JAKARTA, ODIYAIWUU.com — Solidaritas Peduli HAM, Rabu (16/3) melaporkan kasus penembakan sepuluh warga sipil ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Republik Indonesia menyusul aksi demo damai yang berujung ricuh lalu memakan korban dua warga meninggal dan lainnya menderita luka pada Selasa (15/3) di Dekai, kota Kabupaten Yahukimo, Papua. Aksi unjuk rasa damai itu menolak pemekaran daerah otonomi baru provinsi Papua di tanah Papua.
“Laporan SPH diterima Mbak Ceria dari Bagian Pengaduan Komnas HAM. Dalam laporan ini kami menyampaikan kronologis penembakan dan jumlah korban saat terjadi kericuhan di Dekai, ibu kota Kabupaten Yahukimo pada Selasa, 15 Maret lalu,” ujar Zhen dan Ambrosius Mulait, dua pelapor dari Solidaritas Peduli HAM melalui keterangan tertulis yang diterima Odiyaiwuu.com di Jakarta, Kamis (17/3).
Menurut Zhen dan Ambrosius Mulait, SPH mengutuk keras tindakan aparat gabungan TNI-Polri atas tidakan tidak manusiawi yang menembak sepuluh orang sipil dan mengakibatkan dua orang meninggal dan delapan lainnya menderita luka berat. Mereka menegaskan, duka rakyat Yahukimo adaah juga duka orang Papua.
Saat menyambangni kantor Komnas HAM di Jalan Latuharhary, Jakarta, para pelapor dari Solidaritas Peduli HAM menyampaikan sejumlah hal terkait aksi demo warga Yahukimo, temasuk tuntutan agar mendapat perhatian para pimpinan dan anggota komisioner Komnas HAM.
Pertama, meminta Komnas HAM segera membentuk tim investigasi guna melakukan penyelidikan kematian warga Yahukimo yang meninggal dan menderita luka akibat penembakan yang dilakukan aparat gabungan TNI-Polri di Dekai. Pelapor meminta agar para pelaku segera diadili dan menjalani proses hukum, karena telah melakukan tidakan pembunuhan terhadap warga sipil saat menggelar demo damai menolak pemekaran daerah otonomi baru di tanah Papua.
Kedua, pelapor juga mendesak Komnas HAM segera menyurati Presiden Joko Widodo untuk menghentikan pembahasan pemekaran daerah otonom baru di Papua dan Papua Barat. Akibat pembahasan pemekaran secara sepihak oleh pemerintah, justru memakan banyak korban warga sipil di Yahukimo dan Papua umumnya. DOB bukan kebutuhan urgen bagi masyarakat Papua melainkan perlu dialog.
Ketiga, pasca penembakan sepuluh orang warga di Dekai, pemerintah telah mematikan jaringan telepon maupun internet sehingga sulit bagi warga untuk mendapat informasi sistuasi terakhir di kabupaten itu. Padahal, publik memiliki hak untuk mendapatkan informasi.
Hingga saat ini sangat sulit melakukan komunikasi sehingga pelapor mendesak Komnas HAM segera menyurati Presiden Jokowi. Mereka juga meminta pemerintah segera membuka akses bagi para wartawan asing maupun nasional untuk meliput konflik di Papua, khususnya di Kabupaten Yahukimo sehingga masyarakat mengetahui situasi sebenarnya di Yahukimo dan Papua umumnya.
Para pelapor juga menuding pemerintah setiap ada masalah di Papua, terjadi upaya sitematis mengontrol informasi dengan mematikan jaringan telepon seluler maupun internet. Pengalaman yang sama terjadi berulang pasca kasus rasisme di Papua tahun 2019. Termasuk sejumlah kasus yang muncul di daerah konflik seperti di Kabupaten Nduga, Puncak, Intan Jaya, dan saat ini dialami warga Yahukimo.
Keempat, pelapor juga mendesak Komnas HAM menyurati Panglima TNI dan Kapolri agar menarik pasukan organik dan non-organik yang berlebihan dari Yahukimo dan Papua umumnya demi menjaga kedamaian warga masyarakat. Pendekatan militer justru tidak menyelesaikan masalah Papua tetapi memperparah suasana.
“Usai menyampaikan pengaduhan ke Komnas HAM, kami menyerahkan juga peti mati sebagai tanda duka atas korban penembakan di Dekai. Peti mati kami taruh di depan kantor Komnas HAM. Kami berharap, para komisioner meneruskan peti jenazah ini ke istana agar pihak istana buka mata bahwa saat ini tidak ada HAM bagi orang Papua,” ujar Mulait. (Ansel Deri/Odiyaiwuu.com)