Stop Bilang: “Jayapura, Kota Baku Bawa” - Odiyaiwuu.com | Membahagiakan Kehidupan
OPINI  

Stop Bilang: “Jayapura, Kota Baku Bawa”

Julia Jeckline Yaroseray, Puteri Pariwisata Indonesia Persahabatan 2023. Foto: Istimewa

Loading

Oleh: Julia Jeckline Yaroseray
(Puteri Pariwisata Indonesia Persahabatan 2023)

JAYAPURA, ibu kota Provinsi Papua, bukan sekadar kota administratif. Ia adalah simpul harapan, tempat di mana anak-anak muda dari berbagai penjuru Tanah Papua—bahkan dari luar Papua—datang untuk belajar, berkembang, dan bermimpi. Dulu, Jayapura dikenal luas sebagai kota studi, tempat yang membuka jalan bagi generasi muda menuju masa depan yang lebih baik. Identitas itu tumbuh dari semangat belajar, perjumpaan budaya, dan cita-cita untuk membangun Tanah Papua dengan pengetahuan dan keterampilan.

Namun kini, sebutan itu mulai tergeser oleh istilah baru yang tidak pantas: “kota baku bawa.” Kata-kata ini muncul sebagai plesetan, dan dalam waktu singkat menyebar luas di tengah masyarakat, terutama di kalangan anak muda. Tanpa sadar, banyak yang menjadikan istilah ini sebagai bagian dari bahasa sehari-hari, bahkan sebagai bahan candaan. Padahal, di balik kelakar itu, ada luka yang dalam bagi citra kota dan harga diri warganya.

Menggunakan istilah seperti “kota baku bawa” sama saja dengan mencoreng wajah kota sendiri. Jayapura bukan tempat untuk dilecehkan secara verbal. Ia adalah rumah bagi ribuan orang yang mencari penghidupan, membesarkan keluarga, dan berharap pada masa depan yang lebih baik. Istilah itu bukan hanya bentuk pelecehan verbal, tapi juga gambaran dari cara pikir yang keliru, yang harus segera diluruskan.

Kita tidak bisa menutup mata terhadap fakta bahwa prostitusi memang menjadi persoalan sosial yang nyata. Tapi menyamaratakan dan memberi label kepada seluruh kota karena satu aspek negatif adalah tindakan yang tidak adil. Sama seperti seseorang tidak bisa dihakimi hanya dari satu kesalahan, sebuah kota juga tidak pantas diberi cap buruk hanya karena segelintir persoalan. Apalagi jika label itu datang dari warga atau generasi mudanya sendiri.

Perlu diingat bahwa kata-kata memiliki kekuatan. Ia bisa membangun, tapi juga bisa meruntuhkan. Ketika kita menyebut Jayapura dengan istilah negatif, secara tidak langsung kita ikut menyebarkan stigma. Kata yang semula terdengar lucu, perlahan menjadi “normal”, lalu membentuk cara pandang yang memengaruhi cara kita memperlakukan kota ini. Ini berbahaya, karena ketika persepsi rusak, maka rasa memiliki dan kepedulian juga ikut terkikis.

Lebih menyedihkan lagi, banyak yang mengira menyebut “kota baku bawa” adalah bentuk ke-gaulan atau kebebasan berekspresi. Padahal, itu justru cerminan dari kurangnya kesadaran akan nilai, sejarah, dan martabat tempat tinggal kita sendiri. Tidak ada yang keren dari mempermalukan kota sendiri. Yang ada hanyalah kehilangan jati diri, dan itu bukan sesuatu yang layak dipertahankan.

Sebagai generasi muda Papua, kita punya tanggung jawab moral dan budaya untuk menjaga martabat tanah ini. Kita adalah pewaris dan penjaga warisan para pendahulu yang membangun kota ini dengan keringat dan semangat. Kita tidak bisa tinggal diam membiarkan identitas Jayapura dicemari oleh bahasa-bahasa jalanan yang merendahkan nilai-nilainya.

Sudah saatnya kita mengubah cara kita berbicara, karena dari cara bicara, tercermin cara berpikir. Jika ingin Jayapura kembali dikenal sebagai kota studi, kota harapan, dan kota kemajuan, maka dimulai dari hal sederhana: menjaga kata-kata. Kata-kata adalah benih dari perubahan. Maka tanamlah kata-kata yang baik agar tumbuh kehidupan yang bermartabat.

Jayapura adalah milik kita bersama. Jangan biarkan kota ini kehilangan makna karena ucapan yang sembrono. Mari rawat kota ini dengan sikap, tindakan, dan bahasa yang mencerminkan cinta, kebanggaan, dan rasa hormat. Karena hanya dengan begitu, kita bisa membawa Jayapura ke masa depan yang layak ia terima—bukan sebagai kota yang dijuluki sembarangan, tapi sebagai tanah di mana harapan tumbuh dan martabat dijunjung tinggi.

Tinggalkan Komentar Anda :