Sistem Noken dan Demokrasi Tanpa Diskriminasi - Odiyaiwuu.com | Membahagiakan Kehidupan
OPINI  

Sistem Noken dan Demokrasi Tanpa Diskriminasi

Elias Petege, S.HI, Ketua Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Dogiyai, Provinsi Papua Tengah. Sumber foto: papua.tribunnews.com, Selasa, 17 September 2024

Loading

Oleh Elias Petege

Ketua Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Dogiyai, Papua Tengah

PEMILU langsung adalah salah satu capaian penting demokrasi Indonesia pasca-reformasi. Setiap warga negara, tanpa kecuali, berhak memilih dan dipilih secara langsung. Namun, hingga hari ini, ada satu wilayah yang masih menjalankan mekanisme berbeda dari semangat universal tersebut yaitu di 13 kabupaten di Papua Pegunungan dan Tengah. Mekanisme itu dikenal dengan nama sistem noken.

Sistem noken merupakan bentuk pemilihan kolektif berbasis musyawarah adat, di mana kepala suku atau tokoh adat mewakili suara seluruh masyarakat dalam menentukan pilihan politik. Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengakomodasi sistem ini dalam putusannya pada tahun 2009 dan 2014. 

Namun dengan syarat, hanya boleh diterapkan pada wilayah yang belum mampu melaksanakan pemilu secara langsung dan jika masyarakat masih menghendakinya. Namun, pertanyaannya muncul apakah sistem noken kini masih relevan dalam era demokrasi digital dan partisipatif politik yang tinggi?

Diskriminasi struktural

Pendekatan berbasis adat seperti sistem noken seringkali dibenarkan dengan alasan kearifan lokal dan semangat musyawarah mufakat yang menjadi bagian dari demokrasi Pancasila. Tetapi perlu digarisbawahi, musyawarah mufakat bukan kekhasan Papua semata. 

Tradisi serupa juga hidup dalam budaya Jawa, Bali, Sunda, Minang, Melayu, Dayak, Buton, Bugis, Makassar, Minahasa, Nanggroe Aceh Darussalam dan suku dan etnis lainnya. Namun, tidak ada satu pun dari daerah-daerah tersebut yang menggunakan sistem kolektif noken dalam Pemilu.

Hal ini mengindikasikan bahwa pendekatan demokrasi yang diterapkan pemerintah tidak konsisten dan cenderung diskriminatif. Di daerah lain, demokrasi liberal (satu orang satu suara) menjadi praktik dominan, sementara di Papua pemerintah tetap mempertahankan sistem kolektif. 

Ini menimbulkan kesan bahwa Papua tidak cukup ‘mampu’ atau ‘siap’ menjalankan demokrasi langsung seperti wilayah lainnya. Sebuah pandangan yang bukan hanya merendahkan martabat orang Papua, tetapi juga melanggar prinsip kesetaraan warga negara dalam konstitusi.

Konstitusi Indonesia dan Deklarasi Universal HAM menjamin hak politik setiap warga negara: hak untuk memilih dan dipilih secara bebas. Sistem noken, meskipun diklaim berbasis musyawarah, dalam praktiknya sering kali tidak merepresentasikan suara individu, terutama perempuan, pemuda, dan kelompok minoritas (minoritas dari aspek jenis kelamin, marga/klen/warga jemaat jika dilihat dari agama yang dianutnya) dalam komunitas adat.

Suara individu hilang dalam suara kolektif. Padahal demokrasi modern menekankan pentingnya partisipasi personal, bukan representasi simbolik oleh elite adat. Dalam banyak kasus, warga bahkan tidak tahu kepada siapa suaranya diberikan, atau untuk siapa kepala suku memilih. Ini mencederai asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (luber dan jurdil) yang menjadi fondasi pemilu kita.

Tinggalkan sistem noken

Perkembangan sosial-politik dan infrastruktur informasi di Papua tidak bisa lagi disamakan dengan kondisi dua dekade lalu. Masyarakat Papua kini telah jauh lebih terhubung dengan teknologi, informasi, dan pendidikan politik. Banyak warga, terutama generasi muda, kelompok, marga, jemaat minoritas, dan perempuan bahkan pimpinan partai politik di daerah menginginkan partisipasi langsung dalam proses pemilihan. 

Oleh karena itu, alasan ketidakmampuan politik (pandangan bahwa rakyat tak mampu memilih dan dipilih secara langsung), keterisolasian daerah: jarak tempuh antar kampung dan distrik dan atau alasan tidak mampu/siap secara teknis atau keterbatasan SDM untuk menyelenggarakan pemilu langsung sudah tidak relevan.

Apalagi, Mahkamah Konstitusi dalam beberapa putusannya menyatakan bahwa sistem noken hanya bisa diberlakukan jika masyarakat belum mampu melaksanakan pemilu secara langsung. Artinya, ketika kesiapan teknis, sumber daya manusia, dan pemahaman politik masyarakat sudah cukup maju, maka sistem noken harus dihapuskan.

Kondisi saat ini menunjukkan bahwa masyarakat Papua lebih khusus di wilayah-wilayah yang diberlakukan sistem noken sudah mampu mengikuti proses demokrasi modern. Mereka sudah terbiasa dengan teknologi informasi, memahami pentingnya hak suara individu, dan ingin berpartisipasi langsung dalam menentukan masa depan politik mereka. 

Oleh karena itu, tak ada alasan lagi untuk terus mempertahankan sistem yang justru melemahkan hak politik warga. Semua pemangku kepentingan (stakeholders) untuk memastikan bahwa sistem noken tidak lagi diberlakukan mulai sejak Pemilu dan Pilkada 5 Tahun mendatang.

Hak konstitusional

Demokrasi tidak boleh dikorbankan atas nama tradisi yang tidak lagi relevan dengan semangat zaman. Tradisi yang tidak menjamin hak dasar warga, khususnya hak politik, seharusnya tidak terus dilestarikan dalam sistem politik modern. Kita harus mampu membedakan mana tradisi yang memperkuat nilai-nilai demokrasi, dan mana yang justru melemahkan partisipasi rakyat.

Jika pemerintah sungguh mengedepankan demokrasi Pancasila, maka demokrasi tersebut haruslah adil dan merata diterapkan kepada semua warga negara, tanpa kecuali. Tidak ada alasan untuk membiarkan diskriminasi terselubung atas nama adat terhadap warga Papua.

Kini saatnya kita memilih: apakah kita ingin terus mempertahankan sistem yang menghapus suara individu demi stabilitas semu dan atau demi tradisi yang sudah tak sesuai perkembangan zaman, atau berani mengambil langkah maju menuju demokrasi yang lebih partisipatif dan setara. Papua bukan wilayah eksklusif yang tidak mampu menjalankan Pemilu langsung. Warga Papua berhak memilih langsung, sebagaimana warga Indonesia lainnya.

Pemilu dan Pilkada ke depan harus menjadi momentum korektif. Para pihak, baik pemerintah pusat, KPU, DPR dan Mahkamah Konstitusi perlu mengevaluasi ulang dan menghapus sistem noken. Bukan karena kita menolak adat, tetapi karena kita menjunjung tinggi hak politik dan konstitusional setiap warga negara.

Tinggalkan Komentar Anda :