Oleh Mgr Yanuarius Theofilus Matopai You
Uskup Keuskupan Jayapura
SALAM dalam Kasih dan Damai Yesus Kristus. Pada tempat pertama, perkenankanlah saya, Uskup Keuskupan Jayapura, Yanuarius Theofilus Matopai You, menyapa para pastor, suster dan segenap Umat Katolik, baik anak-anak, remaja, muda/i maupun orang dewasa, Ego Vobiscum Sum. Selanjutnya, saya menyampaikan Surat Gembala APP Tahun 2023, dengan bersumberkan pada tema Aksi Puasa Pembangunan Nasional 2023 (APPN 2023).
Tema Aksi Puasa Pembangunan Nasional (APPN) 2023 adalah Keadilan Ekologis Bagi Seluruh Ciptaan: Semakin Mengasihi dan Lebih Peduli. Keadilan ekologis berarti adil terhadap sesama manusia (sosial) dan sekaligus adil terhadap ciptaan lainnya. Ciptaan memiliki arti lebih luas dari lingkungan hidup, karena ada hubungannya dengan rencana kasih Allah di mana setiap makhluk memiliki nilai dan arti (bdk. Laudato Si/LS,76). Keadilan ekologis bertumpu pada prinsip bahwa seluruh ciptaan saling terhubung dan tergantung satu sama lain, sebagai suatu persekutuan universal. Paus Fransiskus menawarkan pendekatan ekologis yang mengintegrasikan soal keadilan dalam lingkungan untuk mendengar dan merespon seruan bumi dan kaum pinggiran (bdk. LS, 49).
Bagi umat Kristiani, kepeduliaan akan keadilan ekologis bagi seluruh ciptaan adalah bagian dari pewartaan Gereja (bdk. Mrk 16:15). Gereja dipanggil dan diutus menjadi saksi keadilan dalam dunia dengan mencari Langkah Nyata dalam menerapkan prinsip menghormati martabat manusia, memperjuangkan kesejahteraan bersama, membangun solidaritas dan keberpihakan pada yang rentan berdasarkan cinta kasih sekaligus melestarikan alam semesta.
Krisis iklim adalah istilah yang menggambarkan pemanasan global dan perubahan iklim beserta akibatnya. Perubahan iklim adalah perubahan signifikan pada iklim, suhu udara dan curah hujan yang terjadi mulai dari dasawarsa lalu sampai jutaan tahun. Perubahan iklim merupakan masalah global dengan dampak buruk untuk lingkungan, masyarakat, ekonomi, perdagangan dan politik (lih.LS,25).
Dampak perubahan iklim untuk Indonesia adalah menurunnya kualitas dan kuantitas air dan tanah, punahnya keanekaragaman spesies (habitat), berkurangnya luas dan kualitas hutan, memburuknya kesehatan, serta menurunnya kualitas dan kuantitas lahan pertanian dan ekosistem di wilayah pesisir. Khususnya pada saat ini, perubahan iklim tersebut sangat berdampak pada sektor keamanan pangan dan sektor perikanan. Kekeringan yang terjadi selama ini mengubah pola tanam yang mengakibatkan gagal panen.
Bagaimana dampak perubahan iklim di Papua? Perubahan iklim untuk kita di Papua dapat dialami dengan menurunnya debet air di mata air dan menurunnya tingkat kesuburan tanah, punahnya keanekaragaman spesies (habitat) misalnya burung cenderawasih yang semakin jauh dan berkurang, berkurangnya luas dan kualitas hutan akibat pengambilan kayu atau pembabatan hutan dalam jumlah yang besar-besaran, memburuknya kesehatan di mana banyak warga menderita berbagai penyakit bahkan wabah, dsbnya. Selain pengaruh perubahan iklim —untuk konteks kita di Papua—, prilaku manusia juga menjadi penyebab ketidakadilan ekologis.
Banyak praktek ketidakadilan ekologis seperti penjualan tanah yang menjadi bagian hak ulayat suku tertentu kepada pihak perusahaan (misalnya, Kebun Kelapa Sawit di Arso, Taja-Lereh, Merauke,), yang mengakibatkan menurunnya kualitas dan kuantitas air dan tanah. Memburuknya kesehatan yang berakibat pada hilangnya generasi penerus yang tangguh, pembakaran semak dan hutan secara tidak bertanggung jawab, penebangan kayu ilegal (illegal logging) selalu menyisahkan penderitaan bagi masyarakat.
Selain itu, banjir biasa maupun bandang akibat penggundulan atau pembabatan hutan selalu terjadi setiap saat yang berdampak pada munculnya korban baik harta maupun nyawa. Mentalitas malas yang menjangkiti kebanyakan para petani juga seringkali menjadi salah satu penyebab banyak lahan pertanian tidak diolah dengan baik. Di sisi lain ketergantungan pada bantuan pemerintah seperti raskin (beras untuk keluarga miskin) dan dana bantuan desa semakin tinggi.
Di tengah realitas yang cukup memprihatinkan ini, iman mampu memberi kita suatu visi yang lebih utuh tentang makna bumi, manusia dan semua makhluk hidup lainnya, dan memberi kita motivasi untuk melindungi alam ciptaan dan sesama yang paling rentan dengan adil. Paus Fransiskus, mengatakan bahwa, ada suatu kebutuhan mendesak, yakni menemukan kembali bahwa iman merupakan suatu terang, sebab ketika nyala iman sudah padam, terang-terang lain akan mulai meredup. Terang iman merupakan sesuatu yang unik, sebab terang itu mampu menerangi setiap aspek keberadaan manusia (bdk. Lumen Fidei,2013).
Karya penebusan Allah dalam diri Yesus Kristus juga ingin menjangkau semua ciptaan. Dengan darah salib Kristus, segala sesuatu di bumi dan di surga diperdamaikan oleh Allah (bdk. Kol 1:19-20; Rm.8). Rasul Paulus dengan tegas menyatakan bahwa karya penyelamatan Allah tidak hanya untuk umat manusia yang berdosa tetapi meliputi segala makhluk dan seluruh alam semesta. Oleh karena itu, sikap pemberian diri yang disertai dengan kerendahan hati manusia terhadap yang lain sebagaimana telah dilakukan oleh Yesus Kristus (bdk. Flp 2:1-11) diperluas untuk semua makhluk ciptaan.
Ada tiga hal yang perlu kita lakukan terlebih khusus selama masa pra-paskah dalam bentuk pendalaman iman dan aksi nyata. Pertama, transformasi spiritual. Kita diajak mengakui dan menyadari bahwa krisis ekologis terjadi karena wujud sikap manusia yang tidak bertanggung jawab. Kita diajak untuk memperbaharui dan mengubah pemahaman dan konsep iman tentang alam semesta, bahwa manusia dan alam semesta adalah obyek karya keselamatan Allah.
Kedua, bertindak ekologis. Kita hendaknya menjadi pribadi-pribadi yang mengasihi dan menyayangi setiap bentuk kehidupan serta menjaga, merawat dan melestarikan alam semesta. Umat perlu didorong melakukan aksi-aksi nyata untuk pelestarian alam/lingkungan mulai dari keluarga, kombas,paroki, sekolah-sekolah, perguruan tinggi, asrama-asrama, kelompok-kelompok kategorial maupun di tengah masyarakat.
Ketiga, profetis ekologis. Kita mesti berani melakukan kritik konstruktif terhadap berbagai kebijakan dan tindakan publik, politik, sosial, dan ekonomi yang cenderung menghancurkan lingkungan hidup. Kegiatan kongkrit dapat dilakukan sesuai dengan konteks di mana kita hidup dalam semangat kerja sama dengan orang lain.
Keterlibatan umat Kristiani dalam memulihkan dan melestarikan keutuhan ciptaan bukan semata-mata didorong oleh kerusakan lingkungan hidup, tetapi merupakan perwujudan iman akan Allah Sang Pencipta dan Pemelihara Kehidupan. Iman yang hidup dan penuh kasih menjadi dasar spiritualitas segala upaya untuk mendatangkan keselamatan bagi semua ciptaan.
Oleh karena itu, berbagai bentuk kegiatan pastoral lingkungan hidup hendaknya selalu bersumber pada kasih Allah yang menciptakan dan menjaga seluruh alam semesta ini. Akhir kata, ingatlah selalu bahwa kita sebagai umat Kristiani dipanggil dan diutus untuk mewartakan Injil kepada semua Makhluk (Mrk. 16:15).
Selamat Menjalani Masa Puasa dan Merayakan Paskah 2023
Ego Vobiscum Sum