BEKASI, ODIYAIWUU.com — Tiga warga negara Indonesia (WNI) asal Papua dan seorang lainnya dari Bekasi, Jawa Barat melalui kuasa hukumnya, Zico LDS, SH mengajukan uji materiil (judicial review) terhadap Undang-Undang Partai Politik (Parpol) di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
Tiga WNI asal Papua masing-masing Elias Ramos Petege, (Pemohon I), Yanuarius Mote (Pemohon II), dan Ketua Komisi C DPRD Kabupaten Dogiyai dari Partai Nasdem Elko Tebai (Pemohon III) serta akademisi Muhammad Helmy Fahruzi, warga Bekasi (Pemohon IV).
“Kami meminta agar penentuan calon presiden pada Pemilihan Presiden tahun 2024 dari partai politik atau parpol dilakukan melalui konvensi terbuka. Dengan demikian calon presiden bukan kewenangan mutlak ketua umum partai lagi tetapi ditentukan oleh suara mayoritas kader dan simpatisan partai politik,” ujar Elias Ramos Petege melalui keterangan yang diterima Odiyaiuu.com di Jakarta, Selasa (5/4).
Meski Pemilihan Umum (Pemilu) serentak untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, anggota DPR, DPD maupun DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota, calon Gubernur-Wakil Gubernur, Bupati-Wakil Bupati dan Walikota-Wakil Walikota, yang digelar Februari 2024, tetapi sudah mulai mucul nama sejumlah kandidat yang berambisi menjadi calon Presiden dan Wakil Presiden. Para elit politik yang berambisi tersebut kebanyakan berasal dari internal partai.
“Padahal, nama-nama yang muncul dari internal partai untuk maju menjadi calon Presiden pada Pemilu 2024 tidak populer dan mendapat dukungan mayoritas kader maupun simpatisan serta rakyat tetapi terkesan merupakan ambisi pribadi. Capres harus ditentukan kader dan rakyat,” kata Ramos lebih jauh.
Menurut Ramos, di internal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) terjadi perseteruan figur Calon Presiden dari antara Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dan Ketua DPR RI Puan Maharani. Dalam survei terbaru, ujarnya, banyak kader, simpatisan PDI-P maupun rakyat menginginkan figur Ganjar Pranowo, kader senior PDI-P menjadi calon presiden.
Namun, Ramos menguraikan, Puan Maharani lebih berpeluang mendapatkan restu atau tiket calon presiden atas dukungan sang ibu, Megawati Sukarnoputri, yang juga Ketua Umum PDI-P mengingat di internal PDI-P yang menentukan calon presiden adalah ketua umum, bukan suara kader, anggota, simpatisan maupun rakyat.
Selain itu ketua umum sejumlah partai politik lain sedang berambisi menjadi calon presiden. Misalnya, Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartanto, Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar, dan Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono.
“Sebagai ketua umum mereka juga memiliki hak politik untuk mengajukan diri sebagai bakal calon hingga ditetapkan menjadi calon presiden. Padahal, bisa saja masih banyak kader internal yang memiliki kompetensi dan kapabilitas untuk mencalonkan diri. Namun, mereka berpotensi gagal hanya karena ambisi pribadi dan posisinya sebagai ketua umum dan mempertahankan dinasti politik,” tandas Ramos.
Ambisi pribadi ketua umum tersebut tentu berpeluang menggugurkan kader partai potensial untuk ikut mencalonkan diri dan atau mengikuti seleksi terbuka melalui konvensi. Selain itu, Undang-Undang Partai Politik tidak mengatur secara jelas dan tegas mengenai pedoman dan mekanisme rekrutmen internal yang terbuka dan transparan berpijak kapabilitas dan kapasitas bersangkutan untuk menjadi calon presiden dan wakil presiden, anggota DPR, DPRD Provinsi maupun Kabupaten/Kota serta calon Gubernur-Wakil Gubernur, Bupati-Wakil Bupati dan Walikota-Wakil Walikota.
“Kondisi ini berimplikasi pada kewenangan otoriter dan oligarki ketua umum sebagai penentu tunggal. Pada gilirannya, menimbulkan ketidakpastian dan ketidakjelasan hukum secara normatif maupun implementatif sehingga bertentangan dengan asas pemilihan umum. Selain itu, akan melahirkan nepotisme dalam proses pemilihan umum,” katanya. (Ansel Deri/Odiyaiwuu.com)