Oleh Paskalis Kosay
Mantan Anggota Komisi Intelijen DPR RI
MASYARAKAT Indonesia tahu. Provinsi Papua diberlakukan kebijakan otonomi khusus (otsus). Otsus adalah kewenangan khusus yang diakui dan diberikan kepada Provinsi Papua guna mengatur, mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi dan hak-hak dasar masyarakat.
Pemberian kewenangan khusus tersebut dimaksudkan agar penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di Provinsi Papua memenuhi rasa keadilan dan mempercepat kesejahteraan rakyat, mendukung terwujudnya penegakan hukum dan penghormatan hak asasi manusia (HAM) khususnya masyarakat asli Papua.
Dengan pemberlakuan otonomi khusus, terjadi pelimpahan kewenangan seluruh bidang pemerintahan kecuali bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan (hankam), fiskal moneter, peradilan dan agama dan diperlakukan berbeda dengan otonomi daerah pada umumnya.
Pertimbangan politik
Pemberlakuan otonomi khusus tersebut bukan sekadar euforia demokratisasi akibat tuntutan reformasi politik di Indonesia. Namun, otonomi khusus mengandung pertimbangan politik kenegaraan fundamental guna memperkokoh keutuhan wilayah negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Oleh karena itu, Otonomi Khusus Papua mengandung nilai perekat kesatuan dan persatuan bangsa.
Nilai perekat kesatuan dan persatuan bangsa ini perlu tetap dijaga, dipelihara secara konsisten melalui kebijakan negara yang searah dan senafas dengan semangat dan roh otonomi khusus sendiri. Namun demikian, dalam praktik jemerintahan berjalan kerap terjadi anomali. Kebijakan negara atas Papua kerap berbenturan bahkan bertentangan dengan semangat dan roh otonomi khusus.
Pemerintah Pusat sering menggunakan atau mempraktikkan standar ganda dalam berbagai kebijakan terhadap Papua. Ini terlihat dalam isu dan langkah awal pemekaran wilayah, misalnya. Ketiga daerah otonom provinsi, lahir lebih pada pertimbangan Papua berstatus otonomi khusus meski secara nasional masih berlaku jedah, moratorium pemekaran wilayah.
Tetapi giliran proses penunjukan calon penjabat gubernur, ternyata Kementerian Dalam Negeri sedang mencari alasan ingin mengacu pada aturan Undang-Undang yang bersifat umum.
Hal ini terlihat dari pernyataan Mendagri Tito Karnavian yang menyebut bahwa tidak ada aturan yang mengatur penjabat gubernur harus orang asli Papua. Mendagri berdalih, sumber daya manusia orang asli Papua tidak ada yang memenuhi syarat. Syarat menjadi penjabat gubernur Papua adalah aparatur sipil negara dalam jabatan tinggi madya (eselon 1).
Pernyataan seperti inilah menunjukkan bahwa pemerintah pusat masih menggunakan kebijakan standar ganda atas Papua dalam dekapan otonomi khusus. Papua sudah dalam status otonomi khusus tetapi masih mau digunakan pula kebijakan dengan mengacu pada Undang-Undang yang bersifat umum.
Kenyataan seperti ini terus berulang dipraktikkan oleh pemerintah. Bahkan memunculkan pertanyaan retoris apakah pusat memahami kebijakan politik kenegaraan dalam konteks otonomi khusus bagi Papua.
Kalau kita berpijak pada konteks otonomi khusus, semua aspek penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di tanah Papua harus mengacu pada Undang-Undang (UU) terkait otonomi khusus. Posisi Undang-Undang Otsus di sini lebih tinggi dari Undang-Undang yang bersifat umum.
Perlu diingat bahwa azas pemberlakuan Undang-Undang yang bersifat khusus, yaitu lex specialis derogat legi generali maka aturan hukum yang bersifat khusus mengesampingkan aturan hukum yang bersifat umum.
Mengacu pada azas hukum lex specialis derogat legi generali, Undang-Undang tentang Otonomi Khusus Papua adalah produk hukum yang bersifat lex specialis, maka dalam praktik pemberlakuannya mengesampingkan Undang-Undang lain yang bersifat umum. Karena itu, pemerintah tidak bisa memaksakan kehendaknya menentukan kebijakan dengan mengacu Undang-Undang yang bersifat umum untuk kepentingan Papua.
Seluruh kebijakan negara demi kepentingan Papua harus mengacu pada Undang-Undang Otsus. Kebijakan di luar Undang-Undang Otsus tak lebih sebagai upaya pemerintah sendiri melakukan pembangkangan sekaligus pengangkangan terhadap Undang-Undang Otonomi Khusus Papua.
Pemerintah sendiri tidak percaya pada Undang-Undang Otonomi Khusus Papua yang bersifat spesialis. Bahkan lebih dari itu, pemerintah sendiri tengah merongrong daya pemberlakuan Undang-Undang Otonomi Khusus di tanah Papua. Ini juga standar ganda lain kebijakan Jakarta atas Papua. Praktik otonomi khusus atas Papua masih setengah hati.