Strategi Indonesia Menghadapi Ancaman Konflik di Laut Cina Selatan - Odiyaiwuu.com | Membahagiakan Kehidupan
OPINI  

Strategi Indonesia Menghadapi Ancaman Konflik di Laut Cina Selatan

Laurens Ikinia, dosen Hubungan Internasional Universitas Kristen Indonesia, Jakarta. Foto: Istimewa

Loading

Oleh Laurens Ikinia 

Dosen Hubungan Internasional Universitas Kristen Indonesia, Jakarta

LAUT Cina Selatan (South China Sea) merupakan wilayah yang dipersengketakan negara-negara yang berbatasan langsung dengan wilayah itu. Negara-negara yang dimaksud merupakan anggota dari Asosiasi Negara-Negara Asia Tenggara atau Association of the Southeast Asian Nations (Asean). Negara-negara yang bersengketa dengan Cina yaitu Malaysia, Singapura, Vietnam, Filipina, dan Brunei Darussalam. 

Secara eksplisit, Indonesia belum terlibat dalam sengketa Laut Cina Selatan. Namun demikian, salah satu wilayah terluar Indonesia yaitu Kepulauan Natuna bakal terkena imbas dalam sengketa atau konflik negara-negara kawasan atas wilayah Laut Cina Selatan. Sebagai sebuah negara kepulauan yang kaya sumber daya alam (SDA) Indonesia perlu mempersiapkan diri melalui sejumlah strategi guna mencegah potensi meluasnya imbas atau konsekuensi konflik di Laut Cina Selatan.

Konflik Laut Cina Selatan terutama di sekitar Kepulauan Spratly memicu ketegangan besar terhadap negara-negara yang saling mengklaim di wilayah tersebut. Klaim yang disodorkan tak lepas dari sejarah masing-masing negara sebelum terbentuk sebagai sebuah negara berdaulat seperti saat ini. Lebih dari itu, wilayah Laut Cina Selatan memiliki kekayaan SDA melimpah. 

Dari aspek pertahanan dan keamanan (hankam) negara, wilayah Laut Cina Selatan menjadi medan latihan dan pertunjukan semua alat utama sistem persenjataan (alutsista) angkatan perang Cina. Hal serupa juga dipertontonkan oleh beberapa negara Asean yang berkonflik. 

Upaya untuk mencari jalan damai telah dilakukan baik pada forum Asean maupun melalui jalur pengadilan internasional. Akan tetapi, proses penyelesaian melalui jalur diplomasi secara damai terkait sengketa Laut Cina Selatan belum membuahkan hasil yang dapat diterima masing-masing pihak yang terlibat konflik. 

Kekayaan melimpah

Sekadar gambaran, wilayah Natuna utara masuk zona ekonomi eksklusif (ZEE). Zona ini ini menyimpan kekayaan di sektor kelautan melimpah. Potensi ikan laut Natuna mencapai 504.212,85 ton per tahun. Angka itu hampir 50 persen dari potensi Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 711. Wilayah Pengelolaan Perikanan 711 meliputi Laut Cina selatan, Laut Natuna, dan Selat Karimata yang menyentuh 1.143.341 ton per tahun. 

Kekayaan sumber laut itu terkonfirmasi dalam Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 47 Tahun 2016 tentang Estimasi Potensi, Jumlah Tangkapan Yang Diperbolehkan dan Tingkat Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.

Melihat kenyataan bahwa konflik Laut Cina Selatan belum ada titik penyelesaiannya dan kekayaan SDA yang dimiliki Indonesia di Kepulauan Natuna melimpah, Indonesia harus memikirkan dan mempersiapkan strategi untuk mempertahankan kedaulatan wilayahnya.

Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Republik Indonesia menyebut, blok East Natuna memiliki volume gas di tempat (initial gas in place/IGIP) sebesar 222 triliun kaki kubik dan cadangan sebesar 46 triliun kaki kubik. Wilayah Laut Cina Selatan menjadi kawasan yang dipersengketakan oleh beberapa negara berpijak sejumlah alasan. Di antaranya untuk menguasai SDA, kepentingan geopolitik dan geostrategis serta pertahanan dan keamanan. 

Pendekatan pertama yang harus diperhatikan oleh pemerintah Indonesia adalah mendorong forum sub-kawasan (Asean) untuk berbicara. Asean tentu memiliki prinsip non-intervensi terhadap sesama anggota forum, namun konflik Laut Cina Selatan merupakan konflik komunal, maka Asean harus mempertimbangkan upaya dialog dengan jalur multiple ministerial diplomacy secara bersamaan. 

Multiple ministerial diplomacy terdiri dari diplomasi politik (Kementerian Luar Negeri), diplomasi pertahanan (Kementerian Pertahanan), diplomasi perdagangan (Kementerian Perdagangan); diplomasi kebudayaan (kementerian kebudayaan), dan diplomasi pendidikan (Kementerian Pendidikan). Hal tersebut perlu dilakukan oleh anggota negara-negara Asean dan Cina yang sudah menjadi mitra dialog. 

Setelah melalui tahap pada level Asean, demi memperkuat pertahanan dan kedaulatan negara, ada sejumlah pokok pikiran yang dapat dipertimbangkan pemerintah Indonesia demi mempertahankan kedaulatan negara. Pertama, memperkuat dan mengembangkan alutsista pertahanan Angkatan Darat, Laut, Udara, dan sistem operasi intelijen dan sistem cyber

Kedua, berinvestasi pada pengembangan sumber daya manusia putra-putri bangsa. Ketiga, membangun dan memperkuat pusat penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Keempat, pemerintah harus memastikan stabilitas politik dan ekonomi di dalam negeri.  Indonesia harus berpegang pada gerakan non blok dan politik luar negeri bebas aktif. 

Dengan demikian, di era pemerintahan presiden terpilih Prabowo Subianto dan wakil presiden Gibran Rakabuming Raka perlu mempertimbangkan dan memberikan atensi terkait imbas konflik Laut Cina Selatan yang berpotensi mengancam keutuhan dan kedaulatan negara. Pemerintahan baru juga diharapkan lebih terbuka memperoleh berbagai masukan dan gagasan demi kemajuan dan kejayaan negara di masa akan datang. 

#KedaulatanIndonesia

#JagaNatuna

#LombaISDS

Tinggalkan Komentar Anda :