Oleh Otto Gusti Madung
Doktor Filsafat lulusan Hochschule für Philosophie, München, Jerman
TEORI kontrak sosial merupakan salah satu paradigma legitimasi politik terpenting pada zaman modern. Teori kontrak sosial mencerminkan ide sentral masyarakat modern, yakni individualisme dan prinsip kesetaraan. Individualisme menggambarkan penghargaan terhadap setiap pribadi sebagai basis legitimasi setiap keputusan politik.
Prinsip kesetaraan berkaitan dengan posisi setiap individu yang sejajar dalam komunitas politik. Teori kontrak sosial juga menunjukkan inovasi pemikiran filsafat politik modern yang menjelaskan negara sebagai sebuah konstruksi.
Artinya, negara itu dibentuk atau diciptakan berdasarkan kehendak individu-individu. Karena itu struktur negara bisa saja berubah, berkembang atau bahkan dapat dilenyapkan.
Dengan demikian, berbeda dengan pandangan politik abad pertengahan, negara tidak lagi dipandang sebagai ungkapan tatananan kehendak ilahi yang abadi. Negara adalah produk kehendak manusiawi, atau dalam bahasa Hobbes dalam Leviathan, negara adalah deus mortalis (ein sterblicher Gott, Allah yang fana).
Kontrak sosial
Jika teori kontrak sosial merupakan produk permikiran politik modern, maka itu artinya pada era lain berlaku basis legitimasi politik berbeda. Perbedaan itu disebabkan karena konsep klasik tentang masyarakat, negara dan politik berangkat dari kondisi dan titik star yang lain sama sekali dari masyarakat modern.
Hal ini dapat ditunjukkan lewat pelbagai macam konsep antropologis atau gambaran tentang manusia. Konsep kontrak sosial Hobbes bertolak dari gambaran manusia yang dibentuk oleh paradigma ilmu pengetahuan alam. Bagi Hobbes, individu manusia tidak lain dari tubuh fisik yang terus bergerak karena dorongan kodrati, dan berjuang untuk bertahan hidup.
Individu itu mencukupi dirinya sendiri, tidak memiliki sejarah dan relasi sosial dengan yang lain. Yang lain adalah ancaman bagi setiap individu. Dalam kondisi antropologis dan sosial seperti ini, negara merupakan alat untuk melindungi diri untuk bertahan hidup, dan kerena itu layak mendapat pengakuan dari setiap individu.
Kalau kita menengok lebih ke belakang lagi, kita berjumpa dengan gambaran manusia yang agak berbeda seperti yang dikemukakan oleh Aristoteles misalnya. Bagi Aristoteles, manusia adalah makhluk yang secara kodrati bergantung pada komunitas.
Manusia hanya mungkin menjadi manusia jika ia terintegrasi dalam jaringan komunitas, moral dan bahasa tertentu, di mana ia dapat mengaktualisasikan diri dan mengembangkan sejumlah potensi yang dimilikinya.
Pertanyaan yang muncul ialah, manakah gambaran mansia yang benar? Pertanyaan ini membutuhkan jawaban dan ulasan yang sangat kompleks dan tidak dapat dibahas di sini. Yang ingin ditunjukkkan di sini adalah bahwa setiap pandangan politik atau model negara selalu berpijak pada konsep antropologi tertentu.
Manusia yang individualistis
Gambaran manusia yang individualistis melahirkan konsep politik kontrak sosial, pandangan tentang hak-hak asasi individu dan konsep tentang pembatasan kekuasaan negara. Antropologi sosial Aristotelian sebaliknya mengarahkan perhatian pada pertanyaan-pertanyaan lain.
Yang menjadi pusat perhatian di sini misalanya bagaimana sebuah proses sosialisasi terjadi yang menciptakan manusia yang mampu berinteraksi secara sosial, lalu kemudian berkembang menjadi “warga” (citizen) dari sebuah negara. Apa saja kemampuan yang perlu dimiliki oleh seorang penguasa dan juga warga negara agar sebuah komunitas politik tidak hanya sekedar eksis, tapi dapat berfungsi dengan baik.
Pemikiran filsofis yang akan dibahas dalam ulasan berikut merupakan refleksi lebih lanjut tentang gambaran manusia sosial Aristotelian di tengah tantangan Masyarakat modern dan kontemporer yang diwarnai oleh individualisme dan serbuan neoliberalisme ekonomi.
Kualitas kekuasaan dan warga negara yang baik di satu sisi dan proses sosialisasi di sisi lain akan dibahas lebih mendalam dan komprehensif. Akan tetapi dimensi sosial ini sesungguhnya tidak hanya dibahas dalam tradisi antropologi Aristotelian.
Para pemikir kontrak sosial seperti JJ Rousseau misalnya juga memberikan penekanan pada pentingnya republik keutamaan dan partisipasi warga negara untuk membangun komunitas politik.