirampas.
“Situasi di tanah Papua sangat aktual. Banyak krisis terjadi di sekitar kita seperti krisis kemanusiaan dan ketidakadilan. Konflik bersenjata selama 60 tahun hingga saat ini masih berlangsung karena kepentingan investasi dan eksploitasi sumber daya alam. Banyak pihak berkolaborasi melanggengkan kejahatan sehingga masyarakat adat yang punya tanah adat jadi korban,” kata Uskup Bernardus.
Uskup Bernardus menambahkan, banyak warga masyarakat adat kehilangan nyawa dan hutannya diambil dengan alasan pembangunan. Bahkan akhir-akhir ini, dengan kehadiran Program Strategis Nasional (PSN) di Merauke, dua juta hektar tanah masyarakat adat dicaplok atas nama pembangunan. Dalam sekejap masyarakat kehilangan hak hidup, ruang hidup, budaya, bahkan kehilangan jalan hidup, way of life.
“Ribuan spesies dalam sekejap terancam punah. Apakah kita umat Katolik dan Kristen yang merayakan Paskah berani bersuara atau Paskah sekadar peristiwa seremonial? Apakah kita berani bersuara seperti Yesus walaupun diadili dengan tidak adil, dijatuhi hukuman penuh rekayasa? Kita orang Kristen harus berani memikul salib itu,” kata Uskup Bernardus.
Uskup Bernardus menegaskan, jika umat Katolik dan Kristen tidak berani memikul salib maka umat Katolik dan Kristen adalah Yudas-Yudas baru yang ikut ambil bagian dalam penyaliban Tuhan Yesus. Mari kita berdoa bagi 80 ribu pengungsi yang masih tinggal di seluruh tempat pengungsian di tanah Papua akibat konflik investasi, konflik militer, dan konflik antara militer dengan TPNPB OPM.
Uskup Bernardus juga mengajak umat Katolik berdoa agar terjadi dialog untuk penyelesaian konflik kejahatan di tanah Papua. Hal penting mengingat kita adalah manusia bermartabat, manusia yang diciptakan menurut citra Allah, imago Dei dan bukan manusia yang direkayasa oleh kepentingan-kepentingan dunia, oligarki dan penguasa.
“Kita berdoa, semoga Paskah tahun ini sungguh-sungguh membawa harapan baru ke depan. Harapan bagi masyarakat kita di seluruh tanah Papua agar mereka dari hari ke hari tidak dibunuh dan dirampas hak hidup mereka yang memiliki martabat sebagai manusia,” kata Mgr Bernardus, Uskup putra asli Papua yang merampungkan studi doktoral (S3) bidang Misiologi di Universitas Urbaniana, Roma tahun 2014-2018.
Misa Jumat Agung mengenang kisah sengsara dan wafat Yesus Kristus bagi umat Katolik juga berlangsung di Paroki Santo Stefanus Sempan, Timika, Jumat (18/4). Umat memadati Gereja Paroki Sempan mengikuti Misa yang berlangsung khidmat.
Pastor Paroki Santo Stefanus Sempan RP Gabriel Ngga, OFM dalam khotbahnya menjelaskan makna teologis dan aplikasi praktis dari kedua tradisi ini dalam kehidupan umat Katolik, khususnya di tengah konflik dan luka dunia modern.
“Jalan Salib bukan sekadar mengenang penderitaan Yesus, tetapi juga menghayati keteguhan-Nya dalam menyampaikan kebenaran. Yesus diutus untuk menyelamatkan manusia berdosa, meski menghadapi kebencian, fitnah, hingga kematian di kayu salib. Ia tetap setia pada misi Allah Bapa. Inilah makna teologis yang mendasar,” ujar Pastor Gabriel.
Pastor Gabriel mengajak umat untuk merefleksikan nilai-nilai tersebut dalam konteks kekinian. Dunia saat ini, ujarnya, penuh luka, dendam, kebencian, bahkan pembunuhan akibat kepentingan politik dan ekonomi. Sebagai pengikut Kristus, umat dipanggil untuk melawan kejahatan dan ketidakadilan sambil meneladani sikap Yesus yang mengampuni.
“Meski Yesus tidak bersalah, Ia memaafkan mereka yang menyiksa dan menyalibkan-Nya. Kita juga dituntut mengampuni orang yang melukai hati kita, bukan karena kita salah, tetapi karena kasih dan kebenaran harus menang. Ini adalah transformasi radikal dari dendam ke pengampunan, dari kebencian ke kasih, dan dari kemunafikan ke kejujuran,” kata Gabriel, imam Saudara Dina atau Ordo Fratrum Minorum.
Menurut Pastor Gabriel, perayaan Jumat Agung dan Penghormatan Salib seharusnya menjadi momentum perubahan sikap. Umat tidak boleh pasif. Iman harus diwujudkan dalam keberanian membela yang benar, sekaligus rendah hati mengampuni seperti Kristus. Inilah cara umat merespons luka dunia dengan cahaya Injil. (Ansel Deri/Odiyaiwuu.com)